tag:blogger.com,1999:blog-74239883722114511622024-02-07T14:53:59.256+07:00PendidikanThe Lesson Is Very ImfortantPendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.comBlogger49125tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-10059421224951426402009-11-20T16:20:00.001+07:002009-11-20T16:21:05.985+07:00Syarat, Rukun, dan Wajib HajiSyarat Haji<br /><br /> 1. Islam<br /> 2. Akil Balig<br /> 3. Dewasa<br /> 4. Berakal<br /> 5. Waras<br /> 6. Orang merdeka (bukan budak)<br /> 7. Mampu, baik dalam hal biaya, kesehatan, keamanan, dan nafkah bagi keluarga yang ditinggal berhaji<br /><br /><span class="fullpost"><br />Rukun Haji<br /><br />Rukun haji adalah perbuatan-perbuatan yang wajib dilakukan dalam berhaji. Rukun haji tsb adalah:<br /><br /> 1. Ihram<br /> 2. Wukuf di Arafah<br /> 3. Tawaf ifâdah<br /> 4. Sa'i<br /> 5. Mencukur rambut di kepala atau memotongnya sebagian<br /> 6. Tertib<br /><br />Rukun haji tsb harus dilakukan secara berurutan dan menyeluruh. Jika salah satu ditinggalkan, maka hajinya tidak sah.<br />Wajib Haji<br /><br /> 1. Memulai ihram dari mîqât (batas waktu dan tempat yang ditentukan untuk melakukan ibadah haji dan umrah)<br /> 2. Melontar jumrah<br /> 3. Mabît (menginap) di Mudzdalifah, Mekah<br /> 4. Mabît di Mina<br /> 5. Tawaf wada' (tawaf perpisahan)<br /><br />Jika salah satu dari wajib haji ini ditinggalkan, maka hajinya tetap sah, namun harus membayar dam (denda).<br />Pelaksanaan Ibadah Haji (Manasik Haji)<br /><br />Tata cara manasik haji adalah sebagai berikut:<br />1. Melakukan ihram dari mîqât yang telah ditentukan<br /><br />Ihram dapat dimulai sejak awal bulan Syawal dengan melakukan mandi sunah, berwudhu, memakai pakaian ihram, dan berniat haji dengan mengucapkan Labbaik Allâhumma hajjan, yang artinya "aku datang memenuhi panggilanmu ya Allah, untuk berhaji".<br />Kemudian berangkat menuju arafah dengan membaca talbiah untuk menyatakan niat:<br /><br /> Labbaik Allâhumma labbaik, labbaik lâ syarîka laka labbaik, inna al-hamda, wa ni'mata laka wa al-mulk, lâ syarîka laka<br /><br />Artinya:<br /><br /> Aku datang ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu; Aku datang, tiada sekutu bagi-Mu, aku datang; Sesungguhnya segala pujian, segala kenikmatan, dan seluruh kerajaan, adalah milik Engkau; tiada sekutu bagi-Mu.<br /><br />2. Wukuf di Arafah<br /><br />Dilaksanakan pada tanggal 9 Zulhijah, waktunya dimulai setelah matahari tergelincir sampai terbit fajar pada hari nahar (hari menyembelih kurban) tanggal 10 Zulhijah.<br />Saat wukuf, ada beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu: shalat jamak taqdim dan qashar zuhur-ashar, berdoa, berzikir bersama, membaca Al-Qur'an, shalat jamak taqdim dan qashar maghrib-isya.<br />3. Mabît di Muzdalifah, Mekah<br /><br />Waktunya sesaat setelah tengah malam sampai sebelum terbit fajar. Disini mengambil batu kerikil sejumlah 49 butir atau 70 butir untuk melempar jumrah di Mina, dan melakukan shalat subuh di awal waktu, dilanjutkan dengan berangkat menuju Mina. Kemudian berhenti sebentar di masy'ar al-harâm (monumen suci) atau Muzdalifah untuk berzikir kepada Allah SWT (QS 2: 198), dan mengerjakan shalat subuh ketika fajar telah menyingsing.<br />4. Melontar jumrah 'aqabah<br /><br />Dilakukan di bukit 'Aqabah, pada tanggal 10 Zulhijah, dengan 7 butir kerikil, kemudian menyembelih hewan kurban.<br />5. Tahalul<br /><br />Tahalul adalah berlepas diri dari ihram haji setelah selesai mengerjakan amalan-amalan haji.<br />Tahalul awal, dilaksanakan setelah selesai melontar jumrah 'aqobah, dengan cara mencukur/memotong rambut sekurang-kurangnya 3 helai.<br />Setelah tahalul, boleh memakai pakaian biasa dan melakukan semua perbuatan yang dilarang selama ihram, kecuali berhubungan seks.<br /><br />Bagi yang ingin melaksanakan tawaf ifâdah pada hari itu dapat langsung pergi ke Mekah untuk tawaf. Dengan membaca talbiah masuk ke Masjidil Haram melalui Bâbussalâm (pintu salam) dan melakukan tawaf. Selesai tawaf disunahkan mencium Hajar Aswad (batu hitam), lalu shalat sunah 2 rakaat di dekat makam Ibrahim, berdoa di Multazam, dan shalat sunah 2 rakaat di Hijr Ismail (semuanya ada di kompleks Masjidil Haram).<br /><br />Kemudian melakukan sa'i antara bukit Shafa dan Marwa, dimulai dari Bukit Shafa dan berakhir di Bukit Marwa. Lalu dilanjutkan dengan tahalul kedua, yaitu mencukur/memotong rambut sekurang-kurangnya 3 helai.<br />Dengan demikian, seluruh perbuatan yang dilarang selama ihram telah dihapuskan, sehingga semuanya kembali halal untuk dilakukan.<br />Selanjutnya kembali ke Mina sebelum matahari terbenam untuk mabît di sana.<br />6. Mabît di Mina<br /><br />Dilaksanakan pada hari tasyrik (hari yang diharamkan untuk berpuasa), yaitu pada tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah. Setiap siang pada hari-hari tasyrik itu melontar jumrah ûlâ, wustâ, dan 'aqabah, masing-masing 7 kali.<br /><br />Bagi yang menghendaki nafar awwal (meninggalkan Mina tanggal 12 Zulhijah setelah jumrah sore hari), melontar jumrah dilakukan pada tanggal 11 dan 12 Zulhijah saja. Tetapi bagi yang menghendaki nafar sânî atau nafar akhir (meninggalkan Mina pada tanggal 13 Zulhijah setelah jumrah sore hari), melontar jumrah dilakukan selama tiga hari (11, 12, dan 13 Zulhijah).<br />Dengan selesainya melontar jumrah maka selesailah seluruh rangkaian kegiatan ibadah haji dan kembali ke Mekah.<br />7. Tawaf ifâdah<br /><br />Bagi yang belum melaksanakan tawaf ifâdah ketika berada di Mekah, maka harus melakukan tawaf ifâdah dan sa'i. Lalu melakukan tawaf wada' sebelum meninggalkan Mekah untuk kembali pulang ke daerah asal.<br />Umrah<br /><br />Umrah artinya berkunjung atau berziarah. Setiap orang yang melakukan ibadah haji wajib melakukan umrah, yaitu perbuatan ibadah yang merupakan kesatuan dari ibadah haji. Pelaksanaan umrah ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah: 196 yang artinya "Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah..."<br /><br />Mengenai hukum umrah, ada beberapa perbedaan pendapat. Menurut Imam Syafi'i hukumnya wajib. Menurut Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi hukumnya sunah mu'akkad (sunah yang dipentingkan).<br />Umrah diwajibkan bagi setiap muslim hanya 1 kali saja, tetapi banyak melakukan umrah juga disukai, terlebih jika dilakukan di bulan Ramadhan. Hal ini didasarkan pada hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya "Umrah di dalam bulan Ramadhan itu sama dengan melakukan haji sekali".<br />Pelaksanaan umrah<br /><br />Tata cara pelaksanaan ibadah umrah adalah: mandi, berwudhu, memakai pakaian ihram di mîqât, shalat sunah ihram 2 rakaat, niat umrah dan membaca Labbaik Allâhumma 'umrat(an) (Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, untuk umrah), membaca talbiah serta doa, memasuki Masjidil Haram, tawaf, sa'i, dan tahalul.<br />Syarat, Rukun, dan Wajib Umrah<br /><br />Syarat untuk melakukan umrah adalah sama dengan syarat dalam melakukan ibadah haji. Adapun rukun umrah adalah:<br /><br /> 1. Ihram<br /> 2. Tawaf<br /> 3. Sa'i<br /> 4. Mencukur rambut kepala atau memotongnya<br /> 5. Tertib, dilaksanakan secara berurutan<br /><br />Sementara itu wajib umrah hanya satu, yaitu ihram dari mîqât.<br />Larangan dalam Haji dan Umrah<br /><br />Hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sudah memakai pakaian ihram dan sudah berniat melakukan ibadah haji/umrah adalah:<br /><br /> 1. Melakukan hubungan seksual atau apa pun yang dapat mengarah pada perbuatan hubungan seksual<br /> 2. Melakukan perbuatan tercela dan maksiat<br /> 3. Bertengkar dengan orang lain<br /> 4. Memakai pakaian yang berjahit (bagi laki-laki)<br /> 5. Memakai wangi-wangian<br /> 6. Memakai khuff (kaus kaki atau sepatu yang menutup mata kaki)<br /> 7. Melakukan akad nikah<br /> 8. Memotong kuku<br /> 9. Mencukur atau mencabut rambut<br /> 10. Memakai pakaian yang dicelup yang mempunyai bau harum<br /> 11. Membunuh binatang buruan<br /> 12. Memakan daging binatang buruan<br /><br />Macam-macam Haji<br />1. Haji ifrâd<br /><br />Haji ifrâd yaitu membedakan ibadah haji dengan umrah. Ibadah haji dan umrah masing-masing dikerjakan tersendiri. Pelaksanaannya, ibadah haji dilakukan terlebih dulu, setelah selesai baru melakukan umrah. Semuanya dilakukan masih dalam bulan haji.<br /><br />Cara pelaksanaannya adalah:<br />a. ihram dari mîqât dengan niat untuk haji<br />b. ihram dari mîqât dengan niat untuk umrah<br />2. Haji tamattu'<br /><br />Haji tamattu' adalah melakukan umrah terlebih dulu pada bulan haji, setelah selesai baru melakukan haji.<br />Orang yang melakukan haji tamattu' wajib membayar hadyu (denda), yaitu dengan menyembelih seekor kambing. Jika tidak mampu dapat diganti dengan berpuasa selama 10 hari, yaitu 3 hari selagi masih berada di tanah suci, dan 7 hari setelah kembali di tanah air.<br /><br />Cara pelaksanaannya adalah:<br />a. ihram dari mîqât dengan niat untuk umrah<br />b. melaksanakan haji setelah selesai melaksanakan semua amalan umrah<br />3. Haji qirân<br /><br />Haji qirân adalah melaksanakan ibadah haji dan umrah secara bersama-sama. Dengan demikian segala amalan umrah sudah tercakup dalam amalan haji.<br /><br />Cara pelaksanaannya adalah:<br />a. ihram dari mîqât dengan niat untuk haji dan umrah sekaligus<br />b. melakukan seluruh amalan haji<br />Amalan-Amalan Haji dan Umrah<br />1. Mîqât<br /><br />Mîqât adalah batas waktu dan tempat melakukan ibadah haji dan umrah. Mîqât terdiri atas mîqât zamânî dan mîqât makânî.<br /><br />Mîqât zamânî adalah kapan ibadah haji sudah boleh dilaksanakan.<br />Berdasarkan kesepakatan para ulama yang bersumber dari sunah Rasulullah SAW, mîqât zamânî jatuh pada bulan Syawal, Zulkaidah, sampai dengan tanggal 10 Zulhijah.<br /><br />Mîqât makânî adalah dari tempat mana ibadah haji sudah boleh dilaksanakan.<br />Tempat-tempat untuk mîqât makânî adalah:<br /><br /> * Zulhulaifah atau Bir-Ali (450 km dari Mekah) bagi orang yang datang dari arah Madinah<br /> * Al-Juhfah atau Rabiq (204 km dari Mekah) bagi orang yang datang dari arah Suriah, Mesir, dan wilayah-wilayah Maghrib<br /> * Yalamlan (sebuah gunung yang letaknya 94 km di selatan Mekah) bagi orang yang datang dari arah Yaman<br /> * Qarnul Manazir (94 km di timur Mekah) bagi orang yang datang dari arah Nejd<br /> * Zatu Irqin (94 km sebelah timur Mekah) bagi orang yang datang dari arah Irak<br /><br />2. Ihram<br /><br />Ihram ialah niat melaksanakan ibadah haji atau umrah dan memakai pakaian ihram.<br />Bagi laki-laki, pakaian ihram adalah dua helai pakaian tak berjahit untuk menutup badan bagian atas dan sehelai lagi untuk menutup badan bagian bawah. Kepala tidak ditutup dan memakai alas kaki yang tidak menutup mata kaki.<br />Bagi wanita, pakaian ihram adalah kain berjahit yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah.<br /><br />Sunah ihram adalah memotong kuku, kumis, rambut ketiak, rambut kemaluan, dan mandi. Kemudian melakukan shalat sunah ihram 2 rakaat (sebelum ihram), membaca talbiah, shalawat, dan istighfar (sesudah ihram dimulai).<br />3. Tawaf<br /><br />Tawaf adalah mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali, dimulai dari arah yang sejajar dengan Hajar Aswad dan Ka'bah selalu ada di sebelah kiri (berputar berlawanan arah jarum jam).<br />Syarat tawaf adalah:<br /><br /> 1. Suci dari hadas besar, hadas kecil, dan najis<br /> 2. Menutup aurat<br /> 3. Melakukan 7 kali putaran berturut-turut<br /> 4. Mulai dan mengakhiri tawaf di tempat yang sejajar dengan Hajar Aswad<br /> 5. Ka'bah selalu berada di sisi kiri<br /> 6. Bertawaf di luar Ka'bah<br /><br />Sedangkan sunah tawaf adalah:<br /><br /> 1. Menghadap Hajar Aswad ketika memulai tawaf<br /> 2. Berjalan kaki<br /> 3. al-idtibâ, yaitu meletakkan pertengahan kain ihram di bawah ketiak tangan kanan dan kedua ujungnya di atas bahu kiri<br /> 4. Menyentuh Hajar Aswad atau memberi isyarat ketika mulai tawaf<br /> 5. Niat.<br /> Niat untuk tawaf yang terkandung dalam ibadah haji hukumnya tidak wajib karena niatnya sudah terkandung dalam niat ihram haji, tetapi kalau tawaf itu bukan dalam ibadah haji, maka hukum niat tawaf menjadi wajib, seperti dalam tawaf wada' dan tawaf nazar.<br /> 6. Mencapai rukun yamanî (pada putaran ke-7) dan mencium atau menyentuh Hajar Aswad<br /> 7. Memperbanyak doa dan zikir selama dalam tawaf<br /> 8. Tertib, dilaksanakan secara berurutan<br /><br />Macam-macam tawaf adalah:<br /><br />Tawaf ifâdah<br /> Tawaf sebagai rukun haji yang apabila ditinggalkan maka hajinya menjadi tidak sah.<br />Tawaf ziyârah<br /> Tawaf kunjungan, sering juga disebut tawaf qudûm, yaitu tawaf yang dilakukan setibanya di kota Mekah.<br />Tawaf sunah<br /> Tawaf yang dapat dilakukan kapan saja.<br />Tawaf wada'<br /> Tawaf perpisahan, yaitu tawaf yang dilakukan sebelum meninggalkan Mekah setelah selesai melakukan seluruh rangkaian ibadah haji.<br /><br />4. Sa'i<br /><br />Sa'i adalah berjalan dari Bukit Shafa ke Bukit Marwa sebanyak 7 kali.<br />Syarat sa'i adalah:<br /><br /> 1. Seluruh perjalanan sa'i dilakukan secara lengkap, tidak boleh ada jarak yang tersisa<br /> 2. Dimulai dari Shafa dan berakhir di Marwa<br /> 3. Dilakukan sesudah tawaf<br /> 4. Dilakukan sebanyak 7 kali perjalanan<br /><br />Sedangkan sunah dalam sa'i adalah:<br /><br /> 1. Berdoa di antara Shafa dan Marwa<br /> 2. Dalam keadaan suci dan menutup aurat<br /> 3. Berlari kecil antara 2 tonggak hijau<br /> 4. Tidak berdesakan<br /> 5. Berjalan kaki<br /> 6. Dikerjakan secara berturut-turut<br /><br />5. Wukuf di Arafah<br /><br />Wukud di Arafah adalah berdiam diri di padang Arafah sejak matahari tergelincir pada tanggal 9 Zulhijah sampai terbit fajar pada tanggal 10 Zulhijah (hari nahar), baik dalam keadaan suci maupun tidak suci.<br />Haji tanpa wukuf tidak sah dan harus diulang lagi pada tahun berikutnya. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:<br /><br /> Haji itu 'arafah, siapa yang datang pada malam mabît di Muzdalifah sebelum fajar menyingsing, ia sudah mendapatkan haji.<br /><br />Ketika melakukan wukuf, disunahkan untuk tidak berpuasa, menghadap kiblat, berzikir, membaca istighfar, dan berdoa. Menurut riwayat Imam Ahmad, doa Nabi SAW ketika di hari arafah adalah:<br /><br /> Tiada Tuhan kecuali Allah, yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya seluruh kerajaan, bagi-Nya pula segala pujian, di tangan-Nya segala kebaikan, dan Ia Maha Kuasa atas segalanya.<br /><br />6. Melontar Jumrah<br /><br />Melontar jumrah ialah melempar batu kerikil ke arah 3 buah tonggak, yaitu ûlâ, wustâ, dan ukhrâ, masing-masing 7 kali lemparan. Hari melontar jumrah dimulai pada tanggal 10 Zulhijah, ke arah jumrah 'aqabah atau jumrah kubra, dan 2 atau 3 hari dari hari-hari tasyrik (11, 12, dan 13 Zulhijah) ke arah 3 jumrah yang telah disebutkan di atas.<br /><br />Waktu melontar jumrah disunahkan sesudah matahari terbit. Bagi orang yang lemah atau berhalangan boleh melakukannya pada malam hari.<br />Adapun melontar jumrah pada 3 hari yang lain, hendaknya dimulai pada waktu matahari sudah mulai turun ke barat sampai saat matahari terbenam.<br />Ketika melontar jumrah disunahkan:<br /><br /> 1. Berdiri dengan posisi Mekah ada di sebelah kiri dan Mina di sebelah kanan<br /> 2. Mengangkat tangan tinggi-tinggi bagi laki-laki<br /> 3. Membaca takbir ketika melempar batu yang pertama<br /><br />Bagi orang yang berhalangan menyelesaikan haji dengan tidak melakukan wukuf di Arafah, tawaf, ataupun sa'i, apa pun penyebabnya, menurut pendapat jumhur ulama orang tsb wajib menyembelih seekor kambing, sapi, atau unta di tempat ia bertahalul.<br />Apabila ibadahnya itu ibadah wajib, ia harus meng-qadha pada tahun berikutnya, tetapi bila bukan ibadah wajib, ia tidak perlu meng-qadha.<br />Haji Akbar dan Haji Mabrur<br />Haji akbar (haji besar)<br /><br />Istilah haji akbar disebut dalam firman Allah SWT pada surah At-Taubah: 3 yang artinya:<br /><br /> Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin...<br /><br />Ada beberapa pendapat ulama tentang haji akbar, yaitu haji akbar adalah:<br /><br /> * haji pada hari wukuf di Arafah<br /> * haji pada hari nahar<br /> * haji yang wukufnya bertepatan dengan hari jum'at<br /> * ibadah haji itu sendiri beserta wukufnya di Arafah<br /><br />Namun pendapat yang paling masyhur adalah pendapat yang menyatakan bahwa haji akbar adalah haji yang wukufnya jatuh pada hari jum'at.<br /><br />Ada haji besar, ada pula haji asgar (haji kecil) yang merupakan istilah lain untuk umrah.<br />Haji mabrur<br /><br />Haji mabrur adalah ibadah haji seseorang yang seluruh rangkaian ibadah hajinya dapat dilaksanakan dengan benar, ikhlas, tidak dicampuri dosa, menggunakan biaya yang halal, dan yang terpenting, setelah ibadah haji menjadi orang yang lebih baik.<br /><br />Balasan bagi orang yang mendapat haji mabrur adalah surga. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang artinya:<br /><br /> Umrah ke satu ke umrah berikutnya adalah penebus dosa di antara keduanya, dan haji mabrur ganjarannya tiada lain kecuali surga (HR Bukhari dan Muslim)<br /><br />Dam (Denda)<br /><br />Dam dalam bentuk darah adalah menyembelih binatang sebagai karafat (tebusan) terhadap beberapa pelanggaran yang dilakukan ketika melakukan ibadah haji atau umrah. Jenis dam adalah:<br /><br /> 1. Dam tartîb<br /> 2. Dam takhyîr dan taqdîr<br /> 3. Dam tartîb dan ta'dîl<br /> 4. Dam takhyîr dan ta'dîl<br /><br />1. Dam tartîb<br /><br />Dam tartîb yaitu bila binatang yang disembelih adalah kambing, tetapi bila tidak mendapat kambing, harus melaksanakan puasa 3 hari di tanah suci dan 7 hari apabila telah pulang ke kampung halaman.<br />Orang diwajibkan membayar dam tartîb karena 9 hal, yaitu:<br /><br /> 1. Mengerjakan haji tammatu'<br /> 2. Mengerjakan haji qirân<br /> 3. Tidak wukuf di Arafah<br /> 4. Tidak melontar jumrah yang ke-3<br /> 5. Tidak mabît di Muzdalifah pada malam nahar<br /> 6. Tidak mabît di Mina pada malam hari tasyrik<br /> 7. Tidak berihram dari mîqât<br /> 8. Tidak melakukan tawaf wada'<br /> 9. Tidak berjalan kaki bagi yang bernazar untuk mengerjakan haji dengan berjalan kaki<br /><br />2. Dam takhyîr dan taqdîr<br /><br />Dam takhyîr dan taqdîr ialah boleh memilih menyembelih seekor kambing, berpuasa, atau bersedekah memberi makan kepada 6 orang miskin sebanyak 3 sa' (1 sa' = 3,1 liter).<br />Dam jenis ini dikenakan untuk satu diantara sebab-sebab berikut:<br /><br /> 1. Mencabut 3 helai rambut atau lebih secara berturut-turut<br /> 2. Memotong 3 kuku atau lebih<br /> 3. Berpakaian yang berjahit<br /> 4. Menutup kepala<br /> 5. Memakai wewangian<br /> 6. Melakukan perbuatan yang menjadi pengantar bagi perbuatan seksual<br /> 7. Melakukan hubungan seksual antara tahalul pertama dan tahalul kedua.<br /><br />3. Dam tartîb dan ta'dîl<br /><br />Dam tartîb dan ta'dîl adalah pertama kali wajib menyembelih unta, apabila tidak mampu boleh menyembelih sapi, apabila tidak mampu juga baru menyembelih kambing 7 ekor.<br />Apabila tidak mendapat 7 ekor kambing, si pelanggar harus membeli makanan seharga itu dan disedekahkan kepada fakir miskin di tanah suci.<br />Dam jenis ini dikenakan karena pelanggaran melakukan hubungan seksual.<br />4. Dam takhyîr dan ta'dîl<br /><br />Dam takhyîr dan ta'dîl adalah boleh memilih diantara 3 hal yaitu:<br /><br /> * Menyembelih binatang buruan yang diburu<br /> * Membeli makanan seharga binatang buruan tsb dan disedekahkan<br /> * Berpuasa satu hari untuk setiap 1 mud (5/6 liter)<br /><br />Dam jenis ini dikenakan karena sebab-sebab:<br /><br /> 1. Merusak, memburu, atau membunuh binatang buruan<br /> 2. Memotong pohon-pohon atau mencabut rerumputan di tanah haram.<br /><br />Waktu dan tempat penyembelihan dam<br /><br />Waktu penyembelihan dam yang disebabkan pelanggaran yang tidak sampai membatalkan atau kehilangan haji harus dilakukan pada waktu si pelanggar melakukan ibadah haji. Tetapi bagi dam yang disebabkan pelanggaran yang berakibat kehilangan haji, pelaksanaannya wajib ditunda sampai pada waktu melakukan ihram ketika meng-qadha haji.<br /><br />Sedangkan tempat penyembelihan dam dan penyaluran dagingnya adalah di tanah haram.<br />Bagi orang yang melakukan haji, diutamakan menyembelihnya di Mina, sedangkan bagi orang yang melakukan umrah, menyembelihnya di Marwa.<br />Mewakilkan Haji<br /><br />Perwakilan haji berlaku untuk seseorang yang mampu melakukan haji dari segi biaya, tapi kesehatannya tidak memungkinkan, seperti sakit yang parah atau karena usia tua.<br />Dalam hal ini wajib orang lain untuk menghajikannya dengan biaya dari orang yang bersangkutan, dengan syarat orang yang menggantikan tsb sudah mengerjakan haji untuk dirinya sendiri.<br />Tetapi bila setelah dihajikan orang itu sembuh, menurut Imam Syafi'i, ia tetap wajib melakukan haji.<br /><br />Perwakilan haji juga dapat dilakukan atas orang yang sudah meninggal, asalkan orang tsb berkewajiban haji, antara lain mempunyai nazar dan belum dapat melaksanakannya. Hal ini didasarkan pada hadist yang meriwayatkan bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi SAW:<br /><br /> "Ayah saya sudah meninggal dan ia mempunya kewajiban haji, apakah aku harus menghajikannya?" Nabi SAW menjawab, "Bagaimana pendapatmu apabila ayahmu meninggalkan hutang, apakah engkau wajib membayarnya?" Orang itu menjawab, "Ya". Nabi SAW berkata, "Berhajilah engkau untuk ayahmu".(HR. Ibnu Abbas RA)<br /><br /> </span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-42405473062989686292009-11-15T12:42:00.009+07:002009-11-15T13:05:24.414+07:00Al Qur'anAl-Qur'an adalah kitab suci umat Islam. Bagi Muslim, Al-Quran merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-Qur'an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat Islam hingga saat ini. Di dalamnya terkandung petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat.
<br /><span class="fullpost">
<br />Bagian-bagian Al-Qur'an
<br />
<br />Al-Qur'an mempunyai 114 surat, dengan surat terpanjang terdiri atas 286 ayat, yaitu Al Baqarah, dan terpendek terdiri dari 3 ayat, yaitu Al-'Ashr, Al-Kautsar, dan An-Nashr.
<br />Sebagian ulama menyatakan jumlah ayat di Al-Qur'an adalah 6.236, sebagian lagi menyatakan 6.666. Perbedaan jumlah ayat ini disebabkan karena perbedaan pandangan tentang kalimat Basmalah pada setiap awal surat (kecuali At-Taubah), kemudian tentang kata-kata pembuka surat yang terdiri dari susunan huruf-huruf seperti Yaa Siin, Alif Lam Miim, Ha Mim dll. Ada yang memasukkannya sebagai ayat, ada yang tidak mengikutsertakannya sebagai ayat.
<br />
<br />Untuk memudahkan pembacaan dan penghafalan, para ulama membagi Al-Qur'an dalam 30 juz yang sama panjang, dan dalam 60 hizb (biasanya ditulis di bagian pinggir Al-Qur'an).
<br />Masing-masing hizb dibagi lagi menjadi empat dengan tanda-tanda ar-rub' (seperempat), an-nisf (seperdua), dan as-salasah (tiga perempat).
<br />
<br />Selanjutnya Al-Qur'an dibagi pula dalam 554 ruku', yaitu bagian yang terdiri atas beberapa ayat. Setiap satu ruku' ditandai dengan huruf 'ain di sebelah pinggirnya. Surat yang panjang berisi beberapa ruku', sedang surat yang pendek hanya berisi satu ruku'.
<br />Nisf Al-Qur'an (tanda pertengahan Al-Qur'an), terdapat pada surat Al-Kahfi ayat 19 pada lafal walyatalattaf yang artinya: "hendaklah ia berlaku lemah lembut".
<br />Sejarah Turunnya Al-Qur'an
<br />
<br />Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui berbagai cara, antara lain:
<br />
<br /> 1. Malaikat Jibril memasukkan wahyu itu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW tanpa memperlihatkan wujud aslinya. Nabi SAW tiba-tiba saja merasakan wahyu itu telah berada di dalam hatinya.
<br /> 2. Malaikat Jibril menampakkan dirinya sebagai manusia laki-laki dan mengucapkan kata-kata di hadapan Nabi SAW.
<br /> 3. Wahyu turun kepada Nabi SAW seperti bunyi gemerincing lonceng.
<br /> Menurut Nabi SAW, cara inilah yang paling berat dirasakan, sampai-sampai Nabi SAW mencucurkan keringat meskipun wahyu itu turun di musim dingin yang sangat dingin.
<br /> 4. Malaikat Jibril turun membawa wahyu dengan menampakkan wujudnya yang asli.
<br />
<br />Setiap kali mendapat wahyu, Nabi SAW lalu menghafalkannya. Beliau dapat mengulangi wahyu yang diterima tepat seperti apa yang telah disampaikan Jibril kepadanya. Hafalan Nabi SAW ini selalu dikontrol oleh Malaikat Jibril.
<br />
<br />Al-Qur'an diturunkan dalam 2 periode, yang pertama Periode Mekah, yaitu saat Nabi SAW bermukim di Mekah (610-622 M) sampai Nabi SAW melakukan hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan pada masa itu disebut ayat-ayat Makkiyah, yang berjumlah 4.726 ayat, meliputi 89 surat.
<br />
<br />Kedua adalah Periode Madinah, yaitu masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah (622-632 M). Ayat-ayat yang turun dalam periode ini dinamakan ayat-ayat Madaniyyah, meliputi 1.510 ayat dan mencakup 25 surat.
<br />
<br />Ciri-ciri Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah<HTML><BODY><TABLE WIDTH="80%" BORDER="1">
<br /> <TD bgcolor="#009900">Makkiyah</TD>
<br /> <TD bgcolor="#009900">Madaniyyah</TD>
<br /></TR>
<br /><TR>
<br /> <TD>Ayat-ayatnya pendek-pendek, </TD>
<br /> <TD>Ayat-ayatnya panjang-panjang, </TD>
<br /></TR>
<br /><TR>
<br /> <TD>Diawali dengan yaa ayyuhan-nâs (wahai manusia), </TD>
<br /> <TD>Diawali dengan yaa ayyuhal-ladzîna âmanû (wahai orang-orang yang beriman). </TD>
<br /></TR>
<br /><TR>
<br /> <TD>Kebanyakan mengandung masalah tauhid, iman kepada Allah SWT, hal ihwal surga dan neraka, dan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan akhirat (ukhrawi), </TD>
<br /> <TD>Kebanyakan tentang hukum-hukum agama (syariat), orang-orang yang berhijrah (Muhajirin) dan kaum penolong (Anshar), kaum munafik, serta ahli kitab. </TD>
<br /></TR></TABLE></BODY></HTML>
<br />Ayat Al-Qur'an yang pertama diterima Nabi Muhammad SAW adalah 5 ayat pertama surat Al-'Alaq, ketika ia sedang berkhalwat di Gua Hira, sebuah gua yang terletak di pegunungan sekitar kota Mekah, pada tanggal 17 Ramadhan (6 Agustus 610). Kala itu usia Nabi SAW 40 tahun.
<br />Kodifikasi Al-Qur'an
<br />
<br />Kodifikasi atau pengumpulan Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, bahkan sejak Al-Qur'an diturunkan. Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang diperintahkan untuk mengajarkan Al-Qur'an kepada mereka.
<br />Disamping menyuruh mereka untuk menghafalkan ayat-ayat yang diajarkannya, Nabi SAW juga memerintahkan para sahabat untuk menuliskannya di atas pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu, dan kepingan-kepingan tulang.
<br />
<br />Setelah ayat-ayat yang diturunkan cukup satu surat, Nabi SAW memberi nama surat tsb untuk membedakannya dari yang lain. Nabi SAW juga memberi petunjuk tentang penempatan surat di dalam Al-Qur'an. Penyusunan ayat-ayat dan penempatannya di dalam susunan Al-Qur'an juga dilakukan berdasarkan petunjuk Nabi SAW. Cara pengumpulan Al-Qur'an yang dilakukan di masa Nabi SAW tsb berlangsung sampai Al-Qur'an sempurna diturunkan dalam masa kurang lebih 22 tahun 2 bulan 22 hari.
<br />
<br />Untuk menjaga kemurnian Al-Qur'an, setiap tahun Jibril datang kepada Nabi SAW untuk memeriksa bacaannya. Malaikat Jibril mengontrol bacaan Nabi SAW dengan cara menyuruhnya mengulangi bacaan ayat-ayat yang telah diwahyukan. Kemudian Nabi SAW sendiri juga melakukan hal yang sama dengan mengontrol bacaan sahabat-sahabatnya. Dengan demikian terpeliharalah Al-Qur'an dari kesalahan dan kekeliruan.
<br />Para Hafidz dan Juru Tulis Al-Qur'an
<br />
<br />Pada masa Rasulullah SAW sudah banyak sahabat yang menjadi hafidz (penghafal Al-Qur'an), baik hafal sebagian saja atau seluruhnya. Di antara yang menghafal seluruh isinya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah, Sa'ad, Huzaifah, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin Abbas, Amr bin As, Mu'awiyah bin Abu Sofyan, Abdullah bin Zubair, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah, Ubay bin Ka'b, Mu'az bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darba, dan Anas bin Malik.
<br />
<br />Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu antara lain adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka'b, Mu'awiyah bin Abu Sofyan, Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, dan Amr bin As.
<br />
<br />Tulisan ayat-ayat Al-Qur'an yang ditulis oleh mereka disimpan di rumah Rasulullah, mereka juga menulis untuk disimpan sendiri. Saat itu tulisan-tulisan tsb belum terkumpul dalam satu mushaf seperti yang dijumpai sekarang. Pengumpulan Al-Qur'an menjadi satu mushaf baru dilakukan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, setelah Rasulullah SAW wafat.
<br />
<br /> </span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-56701382149246015892009-11-15T12:38:00.001+07:002009-11-15T12:42:27.053+07:00Mengenal AllahDalam kitab dikatakan, awaluddin makrifatullah (awal-awal agama ialah mengenal ALLAH). Apabila seseorang itu tidak mengenal ALLAH, segala amal baktinya tidak akan sampai kepada ALLAH SWT. Sedangkan, segala perintah suruh yang kita buat, baik yang berbentuk fardhu maupun sunat, dan segala perintah larang yang kita jauhi, baik yang berbentuk haram maupun makruh, merupakan persembahan yang hendak kita berikan kepada ALLAH SWT.<br />Kalau kita tidak kenal ALLAH SWT, maka segala persembahan itu tidak akan sampai kepada-Nya. Ini berarti, sia-sialah segala amalan yang kita perbuat.<br /><span class="fullpost"><br />Bila seseorang itu sudah kenal ALLAH, barulah apabila dia berpuasa, puasanya sampai kepada ALLAH. Apabila dia sholat, sholatnya sampai kepada ALLAH. Apabila dia berzakat, zakatnya sampai kepada ALLAH. Apabila dia menunaikan haji, hajinya sampai kepada ALLAH SWT. Apabila dia berjuang, berjihad, bersedekah dan berkorban, serta membuat segala amal bakti, semuanya akan sampai kepada ALLAH SWT.<br /><br />Kerana itulah, makrifatullah (mengenal ALLAH) ini amat penting bagi kita. Jika kita tidak kenal ALLAH, kita bimbang segala amal ibadah kita tidak akan sampai kepada-Nya, ia menjadi sia-sia belaka. Boleh jadi kita malah hanya akan tertipu oleh syaitan saja. Kita mengira amalan yang kita perbuat sudah kita persembahkan pada ALLAH, padahal itu adalah jebakan syaitan. Ini karena kita tidak mengenal ALLAH, sehingga kita tidak mampu membedakan ilah (tuhan) yang kita ikuti, apakah itu ALLAH, atau syaitan yang menipu daya.<br />Sebab itulah mengenal ALLAH itu hukumnya fardhu 'ain bagi tiap-tiap mukmin.<br /><br />Mengenal ALLAH dapat kita lakukan dengan cara memahami sifat-sifat-Nya. Kita tidak dapat mengenal ALLAH melalui zat-Nya, karena membayangkan zat ALLAH itu adalah suatu perkara yang sudah di luar batas kesanggupan akal kita sebagai makhluk ALLAH. Kita hanya dapat mengenal ALLAH melalui sifat-sifat-Nya.<br /><br />Untuk memahami sifat-sifat ALLAH itu, kita memerlukan dalil aqli dan dalil naqli.<br />Dalil aqli adalah dalil yang bersumber dari akal (aqli dalam bahasa Arab = akal).<br />Dalil naqli adalah dalil yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.<br />Melalui dalil aqli dan dalil naqli ini sajalah kita dapat mengenal ALLAH. Tanpa dalil-dalil itu, kita tidak dapat mengetahui sifat-sifat ALLAH, dan kalau kita tidak mengetahui sifat-sifat ALLAH, berarti kita pun tidak mengenal ALLAH.<br />Sifat-sifat ALLAH<br /><br />Sifat-sifat Wajib<br /> Sifat kesempurnaan yang pasti dimiliki oleh ALLAH SWT, jumlahnya 20.<br />Sifat-sifat Mustahil<br /> Sifat yang mustahil dimiliki ALLAH SWT, jumlahnya juga 20.<br />Sifat Jaiz / Mubah<br /> Sifat yang bebas bagi ALLAH, jumlahnya hanya satu, yaitu ALLAH SWT berkehendak sesuatu atau tidak berkehendak. <br /><br /> </span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-45149414565434810632009-10-28T20:19:00.001+07:002009-10-28T20:20:15.599+07:00Hutang Piutang Menurut Ajaran IslamDefinisi dan Arti : Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga. Contoh hutang piutang modern yaitu kredit candak kulak, perum pegadaian, kpr BTN, Kredit investasi kecil / KIK, kredit modal kerja permanen / KMKP, dan lain sebagainya.<br /><span class="fullpost"><br />Hukum hutang piutang bersifat fleksibel tergantung situasi kondisi dan toleransi. Pada umumnya pinjam-meminjam hukumnya sunah / sunat bila dalam keadaan normal. Hukumnya haram jika meminjamkan uang untuk membeli narkoba, berbuat kejahatan, menyewa pelacur, dan lain sebagainya. Hukumnya wajib jika memberikan kepada orang yang sangat membutuhkan seperti tetangga yang anaknya sedang sakit keras dan membutuhkan uang untuk menebus resep obat yang diberikan oleh dokter.<br /><br />Dalam Hutang Piutang Harus Sesuai Rukun yang Ada :<br />- Ada yang berhutang / peminjam / piutang / debitor<br />- Ada yang memberi hutang / kreditor<br />- Ada ucapan kesepakatan atau ijab qabul / qobul<br />- Ada barang atau uang yang akan dihutangkan<br /><br />Hutang piutang dapat memberikan banyak manfaat / syafaat kepada kedua belah pihak. Hutang piutang merupakan perbuatan saling tolong menolong antara umat manusia yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT selama tolong-menolong dalam kebajikan. Hutang piutang dapat mengurangi kesulitan orang lain yang sedang dirudung masalah serta dapat memperkuat tali persaudaraan kedua belah pihak.<br /><br /> </span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-2216980392878772322009-10-28T20:18:00.001+07:002009-10-28T20:19:22.522+07:00Pengertian, Definisi, Jenis dan Tata Cara Sholat Sunat Rawatib Yang Mengiringi Solat WajibA. Pengertian dan Definisi<br />Shalat sunah rawatib adalah shalat yang mengiringi solat wajib lima waktu dalam sehari yang bisa dikerjakan pada saat sebelum sholat dan setelah solat. Fungsi salat sunat rawatib adalah menambah serta menyempurnakan kekurangan dari shalat wajib.<br /><span class="fullpost"><br />B. Tata Cara dan Syarat Kondisi<br />1. Dikerjakan sendiri-sendiri tidak berjamaah<br />2. Mengambil tempat salat yang berbeda dengan tempat melakukan sholat wajib.<br />3. Shalat sunah rawatib dilakukan dua rokaat dengan satu salam.<br />4. Tidak didahului azan dan qomat<br /><br />C. Jenis Salat Sunat Rawatib<br />1. Salat sunat qabliyah / qobliyah adalah sholat sunah yang dilaksanakan sebelum mengerjakan solat wajib.<br />2. shalat sunah ba'diyah adalah sholat yang dikerjakan setelah melakukan shalat wajib.<br /><br />D. Macam-macam Sholat Sunah Rawatib<br />1. Salat sunat rawatib muakkad / penting<br />Adalah sholat sunat rawatib yang dikerjakan pada :<br />- Sebelum subuh dua rokaat<br />- Sebelum zuhur dua rokaat<br />- Sesudah dzuhur dua rokaat<br />- Sesudah maghrib dua rokaat<br />- Sesudah isya dua rokaat<br />2. Salat sunat rawatib ghoiru muakkad / tidak penting<br />Adalah sholat sunat rawatib yang dikerjakan pada :<br />- Sebelum zuhur dua rokaat<br />- Setelah zuhur dua rokaat<br />- Sebelum ashar empat rokaat<br />- Sebelum magrib dua rokaat<br />- Sebelum isya dua rokaat<br /><br /> </span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-19028712338105801952009-10-28T20:17:00.001+07:002009-10-28T20:18:29.251+07:00Kesempurnaan Ajaran Agama Islam Nabi Muhammad SAW1. Memiliki sifat menyempurnakan serta memperbaiki ajaran agama Allah SWT sebelumnya. Ajaran Allah SWT yang terdahulu tidak terjaga dengan baik sehingga banyak bagian-bagian ajaran yang hilang baik secara sengaja maupun dengan sengaja oleh umatnya. Kitab yang berisi ajaran Allah SWT adalah Zabur, Taurat, Injil dan Al-quran.<br /><span class="fullpost"><br />2. Kebenaran dan keaslian agama islam selalu dan langsung dijaga oleh Allah SWT.<br /><br />3. Berlaku untuk semua umat, ras serta golongan manusia dan untuk sepanjang masa serta zaman hingga hari kiamat tiba. Tidak hanya untuk golongan tertentu saja.<br /><br /> </span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-84091488904405189992009-10-28T20:16:00.004+07:002009-10-28T20:17:42.045+07:00Definisi Doa / Do'a / Berdoa - Arti, Pengertian, Taca Cara, dan Waktu MustajabA. Arti Doa / Do'a<br />Doa adalah memohon atau meminta suatu yang bersifat baik kepada Allah SWT seperti meminta keselamatan hidup, rizki yang halal dan keteguhan iman. Sebaiknya kita berdoa kepada Allah SWT setiap saat karena akan selalu didengar olehNya.<br /><br />B. Tujuan Berdo'a / Berdoa<br />- Memohon hidup selalu dalam bimbingan Allah SWT<br />- Agar selamat dunia akhirat<br />- Untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT<br />- Meminta perlindungan Allah SWT dari Setan yang terkutuk<br /><span class="fullpost"><br />C. Waktu-waktu yang tepat / mustajab untuk berdoa kepada Allah SWT<br />- Ketika membaca AlQuran<br />- Setelah Solat wajib<br />- Pada saat tengah malam setelah sholat tahajud<br />- Saat melaksanakan ibadah haji<br />- Saat berpuasa wajib dan sunah<br /><br />D. Adab atau Tata cara Berdoa / berdo'a<br />- Menghadap ke Kiblat / Ka'bah<br />- Sebelum berdoa membaca basmalah, istighfar dan hamdalah. Kemudian diikuti salawa nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.<br />- Mengangkat kedua telapak tangan sebelum berdoa dan mengusap muka dengan telapak tangan setelah doa.<br />- Melembutkan suara dan tenang saat berdoa<br />- khusyuk, ikhlas dan serius<br />- Berharap agar doanya diterima Allah SWT<br />- Berdoa berulang-ulang di lain waktu untuk menunjukkan keseriusan kita agar dikabulkan oleh Allah SWT<br />- Setelah berdoa ditutup dengan salawat nabi dan pujian pada Allah SWT.<br /><br /> </span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-41052049874912115672009-10-28T20:16:00.002+07:002009-10-28T20:16:51.137+07:00Tata Cara Zikir Serta Arti, Pengertian dan DefinisiZikir adalah suatu kegiatan atau ucapan yang bertujuan agar selalu ingat kepada sang maha pencipta yaitu Allah SWT. Dari arti bahasa zikir berarti ingat. Berzikir untuk mengingat Allah SWT bisa dengan menyebut Asmaul Husna / nama-nama Allah SWT atawa bisa juga dengan melafalkan kalimat toyyibah / toyibah.<br /><span class="fullpost"><br />Zikir bisa dilakukan di mana saja asalkan di tempat yang suci terhindar dari kotor dan najis. Dalam berizikir kita harus dengan hati yang tulus dan ikhlas, tenang, suara yang lembut, khusyuk, dan lain-lain. Zikir berfungsi untuk menenangkan jiwa, perlindungan dari Allah SWT, meningkatkan keimanan dan mendapatkan kebahagiaan Allah kelak.<br /><br />Macam-macam bacaan zikir dengan kalimat toyyibah :<br /><br />1. Laaa illaahaillallooh / Laaa illaahaillallaah<br />artinya : Tidak ada tuhan selain Allah SWT<br />2. Allohuakbar / Allahuakbar<br />artinya : Allah maha besar<br />3. Subhaanallooh / Subhaanallaah<br />artinya : Maha suci Allah<br />4. Alhamdulillaah<br />artinya : Segala puji bagi Allah<br />5. Astaghfirullooh / Astaghfirullaah<br />artinya : Saya mohon ampun kepada Allah yang maha besar.<br /><br /> </span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-4658771891690009802009-10-28T20:14:00.001+07:002009-10-28T20:15:16.499+07:00Definisi / Pengertian dan Sifat-Sifat Nabi dan Rosul / RasulRasul adalah seseorang dengan jenis kelamin laki-laki yang mendapatkan wahyu dari Allah SWT dan memiliki kewajiban untuk menyebar luaskan wahyu tersebut.<br /><br />Nabi adalah seseorang dengan jenis kelamin pria yang mendapat wahyu dari Allah SWT namun tidak wajib disebarkan kepada orang lain.<br /><br />Nabi dan rasul dalam ajaran islam wajib kita percayai karena terdapat pada rukun iman yang ke-4. Nabi serta rosul dalam menyampaikan dan menerima wahyu dari Allah SWT selalu dijaga dari perbuatan dosa dan salah yang disebut dengan ma'shum.<br /><span class="fullpost"><br />Nabi dan rasul sebelum diangkat menjadi nabi memiliki ciri-ciri kenabian / nubuwwah yang disebut juga dengan irhash. Nabi Muhammad SAW sejak kecil terkenal dengan akhlak yang mulia dengan sebutan al amin.<br /><br />Sifat-sifat para nabi dan rasul Allah SWT :<br />1. Siddiq / siddik / sidiq / sidik<br />Siddiq berarti benar dan perkataan dan perbuatan. Jadi mustahil jika seorang nabi dan rosul adalah seorang pembohong yang suka berbohong.<br />2. Amanah / Amanat<br />Amanah artinya terpercaya atau dapat dipercaya. Jadi mustahil jika seorang nabi dan rosul adalah seorang pengkhianat yang suka khianat.<br />3. Fathonah / Fathanah / Fatonah<br />Fathonah adalah cerdas, pandai atau pintar. Jadi mustahil jika seorang nabi dan rosul adalah seorang yang bodoh dan tidak mengerti apa-apa.<br />4. Tabligh / Tablik / Tablig<br />Tabligh adalah menyampaikan wahtu atau risalah dari Allah SWT kepada orang lain. Jadi mustahil jika seorang nabi dan rosul menyembunyikan dan merahasiakan wahyu / risalah Alaah SWT.<br /><br /> </span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-40235129338987692862009-10-28T20:13:00.001+07:002009-10-28T20:14:23.233+07:00Nama-Nama Wali Songo atau Sembilan Wali Penyebar Agama Islam di Pulau Jawa Indonesia1. Sunan Giri / Raden Paku / Ainul Yaqien<br />2. Sunan Bonang / Raden Maulana Makdum Ibrahim<br />3. Sunan Ampel / Raden Rachmad<br />4. Sunan Drajat / Raden Qosim Syarifuddin<br />5. Sunan Muria / Raden Syaid<br /><span class="fullpost"><br />6. Sunan Gunung Jati / Fatahilah / Fattahillah / Syarif Hidayatullah<br />7. Sunan Gresik / Maulana Malik Ibrahim<br />8. Sunan Kudus / Raden Ja'far Sodik<br />9. Sunan Kalijaga / Raden Mas Syahid<br /><br /> </span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-61938959427724088682009-10-28T20:12:00.001+07:002009-10-28T20:13:40.048+07:00Pengertian dan Penjelasan Shalat Sunat Tahajud, Dhuha, Istikhoroh, Tasbih, Taubat, Hajat, SafarPersamaan Kata :<br />Shalat = Salat = Sholat = Solat<br />Sunat = Sunah<br />Tahajud = Tahajjud<br />Dhuha = Duha<br />Istikharah = Istikhoroh = Istikoroh<br />Safar = Shafar<br /><span class="fullpost"><br />Pada artikel ini akan dijelaskan pengertian shalat tahajud<br /><br />1. Shalat Sunat Tahajud<br />Shalat sunat tahajud adalah shalat yang dikerjakan pada waktu tengah malam di antara shalat isya dan Shalat shubuh setelah bangun tidur. Jumlah rokaat shalat tahajud minimal dua rokaat hingga tidak terbatas. Saat hendak kembali tidur sebaiknya membaca ayat kursi, surat al ikhlas, surat al falaq dan surat an nas.<br /><br />2. Shalat Sunat Dhuha<br />Shalat Dhuha adalah shalat sunat yang dilakukan pada pagi hari antara pukul 07.00 hingga jam 10.00 waktu setempat. Jumlah roka'at shalat dhuha minimal dua rokaat dan maksimal dua belas roka'at dengan satu salam setiap du roka'at. Manfaat dari shalat dhuha adalah supaya dilapangkan dada dalam segala hal, terutama rejeki. Saat melakukan sholat dhuha sebaiknya membaca ayat-ayat surat al-waqi'ah, adh-dhuha, al-quraisy, asy-syamsi, al-kafirun dan al-ikhlas.<br /><br />3. Shalat Sunat Istikhoroh<br />Shalat istikhoroh adalah shalat yang tujuannya adalah untuk mendapatkan petunjuk dari Allah SWT dalam menentukan pilihan hidup baik yang terdiri dari dua hal/perkara maupun lebih dari dua. Hasil dari petunjuk Allah SWT akan menghilangkan kebimbangan dan kekecewaan di kemudian hari. Setiap kegagalan akan memberikan pelajaran dan pengalaman yang kelak akan berguna di masa yang akan datang. Contoh kasus penentuan pilihan :<br />- memilih jodoh suami/istri<br />- memilih pekerjaan<br />- memutuskan suatu perkara<br />- memilih tempat tinggal, dan lain sebagainya<br />Dalam melakukan shalat istikharah sebaiknya juga melakukan, puasa sunat, sodakoh, zikir, dan amalan baik lainnya.<br /><br />4. Shalat Sunat Tasbih<br />Shalat tasbih adalah solat yang bertujuan untuk memperbanyak memahasucikan Allah SWT. Waktu pengerjaan shalat bebas. Setiap rokaat dibarengi dengan 75 kali bacaan tasbih. Jika shalat dilakukan siang hari, jumlah rokaatnya adalah empat rokaat salam salam, sedangkan jika malam hari dengan dua salam.<br /><br />5. Shalat Sunat Taubat<br />Shalat taubat adalah shalat dua roka'at yang dikerjakan bagi orang yang ingin bertaubat, insyaf atau menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukannya dengan bersumpah tidak akan melakukan serta mengulangi perbuatan dosanya tersebut. Sebaiknya shalat sunah taubat dibarengi dengan puasa, sodaqoh dan sholat.<br /><br />6. Shalat Sunat Hajat<br />Shalat Hajat adalah shalat agar hajat atau cita-citanya dikabulkan oleh Allah SWT. Shalat hajat dikerjakan bersamaan dengan ikhtiar atau usaha untuk mencapai hajat atau cita-cita. Shalat sunah hajat dilakukan minimal dua rokaat dan maksimal duabelas bisa kapan sajadengan satu salam setiap dua roka'at, namun lebih baik dilakukan pada sepertiga terakhir waktu malam.<br /><br />7. Shalat Sunat Safar<br />Shalat safar adalah solat yang dilakukan oleh orang yang sebelum bepergian atau melakukan perjalanan selama tidak bertujuan untuk maksiat seperti pergi haji, mencari ilmu, mencari kerja, berdagang, dan sebagainya. Tujuan utamanya adalah supaya mendapat keridhoan, keselamatan dan perlindungan dari Allah SWT.<br /><br />Note : Penjelasan lebih rinci mengenai masing-masing shalat akan dijelaskan lebih jauh pada artikel lain.<br /><br /> </span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-66196639561893614512009-10-28T20:09:00.001+07:002009-10-28T20:12:33.367+07:00Ayat Kursi, Arti dan Manfaat/Keutamaannya dalam Huruf LatinBacaan sesuai terjemahan biasa dari huruf arab ke huruf latin :<br /><br />ALLAHU LAA ILAAHA ILLA HUWAL HAYYUL QAYYUMU. LAA TA'KHUDZUHUU SINATUW WA LAA NAUUM. LAHUU MAA FISSAMAAWAATI WA MAA FIL ARDHI. MAN DZAL LADZII YASFA'U 'INDAHUU ILLAA BI IDZNIHI. YA'LAMU MAA BAINA AIDIIHIM WA MAA KHALFAHUM. WA LAA YUHITHUUNA BI SYAI-IN MIN 'ILMIHII ILLAA BI MAASYAA-A. WASI'A KURSIYYUHUSSAMAAWAATI WAL ARDHA. WA LAA YA-UDHUU HIFZHUHUMAA WAHUWAL 'ALIYYUL AZHIIM.<br /><span class="fullpost"><br />Bacaan sesuai terjemahan sesuai lafal dari huruf arab ke huruf latin :<br /><br />ALLOHU LAA ILAAHA ILLA HUWAL HAYYUL QOYYUM. LAA TA'KHUDZUHUU SINATUW WA LAA NAUUM. LAHUU MAA FISSAMAAWAATI WA MAA FIL ARDH. MAN DZAL LADZII YASFA'U 'INDAHUU ILLAA BI IDZNIH. YA'LAMU MAA BAINA AIDIIHIM WA MAA KHOLFAHUM. WA LAA YUHITHUUNA BI SYAI-IN MIN (dengung) 'ILMIHII ILLAA BI MAASYAA-A. WASI'A KURSIYYUHUSSAMAAWAATI WAL ARDH. WA LAA YA-UDHUU HIFZHUHUMAA WAHUWAL 'ALIYYUL AZHIIIM.<br /><br />Artinya :<br /><br />Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Kekal lagi terus menerus mengurus makhlukNya, tidak mengantuk dan tidak tidur KepunyaanNya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izinNya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang meraka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi, Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS : Al-Baqarah : 255)<br /><br />Keutamaan, kegunaan, manfaat, syafaat, keajaiban, keistimewaan dari ayat kursi surat al-baqoroh ayat 255 antara lain adalah :<br />- Dapat mendatangkan hajat bila dibaca 100 kali pada waktu tengah malam setelah melakukan shalat sunat hajat.<br />- Dapat mengusir, menghilangkan dan menghindar dari gangguan jin, syetan/setan, makhluk ghoib, makhluk halus dan sebangsanya serta gannguan dari orang-orang zhalim. Bacalah ayat kursi pada setiap permulaan siang dan malam hari.<br />- Menyembuhkan orang gila dan kerasukan/kesurupan dengan cara membaca 11 kali pada orang gila dengan sambil ditiup-tiupkan.<br />- Penyembuhan segala macam penyakit dengan menulis ayat kursi pada wadah air minum seperti gelas, mangkuk, cangkir, kendi, piring, dan lain-lain.<br /><br />Note :<br />Apabila ada kesalahan jangan sungkan untuk menghubungi moderator atau admin.<br /><br /> </span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-78014834022788623392009-10-28T19:59:00.004+07:002009-10-28T20:00:46.363+07:00Pengertian Mandi dan Jenis-Jenis MandiMandi adalah meratakan air ke seluruh tubuh dengan tujuan untuk menghilangkan hadats besar.<br /><br />Mandi Wajib / Mandi Junub :<br />1. Mandi yang dilakukan setelah bersetubuh (melakukan hubungan suami istri)<br />2. Setelah Haid/Menstruasi (Wanita)<br />3. Setelah Melahirkan/Nifas (Wanita)<br />4. Meninggal Dunia<br /><span class="fullpost"><br />Mandi Sunat/Sunah :<br />1. Mandi untuk Shalat jum'at<br />2. Mandi untuk Shalat hari raya<br />3. Sadar dari kehilangan kesadaran akibat pingsan, gila, dbb<br />4. Muallaf (baru memeluk/masuk agama islam)<br />5. Setelah memendikan mayit/mayat/jenazah<br />6. Saat hendak Ihram<br />7. Ketika akan Sa'i<br />8. Ketika hendak thawaf<br />9. dan lain sebagainya<br /><br />Niat Mandi :<br />NAWAITUL GHUSLA LIROF'IL HADATSIL AKBARI FARDHOL LILLAHI TA'AALAA<br /><br />Artinya :<br />Aku niat mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar fardhu karena Allah SWT.<br /><br /> </span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-72686955762652286932009-10-28T19:59:00.002+07:002009-10-28T19:59:35.051+07:00Pengertian Wudhu/Wudu dan Tata Cara WudhuWudhu adalah mensucikan diri dari segala hadast kecil sesuai dengan aturan syariat islam.<br /><br />Niat Wudhu :<br />NAWAITUL WUDHUU-A LIROF'IL HADATSIL ASGHORI FARDHOL LILLAHI TA'AALAA.<br /><br />Artinya :<br />Saya niat berwudhu untuk menghilangkan hadats kecil karena Allah Ta'ala.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Yang dapat membatalkan wudhu anda :<br />a. mengeluarkan suatu zat dari qubul (kemaluan) dan dubur (anus). Misalnya buang air kecil, air besar, buang angin/kentut dan lain sebagainya.<br />b. kehilangan kesadaran baik karena pingsan, ayan, kesurupan, gila, mabuk, dan lain-lain.<br />c. Bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya tanpa tutup.<br />d. tidur dengan nyenyak, kecuali tidur mikro (micro sleep) sambil duduk tanpa berubah kedudukan.<br /><br />Cara Berwudhu :<br />a. membaca bismillah<br />b. membasuh tangan<br />c. niat wudhu<br />d. berkumur dan membesihkan gigi (3x)<br />e. membasuh seluruh muka/wajah sampai rata (sela-sea janggut bila ada) (3x)<br />f. membasuh tangan hinnga siku merata (3x yang kanan dulu)<br />g. membasuh rambut bagian depan hingga rata (3x)<br />h. membasuh daun telinga/kuping hinnga merata (3x sebelah kanan dulu)<br />i. membasuh kaki hingga mata kaki sampai rata (3x kanan dahulu)<br />j. membaca doa setelah wudhu<br /> </span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-27298202786688596032009-10-28T19:57:00.001+07:002009-10-28T19:58:30.753+07:00Pengertian Najis Dan Cara MenghilangkannyaNajis adalah sesuatu yang menjadi penghalang beribadah kepada Allah SWT yang berbentuk kotoran yang menempel pada zat, tubuh, pakaian atau benda lainnya.<br /><br />Macam-macam najis :<br />- Binatang anjing<br />- Binatang babi<br />- minuman keras / miras yang memabukkan<br />- darah<br />- air kencing<br />- bangkai selain bangkai manusia, ikan dan belalang<br /><span class="fullpost"><br />Cara menghilangkan najis yang menempel :<br />1. Najis Ringan<br />Cukup dibasuh dengan air hingga bersih baik zat, warna, maupun baunya. Najis akibat air seni/kencing anak dibawah 2 tahun yang masih minum susu membersihkannya cukup dengan memercikkan air saja.<br /><br />2. Najis Berat<br />Jika terkena air liur/ludah anjing maka membersihkannya harus dengan membasuh dengan air hingga 7 kali terus-menerus dengan salah satunya dengan medium tanah. Berarti 6 kali dibersihkan dengan air dan sekali dengan tanah.<br /><br /> </span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-10490877309192482122009-10-28T19:55:00.001+07:002009-10-28T19:57:31.558+07:0025 Nabi Dan RosulDalam agama islam terdapat 25 nabi dan rasul yang wajib diketahui dengan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang terakhir untuk seluruh umat spanjang masa, yaitu :<br />1. Adam AS.<br />2. Idris AS.<br />3. Nuh AS.<br />4. Hud AS.<br />5. Soleh AS.<br /><span class="fullpost"><br />6. Ibrahim AS.<br />7. Luth AS.<br />8. Ismail AS.<br />9. Ishak AS.<br />10. Yakub AS.<br />11. Yusuf AS.<br />12. Ayub AS.<br />13. Sueb AS.<br />14. Musa AS.<br />15. Harun AS.<br />16. Zulkifli AS.<br />17. Daud AS.<br />18. Sulaiman AS.<br />19. Ilyas AS.<br />20. Ilyasa AS.<br />21. Yunus AS.<br />22. Zakaria AS.<br />23. Yahya AS.<br />24. Isa AS.<br />25. Muhammad SAW.<br /><br />Nabi yang mendapat julukan Ulul Azmi atau nabi/rasul yang memiliki ketabahan yang luar biasa dalam menjalankan kenabiannya :<br />1. Nuh AS.<br />2. Ibrahim AS.<br />3. Musa AS.<br />4. Isa AS.<br />5. Muhammad SAW.<br /><br /> </span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-70990787534928646402009-10-28T19:37:00.003+07:002009-10-28T19:40:09.091+07:00Rukun ImanRukun Iman,,,,,????<br /><span class="fullpost"><br />Rukun Iman / Enam Perkara<br />1. Percaya kepada Allah SWT<br />2. Percaya kepada Nabi dan Rasul / Rosul Allah SWT<br />3. Percaya kepada Malaikat Allat SWT<br />4. Percaya kepada Kitab Allat SWT yaitu Al Qur'an<br />5. Percaya kepada Hari Kiamat / Hari Akhir<br />6. Percaya kepada Qada dan Qadar / Qodo dan Qodar / Kodo dan Kodar atau Ketentuan Allah SWT<br /><br /> </span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-76651007622082046902009-10-28T19:35:00.002+07:002009-10-28T19:40:32.068+07:00Rukun IslamRukun Islam,,,??????<br /><span class="fullpost"><br />Rukun Islam / Lima Perkara<br />1. Dua Kalimat Syahadat<br />2. Sholat Lima Waktu<br />3. Ibadah Puasa<br />4. Melaksanakan Zakat<br />5. Pergi Haji Bagi yang Mampu<br /> </span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-82091727455648713012009-09-29T03:54:00.008+07:002009-10-28T20:02:47.086+07:00Makna 2 Kalimat Shahadat.<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLAKTQ1qPbqOHky6YGDran9iyANLi3bLlL5r2Fx92PJ3GKYVew0O0MeU-QBEnzjIAtND7SsYZziEHAVlKCZozWJG2p_Gl4-1VaFwutfC1KwpJFOOuDyI5qh3LOIUo6fDrJ8SEc-fne7-JZ/s1600-h/6129_255711350600_238199680600_8367851_1767168_n.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 194px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLAKTQ1qPbqOHky6YGDran9iyANLi3bLlL5r2Fx92PJ3GKYVew0O0MeU-QBEnzjIAtND7SsYZziEHAVlKCZozWJG2p_Gl4-1VaFwutfC1KwpJFOOuDyI5qh3LOIUo6fDrJ8SEc-fne7-JZ/s200/6129_255711350600_238199680600_8367851_1767168_n.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5386626024150023490" /></a><br /><br />Assalamu’alaikum Wr Wb<br />Syahadat merupakan asas dan dasar bagi rukun Islam lainnya. Syahadat merupakan ruh, inti dan landasan seluruh ajaran Islam. Setiap orang yang masuk / memeluk agama islam diwajibkan terlebih dahulu membaca kalimah syahadat. Syahadat sering disebut dengan Syahadatain karena terdiri dari 2 kalimat (Dalam bahasa arab Syahadatain berarti 2 kalimat Syahadat). Kedua kalimat syahadat itu adalah:<br /> <span class="fullpost"><br />1. Asyhadu An-Laa Ilâha Illallâh,<br />2. wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullâh<br /><br />Kalimat pertama menunjukkan pengakuan tauhid. Artinya, seorang muslim hanya mempercayai Allâh SWT sebagai satu-satunya Allah SWT Jadi dengan mengikrarkan kalimat pertama, seorang muslim memantapkan diri untuk menjadikan hanya Allâh SWT sebagai tujuan, motivasi, dan jalan hidup.<br />Kalimat kedua menunjukkan pengakuan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allâh. Dengan mengikrarkan kalimat ini seorang muslim memantapkan diri untuk meyakini ajaran Allâh seperti yang disampaikan melalui Muhammad SAW,<br />Berapa kali dalam sehari semalam kita diwajibkan untuk membaca syahadat ………..?<br />Jawaban nya ada dua yakni 9 kali lo….. kok bisa …….. ????<br />Pertama : kita umat islam diwajibkan membaca dua kalimah syahadat sebanyak 9 kali dalam sehari semalam, implementasinya terdapat dalam jumlah tahiyat dalam sholat seperti kita tahu dalam bacaan tahiyat terdapat dua kalimah syahadat bukan …!? Maka jika kita hitung<br /><br />1. Subuh 1 Kali tahiyat = membaca syahadat 1 kali<br />2. Dzuhur, ashar, maghrib, dan isya’ masing-masing 2 kali syahadat : 2 x 4 = 8<br /><br />Dari jumlah diatas diketahui bahwasanya kita wajib membaca syahadat 9 kali dalam sehari semalam.<br />Kandungan Kalimat Syahadat<br /><br />• Ikrar<br />Ikrar yaitu suatu pernyataan seorang muslim mengenai apa yang diyakininya.Ketika kita mengucapkan kalimat syahadah, maka kita memiliki kewajiban untuk menegakkan dan memperjuangkan apa yang kita ikrarkan itu.<br /><br />• Sumpah<br />Syahadat juga bermakna sumpah. Seseorang yang bersumpah, berarti dia bersedia menerima akibat dan resiko apapun dalam mengamalkan sumpahnya tersebut. Artinya, Seorang muslim itu berarti siap dan bertanggung jawab dalam tegaknya Islam dan penegakan ajaran Islam.<br /><br />• Janji<br />Syahadat juga bermakna janji. Artinya, setiap muslim adalah orang-orang yang berjanji setia untuk mendengar dan taat dalam segala keadaan terhadap semua perintah Allah SWT, yang terkandung dalam Al Qur'an maupun Sunnah Rasul.<br /><br />Syarat Syahadat<br />Kaligrafi tulisan syahadat<br />Syarat syahadat adalah sesuatu yang tanpa keberadaannya maka yang disyaratkannya itu tidak sempurna. Jadi jika seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa memenuhi syarat-syaratnya, bisa dikatakan syahadatnya itu tidak sah.<br /><br />Syarat syahadat ada 7 (tujuh) , yaitu:<br /><br />• Pengetahuan<br />Seseorang yang bersyahadat harus memiliki pengetahuan tentang syahadatnya. Dia wajib memahami isi dari dua kalimat yang dia nyatakan itu, serta bersedia menerima konsekuensi ucapannya.<br /><br />• Keyakinan<br />Seseorang yang bersyahadat mesti mengetahui dengan sempurna makna dari syahadat tanpa sedikitpun keraguan terhadap makna tersebut.<br /><br />• Keikhlasan<br />Ikhlas berarti bersihnya hati dari segala sesuatu yang bertentangan dengan makna syahadat. Ucapan syahadat yang bercampur dengan riya atau kecenderungan tertentu tidak akan diterima oleh Allah SWT.<br /><br />• Kejujuran<br />Kejujuran adalah kesesuaian antara ucapan dan perbuatan. Pernyataan syahadat harus dinyatakan dengan lisan, diyakini dalam hati, lalu diaktualisasikan dalam amal perbuatan.<br /><br />• Kecintaan<br />Kecintaan berarti mencintai Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman. Cinta juga harus disertai dengan amarah yaitu kemarahan terhadap segala sesuatu yang bertentangan dengan syahadat, atau dengan kata lain, semua ilmu dan amal yang menyalahi sunnah Rasulullah SAW.<br /><br />• Penerimaan<br />Penerimaan berarti penerimaan hati terhadap segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Dan hal ini harus membuahkan ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT, dengan jalan meyakini bahwa tak ada yang dapat menunjuki dan menyelamatkannya kecuali ajaran yang datang dari syariat Islam. Artinya, bagi seorang muslim tidak ada pilihan lain kecuali Al Qur'an dan Sunnah Rasul.<br /><br />• Ketundukan<br />Ketundukan yaitu tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya secara lahiriyah. Artinya, seorang muslim yang bersyahadat harus mengamalkan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Perbedaan antara penerimaan dengan ketundukan yaitu bahwa penerimaan dilakukan dengan hati, sedangkan ketundukan dilakukan dengan fisik.Oleh karena itu, setiap muslim yang bersyahadat selalu siap melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupannya.<br /><br />Makna Syahadat bagi muslim<br />Bagi penganut agama Islam, Syahadat memiliki makna sebagai berikut :<br />1. pintu masuk menuju islam; syarat sahnya iman adalah dengan bersyahadatain (bersaksi dengan dua kalimat syahadah)<br />2. intisari ajaran islam; pokok dari ajaran islam adalah syahadatain, sebagaimana ajaran yang dibawa Nabi-nabi dan Rosul-rosul sebelumnya<br />3. pondasi iman; bangunan iman dan islam itu sesungguhnya berdiri di atas dua kalimat syahadah<br />4. pembeda antara muslim dengan kafir; hal ini berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban syariat] yang akan diterima atau ditanggung oleh seseorang setelah dia mengucapkan dua kalimat syahadah<br />5. jaminan masuk surga; Allah SWT memberi jaminan surga kepada orang yang bersyahadatain<br />Semoga bermanfaat ^_^<br />tidak ada maksud menggurui, hanya sekedar saling mengingatkan dan berbagi pengetahuan.<br />wassalamu’alaikum Wr Wb<br /></span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-71390545589075883842009-09-08T03:57:00.002+07:002009-10-28T20:03:17.282+07:00Kisah Tauladan<span style="font-weight:bold;">SYAHID SELEPAS MENGUCAPKAN SYAHADAH</span><br /><br />Suatu ketika tatkala Rasulullah s.a.w. sedang bersiap di medan perang Uhud, tiba-tiba terjadi hal yang tidak terduga. Seorang lelaki yang bernama Amar bin Thabit telah datang menemui Baginda s.a.w.. Dia rupanya ingin masuk Islam dan akan ikut perang bersama Rasulullah s.a.w. Amar ini berasal dari Bani Asyahali. Sekalian kaumnya ketika itu sudah Islam setelah tokoh yang terkenal Saad bin Muaz memeluk Islam. Tetapi Amar ini enggan mengikut kaumnya yang ramai itu. Keangkuhan jahiliyyah menonjol dalam jiwanya, walaupun dia orang baik dalam pergaulan. Waktu kaumnya menyerunya kepada Islam, ia menjawab, "Kalau aku tahu kebenaran yang aku kemukakan itu sudah pasti aku tidak akan mengikutnya." Demikian angkuhnya Amar. <br /><br /><span class="fullpost"><br />Kaum Muslimin di Madinah pun mengetahui bagaimana keanehan Amar di tengah-tengah kaumnya yang sudah memeluk Islam. Ia terasing sendirian, hatinya sudah tertutup untuk menerima cahaya Islam yang terang benderang. Kini dalam saat orang bersiap-siap akan maju ke medan perang, dia segera menemui Rasulullah s.a.w. , menyatakan dirinya akan masuk Islam malah akan ikut berperang bersama angkatan perang di bawah pimpinan Rasulullah s.a.w. . Pedangnya yang tajam ikut dibawanya. <br />Rasulullah s.a.w. menyambut kedatangan Amar dengan sangat gembira, tambah pula rela akan maju bersama Nabi Muhammad s.a.w.. Tetapi orang ramai tidak mengetahui peristiwa aneh ini, kerana masing-masing sibuk menyiapkan bekalan peperangan. Di kalangan kaumnya juga tidak ramai mengetahui keIslamannya. Bagaimana Amar maju sebagai mujahid di medan peperangan. Dalam perang Uhud yang hebat itu Amar memperlihatkan keberaniannya yang luar biasa. Malah berkali-kali pedang musuh mengenai dirinya, tidak dipedulikannya. Bahkan dia terus maju sampai saatnya dia jatuh pengsan. <br /><br />"Untuk apa ikut ke mari ya Amar?" Demikian tanya orang yang hairan melihatnya, sebab sangka mereka dia masih musyrik. Mereka kira Amar ini masih belum Islam lalau mengikut sahaja pada orang ramai. Dalam keadaan antara hidup dan mati itu Amar lalu berkata, "Aku sudah beriman kepada Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, lalu aku siapkan pedangku dan maju ke medan perang. Allah s.w.t. akan memberikan syahidah padaku dalam waktu yang tidak lama lagi." Amar meninggal. Rohnya mengadap ke hadrat Illahi sebagai pahlawan syahid. Waktu hal ini diketahui Rasulullah s.a.w. , maka Baginda s.a.w. pun bersabda,: "Amar itu nanti akan berada dalam syurga nantinya." Dan kaum Muslimin pun mengetahui akhir hayat Amar dengan penuh takjub, sebab di luar dugaan mereka. Malah Abu Hurairah r.a sahabat yang banyak mengetahui hadith Rasulullah s.a.w. berkata kaum Muslimin, "Cuba kamu kemukakan kepadaku seorang yang masuk syurga sedang dia tidak pernah bersyarat sekalipun juga terhadap Allah s.w.t.." <br /><br />"Jika kamu tidak tahu orangnya." Kata Abu Hurairah r.a lagi, lalu ia pun menyambung, ujarnya, "Maka baiklah aku beritahukan, itulah dia Amar bin Thabit." Demikianlah kisah seorang yang ajaib, masuk syurga demikian indahnya. Ia tidak pernah solat, puasa dan lain-lainnya seperti para sahabat yang lain, sebab dia belum memeluk Islam. Tiba-tiba melihat persiapan yang hebat itu, hatinya tergerak memeluk Islam sehingga ia menemui Rasulullah s.a.w.. Ia menjadi Muslim, lalu maju ke medan perang, sebagai mujahid yang berani. Akhirnya tewas dia dengan mendapat syahadah iaitu pengakuan sebagai orang yang syahid. Mati membela agama Allah s.w.t. di medan perang. Maka syurgalah tempat bagi orang yang memiliki julukan syahid. Rasulullah s.a.w. menjamin syurga bagi orang seperti Amar ini.<br />NAMA-NAMA SYURGA DAN NERAKA<br />Tingkatan dan nama-nama syurga ialah :- <br /><br />1. Firdaus <br />2. Syurga 'Adn <br />3. Syurga Na'iim <br />4. Syurga Na'wa <br />5. Syurga Darussalaam <br />6. Daarul Muaqaamah <br />7. Al-Muqqamul Amin <br />8. Syurga Khuldi <br /><br />Sedangkan tingkatan dan nama-nama neraka adalah :- <br /><br />1. Neraka Jahannam <br />2. Neraka Jahiim <br />3. Neraka Hawiyah <br />4. Neraka Wail <br />5. Neraka Sa'iir <br />6. Neraka Ladhaa <br />7. Neraka Saqar <br />8. Neraka Hutomah<br />MENAHAN LAPAR SEMALAMAN KERANA MENGHORMATI TETAMU<br />Seorang telah datang menemui Rasulullah s.a.w. dan telah menceritakan kepada Baginda s.a.w. tentang kelaparan yang dialami olehnya. Kebetulan pada ketika itu Baginda s.a.w. tidak mempunyai suatu apa makanan pun pada diri Baginda s.a.w. mahupun di rumahnya sendiri untuk diberikan kepada orang itu. Baginda s.a.w. kemudian bertanya kepada para sahabat,"Adakah sesiapa di antara kamu yang sanggup melayani orang ini sebagai tetamunya pada malam ini bagi pihak aku?" Seorang dari kaum Ansar telah menyahut, "Wahai Rasulullah s.a.w. , saya sanggiup melakukan seperti kehendak tuan itu." <br /><br />Orang Ansar itu pun telah membawa orang tadi ke rumahnya dan menerangkan pula kepada isterinya seraya berkata, "Lihatlah bahawa orang ini ialah tetamu Rasulullah s.a.w. Kita mesti melayaninya dengan sebaik-baik layanan mengikut segala kesanggupan yang ada pada diri kita dan semasa melakukan demikian janganlah kita tinggalkan sesuatu makanan pun yang ada di rumah kita." Lalu isterinya menjawab, "Demi Allah! Sebenarnya daku tidak ada menyimpan sebarang makanan pun, yang ada cuma sedikit, itu hanya mencukupi untuk makanan anak-anak kita di rumah ini ?" <br /><br />Orang Ansar itu pun berkata, "Kalau begitu engkau tidurkanlah mereka dahulu (anak-anaknya) tanpa memberi makanan kepada mereka. Apabila saya duduk berbual-bual dengan tetamu ini di samping jamuan makan yang sedikit ini, dan apabila kami mulai makan engkau padamlah lampu itu, sambil berpura-pura hendak membetulkannya kembali supaya tetamu itu tidakk akan ketahui bahawa saya tidak makan bersama-samanya." Rancangan itu telah berjalan dengan lancarnya dan seluruh keluarga tersebut termasuk kanak-kanak itu sendiri terpaksa menahan lapar semata-mata untuk membolehkan tetamu itu makan sehingga berasa kenyang. Berikutan dengan peristiwa itu, Allah s.w.t. telah berfirman yang bermaksud, "Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka berada dalam kesusahan." (Al-Hasy : 9)<br />GUNUNG MENANGIS TAKUT TERGOLONG BATU API NERAKA<br />Pada suatu hari Uqa'il bin Abi Thalib telah pergi bersama-sama dengan Nabi Muhammad s.a.w.. Pada waktu itu Uqa'il telah melihat berita ajaib yang menjadikan tetapi hatinya tetap bertambah kuat di dalam Islam dengan sebab tiga perkara tersebut. Peristiwa pertama adalah, bahawa Nabi Muhammad s.a.w. akan mendatangi hajat yakni mebuang air besar dan di hadapannya terdapat beberapa batang pohon. Maka Baginda s.a.w. berkata kepada Uqa'il, "Hai Uqa'il teruslah engkau berjalan sampai ke pohon itu, dan katalah kepadanya, bahawa sesungguhnya Rasulullah berkata; "Agar kamu semua datang kepadanya untuk menjadi aling-aling atau penutup baginya, kerana sesungguhnya Baginda akan mengambil air wuduk dan buang air besar." <br /><br />Uqa'il pun keluar dan pergi mendapatkan pohon-pohon itu dan sebelum dia menyelesaikan tugas itu ternyata pohon-pohon sudah tumbang dari akarnya serta sudah mengelilingi di sekitar Baginda s.a.w. selesai dari hajatnya. Maka Uqa'il kembali ke tempat pohon-pohon itu. <br />Peristiwa kedua adalah, bahawa Uqa'il berasa haus dan setelah mencari air ke mana pun jua namun tidak ditemui. Maka Baginda s.a.w. berkata kepada Uqa'il bin Abi Thalib, "Hai Uqa'il, dakilah gunung itu, dan sampaikanlah salamku kepadanya serta katakan, "Jika padamu ada air, berilah aku minum!" <br /><br />Uqa'il lalu pergilah mendaki gunung itu dan berkata kepadanya sebagaimana yang telah disabdakan Baginda s.a.w. itu. Maka sebelum ia selesai berkata, gunung itu berkata dengan fasihnya, "Katakanlah kepada Rasulullah, bahawa aku sejak Allah s.w.t. menurunkan ayat yang bermaksud : ("Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu beserta keluargamu dari (seksa) api neraka yang umpannya dari manusia dan batu)." "Aku menangis dari sebab takut kalau aku menjadi batu itu maka tidak ada lagi air padaku." <br /><br />Peristiwa yang ketiga ialah, bahawa ketika Uqa'il sedang berjalan dengan Nabi Muhammad s.a.w., tiba-tiba ada seekor unta yang meloncat dan lari ke hadapan Rasulullah s.a.w., maka unta itu lalu berkata, "Ya Rasulullah, aku minta perlindungan darimu." Unta masih belum selesai mengadukan halnya, tiba-tiba datanglah dari belakang seorang Arab kampung dengan membawa pedang terhunus. Melihat orang Arab kampung dengan membawa pedang terhunus, Nabi Muhammad s.a.w. berkata, "Hendak apakah kamu terhadap unta itu ?" <br /><br />Jawab orang kampungan itu, "Wahai Rasulullah, aku telah membelinya dengan harta yang mahal, tetapi dia tidak mahu taat atau tidak mau jinak, maka akan kupotong saja dan akan kumanfaatkan dagingnya (kuberikan kepada orang-orang yang memerlukan)." Nabi Muhammad s.a.w. bertanya, "Mengapa engkau menderhakai dia?" Jawab unta itu, "Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak menderhakainya dari satu pekerjaan, akan tetapi aku menderhakainya dari sebab perbuatannya yang buruk. Kerana kabilah yang dia termasuk di dalam golongannya, sama tidur meninggalkan solat Isya'. Kalau sekiranya dia mahu berjanji kepada engkau akan mengerjakan solat Isay' itu, maka aku berjanji tidak akan menderhakainya lagi. Sebab aku takut kalau Allah s.w.t. menurunkan seksa-Nya kepada mereka sedang aku berada di antara mereka." <br /><br />Akhirnya Nabi Muhammad s.a.w. mengambil perjanjian orang Arab kampung itu, bahawa dia tidak akan meninggalkan solat Isya'. Dan Baginda Nabi Muhammad s.a.w. menyerahan unta itu kepadanya. Dan dia pun kembali kepada keluarganya.<br />NIAT TAUBAT MENUKAR ARAK MENJADI MADU<br />Pada suatu hari, Omar Al-Khatab sedang bersiar-siar di lorong-lorong dalam kota Madinah. Di hujung simpang jalan beliau terserempak dengan pemuda yang membawa kendi. Pemuda itu menyembunyikan kendi itu di dalam kain sarung yang diselimutkan di belakangnya. Timbul syak di hati Omar AL-Khatab apabila terlihat keadaan itu, lantas bertanya, "Apa yang engkau bawa itu?" Kerana panik sebab takut dimarahi Omar yang terkenal dengan ketegasan, pemuda itu menjawab dengan terketar-ketar iaitu benda yang dibawanya ialah madu. Walhal benda itu ialah khamar. Dalam keadaannya yang bercakap bohong itu pemuda tadi sebenarnya ingin berhenti dari terus minum arak. Dia sesungguhnya telah menyesal dan insaf dan menyesal melakukan perbuatan yang ditegah oleh agama itu. Dalam penyesalan itu dia berdoa kepada Tuhan supaya Omar Al-Khatab tidak sampai memeriksa isi kendinya yang ditegah oleh agama itu. <br /><br />Pemuda itu masih menunggu sebarang kata-kata Khalifah, "Kendi ini berisikan madu." Kerana tidak percaya, Khalifah Omar ingin melihat sendiri isi kendi itu. Rupanya doa pemuda itu telah dimakbulkan oleh Allah s.w.t. seketika itu juga telah menukarkan isi kendi itu kepada madu. Begitu dia berniat untuk bertaubat, dan Tuhan memberikan hidayah, sehingga niatnya yang ikhlas, ia terhindar dari pergolakan Khalifah Omar Al-Khatab, yang mungkin membahayakan pada dirinya sendiri kalau kendi itu masih berisi khamar. <br /><br />Allah Taala berfirman:, "Seteguk khamar diminum maka tidak diterima Allah amal fardhu dan sunatnya selama tiga hari. Dan sesiapa yang minum khamar segelas, maka Allah Taala tidak menerima solatnya selama empat puluh hari. Dan orang yang tetap minum khamar, maka selayaknya Allah memberinya dari 'Nahrul Khabal'. <br />Ketika ditanya, "Ya Rasulullah, apakah Nahrul Khabal itu ?" Jawab Rasulullah s.a.w., "Darah bercampur nanah orang ahli neraka ! " <br />RASULULLAH S.A.W. DAN PENGEMIS YAHUDI BUTA<br />Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah seorang pengemis Yahudi buta hari demi hari apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata "Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya". Setiap pagi Rasulullah s.a.w. mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah s.a.w. menyuap makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah s.a.w melakukannya hingga menjelang Nabi Muhammad s.a.w. wafat. Setelah kewafatan Rasulullah s.a.w. tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. <br /><br />Suatu hari Abubakar r.a berkunjung ke rumah anaknya Aisyah r.ha. Beliau bertanya kepada anaknya, "Anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan", Aisyah r.ha menjawab pertanyaan ayahnya, "Wahai ayah engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja". "Apakah itu?", tanya Abubakar r.a. Setiap pagi Rasulullah s.a.w. selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana", kata Aisyah r.ha. <br /><br />Ke esokan harinya Abubakar r.a. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abubakar r.a mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepada nya. Ketika Abubakar r.a. mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, "Siapakah kamu ?". Abubakar r.a menjawab, "Aku orang yang biasa". "Bukan !, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku", jawab si pengemis buta itu. Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan pada ku dengan mulutnya sendiri", pengemis itu melanjutkan perkataannya. <br /><br />Abubakar r.a. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, aku memang bukan orang yang biasa datang pada mu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah s.a.w. Setelah pengemis itu mendengar cerita Abubakar r.a. ia pun menangis dan kemudian berkata, benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.... Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat dihadapan Abubakar r.a. <br />RASULULLAH S.A.W. MENDATANGI KAFILAH DAGANG<br />Dari kejauhan gumpalan debu padang pasir membumbung ke langit. Debu-debu yang berterbangan itu dapat terlihat dari kejauhan bertanda ada satu rombongan kafilahÏ akan datang mendekati kota Mekkah. Rasulullah s.a.w. melihat gumpalan debu dari kejauhan itu segera pulang ke rumah. Nabi Muhammad s.a.w. langsung menyiapkan perbekalan dan membungkusnya. Setelah itu Rasulullah s.a.w. menunggu di pintu gerbang kota Mekkah. Kafilah itu rupanya tidak memasuki kota Mekkah mereka hendak menuju tempat lain. Rasulullah s.a.w. mendekati kafilah itu dan mencari pimpinan rombongan kafilah tersebut. Setelah berjumpa dengan pemimpin kafilah itu Rasulullah s.a.w. meminta izin untuk dapat ikut serta di dalam rombongan tersebut. Beliau, Rasulullah s.a.w. telah diizinkan. Rasulullah s.a.w. mulailah berdakwah kepada mereka, kepada setiap orang dalam rombongan itu Rasulullah s.a.w. telah sampaikan kebesaran Allah s.w.t. dan mengajak mereka untuk menerima Islam. Setelah semua orang mendapat penjelasan dari Rasulullah s.a.w. , Rasulullah s.a.w. pun meminta izin kepada pimpinan rombongan untuk pulang kembali ke Mekkah. Rasulullah s.a.w. kembali ke kota Mekkah dengan berjalan kaki sedangkan kafilah tersebut telah melalui kota Mekkah sejauh satu hari satu malam perjalanan. Rasulullah s.a.w. hanya inginkan setiap orang memiliki kalimah Laalilaahaillallaah dan selamat dari adzab yang pedih kelak di akhirat.<br />BIDADARI UNTUK UMAR R.A.<br />Umar r.a. adalah salah satu dari sahabat Rasulullah s.a.w. Semenjak ia memeluk Islam kaum muslimin seakan memperoleh suatu kekuatan yang sangat besar. Sejak itulah mereka berani solat dan tawaf dikaabah secara terang-terangan. Umar r.a. adalah seorang yang wara, ia sangat teliti dalam mengamalkan Islam. Umar r.a. mempelajari surah Al-Baqoroh selama 10 tahun, ia kemudian melapor kepada Rasulullah s.a.w. , "Wahai Rasulullah s.a.w. apakah kehidupanku telah mencerminkan surah Al-Baqoroh, apabila belum maka aku tidak akan melanjutkan ke surah berikutnya".Rasulullah s.a.w. menjawab, "Sudah..."!. Umar r.a. mengamalkan agama sesuai dengan kehendak Allah s.w.t. Kerana kesungguhannya inilah maka banyak ayat di Al-Quran yang diturunkan Allah s.w.t. berdasarkan kehendak yang ada pada hatinya, seperti mengenai pengharaman arak, ayat mengenai hijab, dan beberapa ayat Al-Quran lainnya. <br /><br />Rasulullah s.a.w. seringkali menceritakan kepada para sahabatnya mengenai perjalannya mi'raj menghadap Allah s.w.t. Rasulullah s.a.w. sering pula menceritakan bagaimana keadaan surga yang dijanjikan Allah s.w.t. kepada sahabat-sahabatnya. Suatu hari ketika Rasulullah s.a.w. dimi'rajkan menghadap Allah s.w.t. malaikat Jibril a.s. memperlihatkan kepada Rasulullah s.a.w. taman-taman surga. Rasulullah s.a.w. melihat ada sekumpulan bidadari yang sedang bercengkrama. Ada seorang bidadari yang begitu berbeda dari yang lainnya. Bidadari itu menyendiri dan tampak sangat pemalu. Rasulullah s.a.w. bertanya kepada Jibril a.s., "Wahai Jibril, bidadari siapakah itu"?. Malaikat Jibril a.s. menjawab, "Bidadari itu adalah diperuntukkan bagi sahabatmu Umar r.a.". Pernah suatu hari ia membayangkan tentang surga yang engkau ceritakan keindahannya. Ia menginginkan untuknya seorang bidadari yang berbeda dari bidadari yang lainnya. Bidadari yang diinginkannya itu berkulit hitam manis, dahinya tinggi, bagian atas matanya berwarna merah, dan bagian bawah matanya berwarna biru serta memiliki sifat yang sangat pemalu. Kerana sahabat-mu itu selalu memenuhi kehendak Allah s.w.t. maka saat itu juga Allah s.w.t. menjadikan seorang bidadari untuknya sesuai dengan apa yang dikehendaki hatinya".<br />Nabi Sulaiman a.s. dan Seekor Semut <br />Kerajaan Nabi Sulaiman a.s. dikala itu sedang mengalami musim kering yang begitu panjang. Lama sudah hujan tidak turun membasahi bumi. Kekeringan melanda di mana-mana. Baginda Sulaiman a.s. mulai didatangi oleh ummatnya untuk dimintai pertolongan dan memintanya memohon kepada Allah s.w.t. agar menurunkan hujan untuk membasahi kebun-kebun dan sungai-sungai mereka. Baginda Sulaiman a.s. kemudian memerintahkan satu rombongan besar pengikutnya yang terdiri dari bangsa jin dan manusia berkumpul di lapangan untuk berdo'a memohon kepada Allah s.w.t. agar musim kering segera berakhir dan hujan segera turun. <br /><br />Sesampainya mereka di lapangan Baginda Sulaiman a.s. melihat seekor semut kecil berada di atas sebuah batu. Semut itu berbaring kepanasan dan kehausan. Baginda Sulaiman a.s. kemudian mendengar sang semut mulai berdoa memohon kepada Allah s.w.t. penunai segala hajat seluruh makhluk-Nya. "Ya Allah pemilik segala khazanah, aku berhajat sepenuhnya kepada-Mu, Aku berhajat akan air-Mu, tanpa air-Mu ya Allah aku akan kehausan dan kami semua kekeringan. Ya Allah aku berhajat sepenuhnya pada-Mu akan air-Mu, kabulkanlah permohonanku", do'a sang semut kepada Allah s.w.t. Mendengar doa si semut maka Baginda Sulaiman a.s.kemudian segera memerintahkan rombongannya untuk kembali pulang ke kerajaan sambil berkata pada mereka, "Kita segera pulang, sebentar lagi Allah s.w.t. akan menurunkan hujan-Nya kepada kalian. Allah s.w.t. telah mengabulkan permohonan seekor semut". Kemudian Baginda Sulaiman dan rombongannya pulang kembali ke kerajaan. <br />Suatu hari Baginda Sulaiman a.s. sedang berjalan-jalan. Ia melihat seekor semut sedang berjalan sambil mengangkat sebutir buah kurma. Baginda Sulaiman a.s terus mengamatinya, kemudian beliau memanggil si semut dan menanyainya: "Hai semut kecil untuk apa kurma yang kau bawa itu?. Si semut menjawab, Ini adalah kurma yang Allah s.w.t. berikan kepada ku sebagai makananku selama satu tahun. Baginda Sulaiman a.s. kemudian mengambil sebuah botol lalu ia berkata kepada si semut, "Wahai semut kemarilah engkau, masuklah ke dalam botol ini aku telah membagi dua kurma ini dan akan aku berikan separuhnya padamu sebagai makananmu selama satu tahun. Tahun depan aku akan datang lagi untuk melihat keadaanmu". Si semut taat pada perintah Nabi Sulaiman a.s.. Setahun telah berlalu. Baginda Sulaiman a.s. datang melihat keadaan si semut. Ia melihat kurma yang diberikan kepada si semut itu tidak banyak berkurang. Baginda Sulaiman a.s. bertanya kepada si semut, "Hai semut mengapa engkau tidak menghabiskan kurmamu" "Wahai Nabiullah, aku selama ini hanya menghisap airnya dan aku banyak berpuasa. Selama ini Allah s.w.t. yang memberikan kepadaku sebutir kurma setiap tahunnya, akan tetapi kali ini engkau memberiku separuh buah kurma. Aku takut tahun depan engkau tidak memberiku kurma lagi kerana engkau bukan Allah Pemberi Rizki (Ar-Rozak), jawab si semut. <br />PERMOHONAN SIKAYA DAN SIMISKIN<br />Nabi Musa a.s. memiliki ummat yang jumlahnya sangat banyak dan umur mereka panjang-panjang. Mereka ada yang kaya dan juga ada yang miskin. Suatu hari ada seorang yang miskin datang menghadap Nabi Musa a.s.. Ia begitu miskinnya pakaiannya compang-camping dan sangat lusuh berdebu. Si miskin itu kemudian berkata kepada Baginda Musa a.s., "Ya Nabiullah, Kalamullah, tolong sampaikan kepada Allah s.w.t. permohonanku ini agar Allah s.w.t. menjadikan aku orang yang kaya." Nabi Musa a.s. tersenyum dan berkata kepada orang itu, "Saudaraku, banyak-banyaklah kamu bersyukur kepada Allah s.w.t.". Si miskin itu agak terkejut dan kesal, lalu ia berkata, "Bagaimana aku mau banyak bersyukur, aku makan pun jarang, dan pakaian yang aku gunakan pun hanya satu lembar ini saja"!. Akhirnya si miskin itu pulang tanpa mendapatkan apa yang diinginkannya. Beberapa waktu kemudian seorang kaya datang menghadap Nabi Musa a.s.. Orang tersebut bersih badannya juga rapi pakaiannya. Ia berkata kepada Nabi Musa a.s., "Wahai Nabiullah, tolong sampaikan kepada Allah s.w.t. permohonanku ini agar dijadikannya aku ini seorang yang miskin, terkadang aku merasa terganggu dengan hartaku itu." Nabi Musa a.s.pun tersenyum, lalu ia berkata, "Wahai saudaraku, janganlah kamu bersyukur kepada Allah s.w.t.". "Ya Nabiullah, bagaimana aku tidak bersyukur kepada Allah s.w.t.?. Allah s.w.t. telah memberiku mata yang dengannya aku dapat melihat. telinga yang dengannya aku dapat mendengar. Allah s.w.t. telah memberiku tangan yang dengannya aku dapat bekerja dan telah memberiku kaki yang dengannya aku dapat berjalan, bagaimana mungkin aku tidak mensyukurinya", jawab si kaya itu. Akhirnya si kaya itu pun pulang ke rumahnya. Kemudian terjadi adalah si kaya itu semakin Allah s.w.t. tambah kekayaannya kerana ia selalu bersyukur. Dan si miskin menjadi bertambah miskin. Allah s.w.t. mengambil semua kenikmatan-Nya sehingga si miskin itu tidak memiliki selembar pakaianpun yang melekat di tubuhnya. Ini semua kerana ia tidak mau bersyukur kepada Allah s.w.t.<br />KAMBING DAN ALAT TENUN<br />Imam Ahmad telah memberitakan dari Humaid bin Hilal, dia berkata: "Ada seorang lelaki yang sering berulang-alik di kampung kami, lalu dia membawa cerita yang aneh-aneh kepada orang-orang kampung. Dia bercerita: "Suatu ketika aku datang ke Madinah dalam rombongan dagang, lalu aku menjual semua barang-barang yang aku bawa. Aku berkata kepada diriku: "Mengapa aku tidak pergi kepada orang lelaki yang membawa ajaran baru itu, barangkali aku dapat mendengar berita-berita yang aneh untuk aku bawa kembali bersamaku?! Aku pun pergi kepada Rasulullah s.a.w. untuk bertanya sesuatu, lalu Rasulullah s.a.w. menunjuki arah sebuah rumah, katanya: "Ada seorang wanita yang tinggal di rumah itu . Pernah dia mengikut tentera Islam berjihad, dan ditinggalkannya 12 ekor kambingnya dan sebuah alat tenunan yang digunakannya untuk menenun pakaian. Apabila dia kembali dari berjihad, didapati kambingnya hilang seekor, dan alat tenunannya pun hilang. Dia merasa sedih atas kehilangannya itu. Maka dia pun mengangkat kedua belah tangan berdoa kepada Tuhannya dengan penuh kesungguhan, katanya: <br /><br />"Ya Tuhanku! Engkau telah berikan jaminan bahwa siapa yang keluar berjihad pada jalanmu, Engkau akan pelihara harta bendanya, dan sekarang aku telah kehilangan seekor kambing, dan alat tenunanku. jadi aku minta ganti kambing yang hilang dan alat tenunanku itu!" <br /><br />Rasulullah s.a.w. terus menceritakan betapa sungguh-sungguhnya dia berdoa dan memohon kepada Tuhannya, sehingga pada esok harinya dia mendapati di pintu rumahnya kambingnya yang hilang itu dengan seekor kambing lagi bersamanya. Begitu juga dia melihat alat tenunannya ada di situ dengan satu alat tenun yang lain. Itulah ceritanya, kata Rasulullah s.a.w. dan jika engkau mau, pergilah kepadanya di rumah itu, dan tanyalah dia cerita itu! "Tidak", jawabku, "Akan tetapi aku percaya semua yang engkau katakan itu!" <br />(Majma'uz-Zawaid 5:277) <br />KEBERANIAN SAAD BIN ABU WAQQASH R.A.<br />Ibnu Asakir telah mengeluarkan dari Az-Zuhri dia telah berkata: Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. telah mengutus Sa'ad bin Abu Waqqash ra. untuk mengetuai suatu pasukan ke suatu tempat di negeri Hijaz yang dikenal dengan nama Rabigh. Mereka telah diserang dari belakang oleh kaum Musyrikin, maka Sa'ad bin Abu Waqqash ra. mengeluarkan panah-panahnya serta memanah mereka dengan panah-panah itu. Dengan itu, maka Sa'ad bin Abu Waqqash ra. menjadi orang pertama yang memanah di dalam Islam, dan peristiwa itu pula menjadi perang yang pertama terjadi di dalam Islam. (Al-Muntakhab 5:72) <br /><br />Ibnu Asakir mengeluarkan dari Ibnu Syihab, dia berkata: "Pada hari pertempuran di Uhud Sa'ad bin Abu Waqqash ra. telah membunuh tiga orang Musyrikin dengan sebatang anak panah. Dipanahnya seorang, lalu diambilnya lagi panah itu, kemudian dipanahnya orang yang kedua dan seterusnya orang yang ketiga dengan panah yang sama. Ramai para sahabat merasa heran tentang keberanian Sa'ad itu. Maka Sa'ad berkata: "Rasulullah s.a.w. yang telah memberikanku keberanian itu, sehingga aku menjadi begitu berani sekali". (Al-Muntakhab 5:72)<br /><br />Bazzar telah mengeluarkan dari Abdullah bin Mas'ud ra. dia berkata: "Pada hari pertempuran di Badar, Sa'ad bin Abu Waqqash ra. telah menyerang musuh dengan berkuda dan dengan berjalan kaki". (Majma'uz Zawa'id 6:82)<br />BERTANI DISYURGA<br />Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. berbicara dengan seorang lelaki dari desa. Rasulullah s.a.w. menceritakan bahawa ada seorang lelaki penghuni syurga meminta kepada Allah s.w.t. untuk bercocok tanam, kemudian Allah s.w.t. bertanya kepadanya bukankah Allah s.w.t. telah berikan semua perkara yang dia perlukan? Lelaki itu mengakui, tetapi dia suka bercocok tanam. Lalu dia menabur biji benih. Tanaman itu langsung tumbuh. Kesemuanya sama. Setelah itu dia menuainya. Hasilnya dapat setinggi gunung. Allah s.w.t. berfirman kepadanya, "Wahai anak Adam, ia tidak mengenyangkan perut kamu".<br /><br />"Demi Allah, orang itu adalah orang Quraisy atau pun Anshar kerana mereka dari golongan petani. Kami bukan dari golongan petani", kata orang Badui itu. Rasulullah s.a.w. tertawa mendengar kata-kata orang Badui itu.<br />WAHYU TERAKHIR KEPADA RASULULLAH SAW<br />Diriwayatkan bahawa surah Al-Maaidah ayat 3 diturunkan pada sesudah waktu asar yaitu pada hari Jumaat di padang Arafah pada musim haji penghabisan [Wada']. Pada masa itu Rasulullah s.a.w. berada di Arafah di atas unta. Ketika ayat ini turun Rasulullah s.a.w. tidak begitu jelas penerimaannya untuk mengingati isi dan makna yang terkandung dalam ayat tersebut. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersandar pada unta beliau, dan unta beliau pun duduk perlahan-lahan. Setelah itu turun malaikat Jibril a.s. dan berkata: <br /><br />"Wahai Muhammad, sesungguhnya pada hari ini telah disempurnakan urusan agamamu, maka terputuslah apa yang diperintahkan oleh Allah s.w.t. dan demikian juga apa yang terlarang olehnya. Oleh itu kamu kumpulkan para sahabatmu dan beritahu kepada mereka bahawa hari ini adalah hari terakhir aku bertemu dengan kamu."<br />Setelah Malaikat Jibril a.s. pergi maka Rasulullah s.a.w. pun berangkat ke Mekah dan terus pergi ke Madinah. Setelah Rasulullah s.a.w. mengumpulkan para sahabat beliau, maka Rasulullah s.a.w. pun menceritakan apa yang telah diberitahu oleh malaikat Jibril a.s.. Apabila para sahabat mendengar hal yang demikian maka mereka pun gembira sambil berkata: "Agama kita telah sempurna. Agama kila telah sempurna." <br />Apabila Abu Bakar ra. mendengar keterangan Rasulullah s.a.w. itu, maka ia tidak dapat menahan kesedihannya maka ia pun kembali ke rumah lalu mengunci pintu dan menangis sekuat-kuatnya. Abu Bakar ra. menangis dari pagi hingga ke malam. Kisah tentang Abu Bakar ra. menangis telah sampai kepada para sahabat yang lain, maka berkumpullah para sahabat di depan rumah Abu Bakar ra. dan mereka berkata: "Wahai Abu Bakar, apakah yang telah membuat kamu menangis sehingga begini sekali keadaanmu? Seharusnya kamu merasa gembira sebab agama kita telah sempuma." Mendengarkan pertanyaan dari para sahabat maka Abu Bakar ra. pun berkata, "Wahai para sahabatku, kamu semua tidak tahu tentang musibah yang menimpa kamu, tidakkah kamu tahu bahawa apabila sesualu perkara itu telah sempuma maka akan kelihatanlah akan kekurangannya. Dengan turunnya ayat tersebut bahawa ia menunjukkan perpisahan kita dengan Rasulullah s.a.w.. Hasan dan Husin menjadi yatim dan para isteri nabi menjadi janda." <br /><br />Selelah mereka mendengar penjelasan dari Abu Bakar ra. maka sadarlah mereka akan kebenaran kata-kata Abu Bakar ra., lalu mereka menangis dengan sekuat-kuatnya. Tangisan mereka telah didengar oleh para sahabat yang lain, maka mereka pun terus memberitahu Rasulullah s.a.w. tentang apa yang mereka lihat itu. Berkata salah seorang dari para sahabat, "Ya Rasulullah s.a.w., kami baru kembali dari rumah Abu Bakar ra. dan kami dapati banyak orang menangis dengan suara yang kuat di depan rumah beliau." Apabila Rasulullah s.a.w. mendengar keterangan dari para sahabat, maka berubahlah muka Rasulullah s.a.w. dan dengan bergegas beliau menuju ke rumah Abu Bakar ra.. Setelah Rasulullah s.a.w. sampai di rumah Abu Bakar ra. maka Rasulullah s.a.w. melihat kesemua mereka yang menangis dan bertanya, "Wahai para sahabatku, kenapakah kamu semua menangis?." Kemudian Ali ra. berkata, "YaRasulullah s.a.w., Abu Bakar ra. mengatakan dengan turunnya ayat ini membawa tanda bahwa waktu wafatmu telah dekat. Adakah ini benar ya Rasulullah?." Lalu Rasulullah s.a.w. berkata: "Semua yang dikatakan oleh Abu Bakar ra. adalah benar, dan sesungguhnya waktu untuk aku meninggalkan kamu semua telah dekat".<br /><br />Setelah Abu Bakar ra. mendengar pengakuan Rasulullah s.a.w., maka ia pun menangis sekuat tenaganya sehingga ia jatuh pingsan. Sementara 'Ukasyah ra. berkata kepada Rasulullah s.a.w., 'Ya Rasulullah, waktu itu saya anda pukul pada tulang rusuk saya. Oleh itu saya hendak tahu apakah anda sengaja memukul saya atau hendak memukul unta baginda." Rasulullah s.a.w. berkata: "Wahai 'Ukasyah, Rasulullah s.a.w. sengaja memukul kamu." Kemudian Rasulullah s.a.w. berkata kepada Bilal ra., "Wahai Bilal, kamu pergi ke rumah Fathimah dan ambilkan tongkatku ke mari." Bilal keluar dari masjid menuju ke rumah Fathimah sambil meletakkan tangannya di atas kepala dengan berkata, "Rasulullah telah menyediakan dirinya untuk dibalas [diqishash]." <br /><br />Setelah Bilal sampai di rumah Fathimah maka Bilal pun memberi salam dan mengetuk pintu. Kemudian Fathimah ra. menyahut dengan berkata: "Siapakah di pintu?." Lalu Bilal ra. berkata: "Saya Bilal, saya telah diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w. untuk mengambil tongkat beliau. "Kemudian Fathimah ra. berkata: "Wahai Bilal, untuk apa ayahku minta tongkatnya." Berkata Bilal ra.: "Wahai Fathimah, Rasulullah s.a.w.telah menyediakan dirinya untuk diqishash." Bertanya Fathimah ra. lagi: "Wahai Bilal, siapakah manusia yang sampai hatinya untuk menqishash Rasulullah s.a.w.?" Bilal ra. tidak menjawab pertanyaan Fathimah ra., Setelah Fathimah ra. memberikan tongkat tersebut, maka Bilal pun membawa tongkat itu kepada Rasulullah s.a.w. Setelah Rasulullah s.a.w. menerima tongkat tersebut dari Bilal ra. maka beliau pun menyerahkan kepada 'Ukasyah. <br /><br />Melihatkan hal yang demikian maka Abu Bakar ra. dan Umar ra. tampil ke depan sambil berkata: "Wahai 'Ukasyah, janganlah kamu qishash Rasulullah s.a.w. tetapi kamu qishashlah kami berdua." Apabila Rasulullah s.a.w. mendengar kata-kata Abu Bakar ra. dan Umar ra. maka dengan segera beliau berkata: "Wahai Abu Bakar, Umar duduklah kamu berdua, sesungguhnya Allah s.w.t.telah menetapkan tempatnya untuk kamu berdua." Kemudian Ali ra. bangun, lalu berkata, "Wahai 'Ukasyah! Aku adalah orang yang senantiasa berada di samping Rasulullah s.a.w. oleh itu kamu pukullah aku dan janganlah kamu menqishash Rasulullah s.a.w." Lalu Rasulullah s.a.w. berkata, "Wahai Ali duduklah kamu, sesungguhnya Allah s.w.t. telah menetapkan tempatmu dan mengetahui isi hatimu." Setelah itu Hasan dan Husin bangun dengan berkata: "Wahai 'Ukasyah, bukankah kamu tidak tahu bahwa kami ini adalah cucu Rasulullah s.a.w., kalau kamu menqishash kami sama dengan kamu menqishash Rasulullah s.a.w." Mendengar kata-kata cucunya Rasulullah s.a.w. pun berkata, "Wahai buah hatiku duduklah kamu berdua." Berkata Rasulullah s.a.w. "Wahai 'Ukasyah pukullah saya kalau kamu hendak memukul." <br /><br />Kemudian 'Ukasyah berkata: "Ya Rasulullah s.a.w., anda telah memukul saya sewaktu saya tidak memakai baju." Maka Rasulullah s.a.w. pun membuka baju. Setelah Rasulullah s.a.w. membuka baju maka menangislah semua yang hadir. Setelah 'Ukasyah melihat tubuh Rasulullah s.a.w. maka ia pun mencium beliau dan berkata, "Saya tebus anda dengan jiwa saya ya Rasulullah s.a.w., siapakah yang sanggup memukul anda. Saya melakukan begini adalah sebab saya ingin menyentuh badan anda yang dimuliakan oleh Allah s.w.t. dengan badan saya. Dan Allah s.w.t. menjaga saya dari neraka dengan kehormatanmu" Kemudian Rasulullah s.a.w. berkata, "Dengarlah kamu sekalian, sekiranya kamu hendak melihat ahli syurga, inilah orangnya." Kemudian semua para jemaah bersalam-salaman atas kegembiraan mereka terhadap peristiwa yang sangat genting itu. Setelah itu para jemaah pun berkata, "Wahai 'Ukasyah, inilah keuntungan yang paling besar bagimu, engkau telah memperolehi darjat yang tinggi dan bertemankan Rasulullah s.a.w. di dalam syurga."<br /><br />Apabila ajal Rasulullah s.a.w. makin dekat maka beliau pun memanggil para sahabat ke rumah Aisyah ra. dan beliau berkata: "Selamat datang kamu semua semoga Allah s.w.t. mengasihi kamu semua, saya berwasiat kepada kamu semua agar kamu semua bertaqwa kepada Allah s.w.t. dan mentaati segala perintahnya. Sesungguhnya hari perpisahan antara saya dengan kamu semua hampir dekat, dan dekat pula saat kembalinya seorang hamba kepada Allah s.w.t. dan menempatkannya di syurga. Kalau telah sampai ajalku maka hendaklah Ali yang memandikanku, Fadhl bin Abbas hendaklah menuangkan air dan Usamah bin Zaid hendaklah menolong keduanya. Setelah itu kamu kafanilah aku dengan pakaianku sendiri apabila kamu semua menghendaki, atau kafanilah aku dengan kain Yaman yang putih. Apabila kamu memandikan aku, maka hendaklah kamu letakkan aku di atas balai tempat tidurku dalam rumahku ini. Setelah itu kamu semua keluarlah sebentar meninggalkan aku. Pertama yang akan mensolatkan aku ialah Allah s.w.t., kemudian yang akan mensolat aku ialah Jibril a.s., kemudian diikuti oleh malaikat Israfil, malaikat Mikail, dan yang akhir sekali malaikat lzrail berserta dengan semua para pembantunya. Setelah itu baru kamu semua masuk bergantian secara berkelompok bersolat ke atasku."<br /><br />Setelah para sahabat mendengar ucapan yang sungguh menyayat hati itu maka mereka pun menangis dengan nada yang keras dan berkata, "Ya Rasulullah s.a.w. anda adalah seorang Rasul yang diutus kepada kami dan untuk semua, yang mana selama ini anda memberi kekuatan dalam penemuan kami dan sebagai penguasa yang menguruskan perkara kami. Apabila anda sudah tiada nanti kepada siapakah akan kami tanya setiap persoalan yang timbul nanti?." Kemudian Rasulullah s.a.w. berkata, "Dengarlah para sahabatku, aku tinggalkan kepada kamu semua jalan yang benar dan jalan yang terang, dan telah aku tinggalkan kepada kamu semua dua penasihat yang satu daripadanya pandai bicara dan yang satu lagi diam sahaja. Yang pandai bicara itu ialah Al-Quran dan yang diam itu ialah maut. Apabila ada sesuatu persoalan yang rumit di antara kamu, maka hendaklah kamu semua kembali kepada Al-Quran dan Hadis-ku dan sekiranya hati kamu itu berkeras maka lembutkan dia dengan mengambil pelajaran dari mati."<br /><br />Setelah Rasulullah s.a.w. berkata demikian, maka sakit Rasulullah s.a.w. bermula. Dalam bulan safar Rasulullah s.a.w. sakit selama 18 hari dan sering diziaiahi oleh para sahabat. Dalam sebuah kitab diterangkan bahawa Rasulullah s.a.w. diutus pada hari Isnin dan wafat pada hari Isnin. Pada hari Isnin penyakit Rasulullah s.a.w. bertambah berat, setelah Bilal ra. menyelesaikan azan subuh, maka Bilal ra. pun pergi ke rumah Rasulullah s.a.w.. Sesampainya Bilal ra. di rumah Rasulullah s.a.w. maka Bilal ra. pun memberi salam, "Assalaarnualaika ya Rasulullah." Lalu dijawab oleh Fathimah ra., "Rasulullah s.a.w. masih sibuk dengan urusan beliau." Setelah Bilal ra. mendengar penjelasan dari Fathimah ra. maka Bilal ra. pun kembali ke masjid tanpa memahami kata-kata Fathimah ra. itu. Apabila waktu subuh hampir hendak lupus, lalu Bilal pergi sekali lagi ke rumah Rasulullah s.a.w. dan memberi salam seperti permulaan tadi, kali ini salam Bilal ra. telah di dengar oleh Rasulullah s.a.w. dan Rasulullah s.a.w. berkata, "Masuklah wahai Bilal, sesungguhnya penyakitku ini semakin berat, oleh itu kamu suruhlah Abu Bakar mengimamkan solat subuh berjemaah dengan mereka yang hadir." Setelah mendengar kata-kata Rasulullah s.a.w. maka Bilal ra. pun berjalan menuju ke masjid sambil meletakkan tangan di atas kepala dengan berkata: "Aduh musibah." <br /><br />Setelah Bilal ra. sarnpai di masjid maka Bilal ra. pun memberitahu Abu Bakar tentang apa yang telah Rasulullah s.a.w. katakan kepadanya. Abu Bakar ra. tidak dapat menahan dirinya apabila ia melihat mimbar kosong maka dengan suara yang keras Abu Bakar ra. menangis sehingga ia jatuh pingsan. Melihatkan peristiwa ini maka riuh rendah tangisan sahabat dalam masjid, sehingga Rasulullah s.a.w. bertanya kepada Fathimah ra.; "Wahai Fathimah apakah yang telah berlaku?." Maka Fathimah ra. pun berkata: "Kekecohan kaum muslimin, sebab anda tidak pergi ke masjid." Kemudian Rasulullah s.a.w. memanggil Ali ra. dan Fadhl bin Abas ra., lalu Rasulullah s.a.w. bersandar kepada kedua mereka dan terus pergi ke masjid. Setelah Rasulullah s.a.w. sampai di masjid maka Rasulullah s.a.w. pun bersolat subuh bersama dengan para jemaah. <br /><br />Setelah selesai solat subuh maka Rasulullah s.a.w. pun berkata, "Wahai kaum muslimin, kamu semua senantiasa dalam pertolongan dan pemeliharaan Allah s.w.t., oleh itu hendaklah kamu semua bertaqwa kepada Allah s.w.t. dan mengerjakan segala perintahnya. Sesungguhnya aku akan meninggalkan dunia ini dan kamu semua, dan hari ini adalah hari pertama aku di akhirat dan hari terakhir aku di dunia." Setelah berkata demikian maka Rasulullah s.a.w. pun pulang ke rumah beliau. Kemudian Allah s.w.t. mewahyukan kepada malaikat lzrail a.s., "Wahai lzrail, pergilah kamu kepada kekasihku dengan sebaik-baik rupa, dan apabila kamu hendak mencabut ruhnya maka hendaklah kamu melakukan dengan cara yang paling lembut sekali. Apabila kamu pergi ke rumahnya maka minta izinlah terlebih dahulu, kalau ia izinkan kamu masuk, maka masuklah kamu ke rumahnya dan kalau ia tidak mengizinkan kamu masuk maka hendaklah kamu kembali padaku." <br /><br />Setelah malaikat lzrail mendapat perintah dari Allah s.w.t. maka malaikal lzrail pun turun dengan menyerupai orang Arab Badwi. Setelah malaikat lzrail sampai di depan rumah Rasulullah s.a.w. maka ia pun memberi salam, "Assalaamu alaikum yaa ahla baitin nubuwwati wa ma danir risaalati a adkhulu?" (Mudah-mudahan keselamatan tetap untuk kamu semua sekalian, wahai penghuni rumah nabi dan sumber risaalah, bolehkan saya masuk?) Apabila Fathimah mendengar orang memberi salam maka ia-pun berkata; "Wahai hamba Allah, Rasulullah s.a.w. sedang sibuk sebab sakitnya yang semakin berat." Kemudian malaikat lzrail berkata lagi seperti dipermulaannya, dan kali ini seruan malaikat itu telah didengar oleh Rasulullah s.a.w. dan Rasulullah s.a.w. bertanya kepada Fathimah ra., "Wahai Fathimah, siapakah di depan pintu itu." Maka Fathimah ra. pun berkata, "Ya Rasulullah, ada seorang Arab badwi memanggil mu, dan aku telah katakan kepadanya bahawa anda sedang sibuk sebab sakit, sebaliknya dia memandang saya dengan tajam sehingga terasa menggigil badan saya." Kemudian Rasulullah s.a.w. berkata; "Wahai Fathimah, tahukah kamu siapakah orang itu?." Jawab Fathimah, "Tidak ayah." "Dia adalah malaikat lzrail, malaikat yang akan memutuskan segala macam nafsu syahwat yang memisahkan perkumpulan-perkumpulan dan yang memusnahkan semua rumah serta meramaikan kubur." Fathimah ra. tidak dapat menahan air matanya lagi setelah mengetahui bahawa saat perpisahan dengan ayahandanya akan berakhir, dia menangis sepuas-puasnya. Apabila Rasulullah s.a.w. mendengar tangisan Falimah ra. maka beliau pun berkata: "Janganlah kamu menangis wahai Fathimah, engkaulah orang yang pertama dalam keluargaku akan bertemu dengan aku." Kemudian Rasulullah s.a.w. pun mengizinkan malaikat lzrail masuk. Maka malaikat lzrail pun masuk dengan mengucap, "Assalamuaalaikum ya Rasulullah." Lalu Rasulullah s.a.w. menjawab: "Wa alaikas saalamu, wahai lzrail engkau datang menziarahi aku atau untuk mencabut ruhku?" Maka berkata malaikat lzrail: "Kedatangan saya adalah untuk menziarahimu dan untuk mencabut ruhmu, itupun kalau engkau izinkan, kalau engkau tidak izinkan maka aku akan kembali." Berkata Rasulullah s.a.w., "Wahai lzrail, di manakah kamu tinggalkan Jibril?" Berkata lzrail: "Saya tinggalkan Jibril di langit dunia, para malaikat sedang memuliakan dia." Tidak beberapa lama kemudian Jibril a.s. pun turun dan duduk di dekat kepala Rasulullah s.a.w..<br /><br />Apabila Rasulullah s.a.w. melihat kedatangan Jibril a.s. maka Rasulullah s.a.w. pun berkata: "Wahai Jibril, tahukah kamu bahawa ajalku sudah dekat" Berkata Jibril a.s., "Ya aku tahu" Rasulullah s.a.w. bertanya lagi, "Wahai Jibril, beritahu kepadaku kemuliaan yang menggembirakan aku disisi Allah s.w.t" Berkata Jibril a.s., "Sesungguhnya semua pintu langit telah dibuka, para malaikat bersusun rapi menanti ruhmu dilangit. Kesemua pintu-pintu syurga telah dibuka, dan kesemua bidadari sudah berhias menanti kehadiran ruhmu." Berkata Rasulullah s.a.w.: "Alhamdulillah, sekarang kamu katakan pula tentang umatku di hari kiamat nanti." Berkata Jibril a.s., "Allah s.w.t. telah berfirman yang bermaksud,"Sesungguhnya aku telah melarang semua para nabi masuk ke dalam syurga sebelum engkau masuk terlebih dahulu, dan aku juga melarang semua umat memasuki syurga sebelum umatmu memasuki syurga."<br />Berkata Rasulullah s.a.w.: "Sekarang aku telah puas hati dan telah hilang rasa susahku." Kemudian Rasulullah s.a.w. berkata: "Wahai lzrail, mendekatlah kamu kepadaku." Setelah itu Malaikat lzrail pun memulai tugasnya, apabila ruh beliau sampai pada pusat, maka Rasulullah s.a.w. pun berkata: "Wahai Jibril, alangkah dahsyatnya rasa mati." Jibrila.s. mengalihkan pandangan dari Rasulullah s.a.w. apabila mendengar kata-kata beliau itu. Melihatkan telatah Jibril a.s. itu maka Rasulullah s.a.w. pun berkata: "Wahai Jibril, apakah kamu tidak suka melihat wajahku?" Jibril a.s. berkata: "Wahai kekasih Allah, siapakah orang yang sanggup melihat wajahmu dikala kamu dalam sakaratul maut?" Anas bin Malik ra. berkata: "Apabila ruh Rasulullah s.a.w. telah sampai di dada beliau telah bersabda,"Aku wasiatkan kepada kamu agar kamu semua menjaga solat dan apa-apa yang telah diperintahkan ke atasmu."<br />Ali ra. berkata: "Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. ketika menjelang saat-saat terakhir, telah mengerakkan kedua bibir beliau sebanyak dua kali, dan saya meletakkan telinga, saya dengan Rasulullah s.a.w. berkata: "Umatku, umatku." Telah bersabda Rasulullah s.a.w. bahawa: "Malaikat Jibril a.s. telah berkata kepadaku; "Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah s.w.t. telah menciptakan sebuah laut di belakang gunung Qaf, dan di laut itu terdapat ikan yang selalu membaca selawat untukmu, kalau sesiapa yang mengambil seekor ikan dari laut tersebut maka akan lumpuhlah kedua belah tangannya dan ikan tersebut akan menjadi batu."<br /><br /></span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-23360202306008210842009-09-08T02:23:00.003+07:002009-09-08T02:26:26.693+07:00Bahaya Zina<span style="font-weight:bold;">Bahaya Zina</span><br /><br /> Melihat bahwa bahaya yang ditimbulkan oleh zina merupakan bahaya yang tergolong besar, disamping juga bertentangan dengan aturan universal yang diberlakukan untuk menjaga kejelasan nasab (keturunan), menjaga kesucian dan kehormatan diri, juga mewaspadai hal hal yang menimbulkan permusuhan serta perasaan benci diantara manusia, disebabkan pengrusakan terhadap kesucian istri, putri, saudara perempuan dan ibu mereka, yang ini semua jelas akan merusak tatanan kehidupan. <br />Melihat hal itu semua, pantaslah bahaya zina itu setingkat di bawah pembunuhan. Oleh karena itu, Allah menggandeng keduanya di dalam Al-Qur’an, juga Rasulullah dalam keterangan hadits beliau.<br /> Al Imam Ahmad berkata, “Aku tidak mengetahui sebuah dosa – setelah dosa membunuh jiwa – yang lebih besar dari dosa zina.”<br /><br /><span class="fullpost"><br />Dan Allah menegaskan pengharaman zina dalam firman-Nya:<br /> • • • <br /> “Dan orang orang yang tidak menyembah Tuhan lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina kecuali orang orang yang bertaubat ” (QS. Al Furqan, 68 –7 ).<br /> Dalam ayat tersebut, Allah menggandengkan zina dengan syirik dan membunuh jiwa, dan hukumannya kekal dalam azab yang berat dan dilipat gandakan, selama pelakunya tidak menetralisir hal tersebut dengan cara bertaubat, beriman dan beramal shalih.<br />Allah berfirman:<br /> <br /> “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji (fahisyah) dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra’: 32).<br /> Di sini Allah menjelaskan tentang kejinya zina, karena kata “fahisyah” maknanya adalah perbuatan keji atau kotor yang sudah mencapai tingkat yang tinggi dan diakui kekejiannya oleh setiap orang yang berakal, bahkan oleh sebagian banyak binatang.<br />Sebagaimana disebutkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dari Amru bin Maimun Al Audi, ia berkata, “Aku pernah melihat – pada masa jahiliyah – seekor kera jantan yang berzina dengan seekor kera betina, lalu datanglah kawanan kera mengerumuni mereka berdua dan melempari keduanya sampai mati.”<br />Kemudian Allah juga memberitahukan bahwa zina adalah seburuk-buruk jalan, karena merupakan jalan kebinasaan, kehancuran dan kehinaan di dunia, siksaan dan azab di akhirat.<br />Dan karena menikahi bekas istri-istri ayah termasuk perbuatan yang sangat jelak sekali, sehingga Allah secara khusus memberikan “cela” tambahan bagi orang yang melakukannya.<br />Allah berfirman (setelah secara tegas melarang kaum muslimin untuk menikahi bekas istri-istri ayah mereka, pent.):<br /> <br /> “Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. An Nisa’: 22).<br /> Allah juga mensyaratkan keberuntungan seorang hamba pada kemampuannya dalam menjaga kesuciannya, tidak ada jalan menuju keberuntungan kecuali dengan menjaga kesucian.<br />Allah berfirman:<br /> • • • <br /> “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka, atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mu’minun: 1 – 7 ).<br />Dalam ayat-ayat ini ada tiga hal yang diungkapkan:<br />Pertama: bahwa orang yang tidak menjaga kemaluannya, tidak termasuk orang yang beruntung.<br />Kedua: dia termasuk orang yang tercela.<br />Ketiga: dia termasuk orang yang melampaui batas.<br />Jadi, dia tidak akan mendapat keberuntungan, serta berhak mendapat predikat “melampaui batas”, dan jatuh pada tindakan yang membuatnya tercela. Padahal beratnya beban dalam menahan syahwat itu, lebih ringan ketimbang menanggung sebagian akibat yang disebutkan tadi.<br />Selain itu pula, Allah telah menyindir manusia yang selalu berkeluh kesah, tidak sabar dan tidak mampu mengendalikan diri saat mendapatkan kebahagiaan, demikian pula kesusahan. Bila mendapat kebahagiaan dia menjadi kikir, tak mau memberi, dan bila mendapat kesusahan, dia banyak mengeluh. Begitulah tabiat manusia, kecuali orang-orang yang memang dikecualikan dari hamba-hamba-Nya yang sukses, diantaranya adalah mereka yang disebut di dalam firman-Nya:<br /> • • <br /> “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Ma’arij: 29 – 31).<br />Oleh karenanya, Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk memerintahkan orang-orang mu’min agar menjaga pandangan dan kemaluan mereka, juga diberitahukan kepada mereka bahwa Allah selalu menyaksikan dan memperhatikan amal perbuatan mereka.<br /> <br /> “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.”(QS. Ghafir: 19).<br />Dan karena ujung pangkal perbuatan zina yang keji ini tumbuh dari pandangan mata, maka Allah lebih mendahulukan perintah memalingkan pandangan mata sebelum perintah menjaga kemaluan, karena banyak musibah besar yang berasal dari pandangan; seperti kobaran api yang besar berasal dari bunga api. Mulanya hanya pandangan, kemudian khayalan, kemudian langkah nyata, kemudian tindak kejahatan besar (zina).<br />Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa barang siapa yang bisa menjaga empat hal, maka berarti dia telah menyelamatkan agamanya: Al Lahazhat (pandangan mata), Al Khatharat (pikiran yang terlintas di hati), Al Lafazhat (ucapan), Al Khuthuwat (langkah nyata untuk sebuah perbuatan).<br />Dan seyogyanya, seorang hamba Allah menjadi penjaga empat pintu di atas dengan penuh siap siaga agar tidak kecolongan, sebab dari sana musuh menyusup, menyerang dan merasuk kedalam dirinya dan merusak segalanya.<br /> <br /><br />EMPAT PINTU MASUK MAKSIAT MENUJU MANUSIA<br /><br /> Umumnya maksiat menyerang seorang hamba, melalui empat pintu yang telah disebutkan di atas.<br /> Sekarang, marilah kita ikuti pembahasan tentang empat pintu tersebut, di bawah ini:<br />1- Al Lahazhat (Pandangan Mata).<br />Lirikan adalah pelopor, atau "utusan" syahwat. Oleh karenanya, menjaga pandangan merupakan modal dalam usaha menjaga kemaluan. Maka barang siapa yang melepaskan pandangannya tanpa kendali, niscaya dia akan menjerumuskan dirinya sendiri ke jurang kebinasaan.<br />Rasulullah bersabda:<br />(( لاَ تُتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ، فَإِنَّمَا لَكَ الأُوْلَى وَلَيْسَتْ لَكَ الأُخْرَى ))<br /> “Janganlah kamu ikuti pandangan (pertama) itu dengan pandangan (berikutnya). Pandangan (pertama) itu boleh, tapi tidak dengan pandangan selanjutnya.” (HR. At Turmudzi, hadits hasan gharib).<br /> Di dalam musnad Imam Ahmad, diriwayatkan dari Rasulullah , beliau bersabda:<br />(( النَّظْرَةُ سَهْمٌ مَسْمُوْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيْسَ، فَمَنْ غَضَّ بَصَرَهُ عَنْ مَحَاسِنِ امْرَأَةٍ لله أَوْرَثَ الله قَلْبَهُ حَلاَوَةً إِلىَ يَوْمِ يَلْقَاهُ ))<br /> “Pandangan itu adalah anak panah beracun milik iblis. Maka barang siapa yang memalingkan pandangannya dari kecantikan seorang wanita, ikhlas karena Allah semata, maka Allah akan memberikan di hatinya kenikmatan hingga hari kiamat.” (HR. Ahmad).<br />Beliau juga bersabda:<br />(( غُضُّوْا أَبْصَارَكُمْ وَاحْفَظُوْا فُرُوْجَكُمْ ))<br /> “Palingkanlah pandangan kalian, dan jagalah kemaluan kalian.” (HR. At Thabrani dalam Al mu’jam al kabir).<br />Dalam hadits lain beliau bersabda:<br />(( إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوْسَ عَلىَ الطُّرُقَاتِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ الله, مَجَالِسُنَا، مَا لَنَا بُدٌّ مِنْهَا. قَالَ: فَإِنْ كُنْتُمْ لاَ بُدَّ فَاعِلِيْنَ فَأَعْطُوْا الطَّرِيْقَ حَقَّهُ، قَالُوْا: وَمَا حَقَّهُ؟ قَالَ: غَضُّ البَصَرِ وَكَفُّ الأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ ))<br />“Janganlah kalian duduk-duduk di (pinggir) jalan”, mereka berkata, “ya Rasulallah, tempat-tempat duduk kami pasti di pinggir jalan”, beliau bersabda, “Jika kalian memang harus melakukannya, maka berikan hak jalan”, mereka bertanya, “Apa hak jalan itu? beliau menjawab, “Memalingkan pandangan (dari hal-hal yang dilarang Allah, pent.), menyingkirkan gangguan, dan menjawab salam.” (HR. Muslim).<br /> Pandangan adalah pangkal petaka yang menimpa manusia. Sebab, pandangan akan melahirkan lintasan dalam hati, kemudian lintasan akan melahirkan pikiran, dan pikiran akan melahirkan syahwat, dan syahwat membangkitkan keinginan, kemudian keinginan itu menjadi kuat, dan berubah menjadi tekad yang bulat. Akhirnya apa yang tadinya melintas dalam pikiran menjadi kenyataan, dan itu pasti akan terjadi selama tidak ada yang menghalanginya. <br />Oleh karena itu, dikatakan oleh sebagian ahli hikmah bahwa “bersabar dalam menahan pandangan mata (bebannya) lebih ringan dibanding harus menanggung beban penderitaan yang ditimbulkannya.”<br />Seorang pujangga berperi:<br />كُلُّ الحَوَادِثِ مَبْـدَاهَا مِن النَّظَرِ <br /> وَمُعْظَمُ النَّارِ مِنْ مُسْتَصْغَرِ الشَّرَرِ<br />كَمْ نَظْرَةً بَلَغَتْ مِنْ قَلْبِ صَاحِبِها<br /> كَمَبْلَغِ السَّهْمِ بَيْنَ القَوْسِ وَالوَبَرِ<br />وَالعَبْدُ مَا دَامَ ذَا طَرَفٍ يُقَلِّبُـه<br /> فِيْ أَعْيُنِ الغَيْرِ مَوْقُوْفٌ عَلىَ الخَطَرِ <br />يَسُرّ مُقْلَتَـه مَا ضَرَّ مِهْجَتَـه <br /> لاَ مَرْحَبـًا بِسُرُوْرٍ عَادَ بِالضَّرَرِ<br />Setiap petaka bermula dari lirikan<br />laksana kobaran api berasal dari bunganya yang kecil.<br />Betapa banyak lirikan menembus hati tuannya<br />seperti anak panah mengenai sasaran, melesat dari busur dan senarnya.<br />Seorang hamba, selama dia masih mempunyai kelopak mata yang mengedip orang lain <br />maka dia berada dalam keadaan yang mengkhawatirkan.<br />(Dia memandang hal-hal yang) menyenangkan matanya, tapi membahayakan jiwanya<br />maka janganlah kau sambut kesenangan yang membawa petaka.<br /><br />Di antara bahaya pandangan<br /> Pandangan yang dilepaskan begitu saja itu akan menimbulkan perasaan gundah, tidak tenang dan hati panas terasa disulut. Terkadang mata seorang hamba melihat sesuatu, yang dia tidak sanggup menahan diri, membendung keinginan, namun tak kuasa mewujudkan keinginannya, tentu jiwanya sangat tersiksa; dapat melihat namun tak kuasa menjamahnya. <br />Seorang penyair berkata:<br />وَكُنْتَ مَتَى أَرْسَلْتَ طَرْفَكَ رَائِدًا <br /> لَقَلْبُـكَ يَوْمًا أَتْعَبَـتْكَ المَنَاظِرُ<br />رَأَيْتَ الذِيْ لاَ كُلَّـهُ أَنْتَ قَادِرُ <br /> عَلَيْهِ وَلاَ عَنْ بَعْضِـهِ أَنْتَ صَابِرُ<br />Bila -suatu hari– engkau lepaskan pandangan matamu menuntun hatimu<br />niscaya apa yang dipandangnya akan melelahkan (menyiksa) dirimu sendiri.<br /> Engkau melihat sesuatu yang engkau tidak mampu mewujudkannya secara keseluruhan <br />dan engkau juga tak kuasa menahan diri untuk tidak melihat (walau hanya) sebagian saja.<br />Lebih jelasnya, maksud bait syair di atas: engkau akan melihat sesuatu yang engkau tidak sabar untuk tidak melihatnya walaupun sedikit, namun saat itu juga engkau tidak mampu untuk melihatnya sama sekali walaupun hanya sedikit.<br />Betapa banyak orang yang melepaskan pandangannya tanpa kendali, akhirnya dia binasa karena pandangan itu sendiri. Seperti gubahan seorang pujangga:<br />يَا نَاظِرًا مَا أَقْلَعَت لَحَظَاتُـه حَتَّى تَشَحَّطَ بَيْنَهُنَّ قَتِيْـلاً<br />Wahai orang yang suka melirik, matamu tak akan usai jelalatan <br />Hingga engkau jatuh bersimbah darah di antara lirikan matamu.<br />Ada untaian bait lain yang mengatakan:<br />مَلَّ السَّلاَمَةَ فَاغْتَدَتْ لَحَظَاتُـهُ وَقْفًا عَلَى طَلَلٍ يَظُنُّ جَمِيْلاً<br />مَا زَالَ يَتْبَـعُ إِثْرَه لَحَـظَاتِـه حَتَّى تَشَحَّطَ بَيْنَهُـنَّ قَتِيْلاً<br />Jemu sudah dia selamat, lalu ia biarkan matanya jelalat, <br />Berdiri di tempat tinggi menyaksikan segala yang diduganya indah.<br />Begitulah, dia terus larut, lirikan demi lirikan <br />hingga akhirnya jatuh bersimbah darah terbunuh di antara lirikan matanya.<br />Sungguh aneh, pandangan merupakan anak panah yang tidak pernah mengena sasaran yang dipandang, sementara anak panah itu benar-benar mengena hati orang yang memandang.<br />Ada untaian bait syair yang mengatakan:<br />يَا رَامِيًا سِهَامَ اللَّحَـظِ مُجْتَهِـدًا <br /> أَنْتَ الْقَتِيْـلُ بِمَا تَرْمِيْ فَلاَ تُصِبِ<br />وَبَاعِثَ الطَّرْفِ يَرْتَادُ الشِّفَاءَ لَـهُ <br />احْبِسْ رَسُوْلَكَ لاَ يَأْتِيْكَ بِالْعَطَبِ<br />Wahai orang yang sungguh-sungguh melepas anak panah lirikannya, <br />engkaulah sebenarnya yang terbunuh oleh anak panah yang engkau lepaskan, ia tidak mengenai sasaran yang engkau tuju.<br />Orang yang melepas pandangan akan kehilangan kesehatannya. <br />tahanlah pandanganmu, agar tidak mendatangkan petaka bagimu.<br />Suatu hal yang lebih mengherankan lagi, bahwa satu lirikan dapat melukai hati dan (dengan lirikan kedua) berarti dia menoreh luka baru di atas luka lama; namun ternyata perihnya luka-luka itu tak mencegahnya untuk kembali terus-menerus melukainya.<br />مَا زِلْتَ تُتْبِعُ نَظْـرَةً فِي نَظْـرَةٍ فِي إِثْرِ كُـلِّ مَلِيْحَـةٍ وَمَلِيْـحٍ<br />وَتَظُنُّ ذَاكَ دَوَاءَ جُرْحِكَ وَهْوَ فِي الـتَّحْقِيْقِ تَجْرِيْحٌ عَلىَ تَجْرِيْحٍ<br />فَذَبَحْتَ طَرْفَكَ بِاللِّحَاظِ وَبِالْبُكَاءِ فَالقَلْبُ مِنْكَ ذَبِيْـحٌ أَيُّ ذَبِيْحٍ<br />Kau senantiasa melirik satu demi satu,<br />menguntit (wanita) cantik dan (pria) tampan.<br />Kau kira dapat menawar luka (syahwat)mu,<br />Sesungguhnya engkau menoreh luka di atas luka.<br />Kau sembelih matamu dengan (pisau) lirikan dan tangisan,<br /> hatimu juga tersembelih sejadinya.<br />Oleh karena itu dikatakan, “sesungguhnya menahan pandangan mata lebih mudah dari pada menahan penyesalan berkepanjangan.”<br /><br />2- Al Khatharat (Pikiran Yang Terlintas Di Hati).<br />Adapun “Al Khatharat” (pikiran yang terlintas di hati) maka urusannya lebih rumit. Di sinilah tempat bermulanya aktifitas, yang baik ataupun buruk. Dari sinilah lahirnya keinginan (untuk melakukan sesuatu) yang akhirnya berubah menjadi tekad yang bulat. <br />Maka siapa yang mampu mengendalikan pikiran-pikiran yang melintas di hatinya, niscaya dia akan mampu mengendalikan diri dan menundukkan hawa nafsunya. Dan orang yang tidak bisa mengendalikan pikiran-pikirannya, maka hawa nafsunya yang berbalik menguasainya. Dan barang siapa yang menganggap remeh pikiran-pikiran yang melintas di hatinya, maka ia akan diseret menuju diseret menuju kebinasaan secara paksa.<br />Pikiran-pikiran itu akan terus melintas di hati seseorang, sehingga akhirnya dia akan menjadi angan-angan tanpa makna (palsu).<br /> <br /> “Laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila ia mendatanginya maka ia tidak mendapatkannya walau sedikitpun, dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisi-Nya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amalnya dengan cukup, dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. An Nur: 39).<br /> Orang yang paling nista cita-citanya dan paling hina jiwanya adalah orang yang merasa puas dengan angan-angan semu. Dia genggam angan-angan itu untuk dirinya dan dia pun merasa bangga dan senang dengannya. Padahal demi Allah, angan-angan itu adalah modal orang-orang yang pailit, dan barang dagangan para pengangguran serta merupakan makanan pokok jiwa yang hampa, yang bisa merasa puas dengan bayangan dalam hayalan, dan angan-angan palsu.<br />Seperti dikatakan oleh seorang penyair:<br />أَمَانِي مِنْ سُعْدَى رَوَّاء عَلَى الظَّمَا <br /> سَقَتْنَا بِهَا سُعْدَى عَلَى ظَمَـٍأ بَرْدًا<br />مُنَى إِنْ تَكُنْ حَقًّا تَكُنْ أَحْسَنَ الْمُنَى <br />وَإِلاَّ فَقَدْ عِشْنَا بِهَا زَمَنًا رَغَـدًا<br />Angan-angan mengenang su’da, melepas dahaga. <br />Dengan angan-angan itu Su’da menuangi kami air dingin di kala haus.<br />Angan-angan yang sekiranya menjadi kenyataan, tentu menjadi kebahagiaan,<br />kalaupun tidak, sungguh kami telah hidup senang beberapa waktu dalam angan-angan itu.<br />Angan-angan adalah sesuatu yang sangat berbahaya bagi manusia. Dia melahirkan sikap ketidak-berdayaan sekaligus kemalasan, dan melahirkan sikap lalai, penderitaan dan penyesalan. Orang yang suka berkhayal saat tak kuasa menjamah realita –sebagai pelampiasannya, maka dia merubah gambaran realita yang dia inginkan ke dalam hatinya; dia mendekap dan memeluknya. Selanjutnya dia akan merasa puas dengan gambaran-gambaran palsu yang dikhayalkan oleh pikirannya.<br />Padahal itu semua, sedikitpun tidak berfaedah, seperti orang yang sedang lapar dan dahaga, membayangkan sedang makan dan minum, padahal dia tidak sedang makan dan minum.<br />Perasaan tenang dan puas dengan kondisi semacam ini dan berusaha untuk memperolehnya, menunjukkan kerendahan dan kedinaan jiwa seseorang, sebab kemuliaan jiwa seseorang, kebersihan, kesucian dan ketinggiannya dicapai, tidak lain adalah dengan cara menyingkirkan setiap khayalan yang jauh dari realita, dan dia tidak rela bila hal-hal tersebut sampai melintas di benaknya, serta dia juga tidak sudi hal itu terjadi pada dirinya.<br />Kemudian “khatharat” pikiran yang melintas di hati itu terbagi banyak macam, namun pada pokoknya ada empat:<br />1- Pikiran yang mengarah untuk mencari keuntungan dunia / materi.<br />2- Pikiran yang mengarah untuk mencegah kerugian dunia/ materi.<br />3- Pikiran yang mengarah untuk mencari kemaslahatan akhirat.<br />4- Pikiran yang mengarah untuk mencegah kerugian akhirat.<br />Semestinya, seorang hamba menjadikan pikiran-pikiran dan keinginannya hanya berkisar pada empat macam di atas. Bila semua bagian itu ada padanya, maka selagi mungkin dipadukan, hendaklah dia tidak mengabaikannya untuk yang lain. Kalau ternyata pikiran-pikiran yang datang itu banyak dan bertumpang tindih, maka hendaklah dia mendahulukan yang lebih penting, yang dikhawatirkan akan kehilangan kesempatan untuk itu, kemudian mengakhirkan yang tidak terlalu penting dan tidak dikhawatirkan kehilangan kesempatan untuk itu.<br />Tinggallah sekarang dua bagian lagi, yaitu:<br />Pertama: yang penting dan tidak dikhawatirkan kehilangan kesempatan untuk melakukannya.<br />Kedua: yang tidak penting, namun dikhawatirkan kehilangan kesempatan untuk melakukannya.<br />Dua bagian ini sama-sama mempunyai alasan untuk didahulukan. Di sinilah lahir sikap ragu dan bimbang untuk memilih. Bila dia dahulukan yang penting, dia khawatir akan kehilangan kesempatan yang lain. Dan bila dia mendahulukan yang lain, dia akan kehilangan sesuatu yang penting. Begitulah terkadang seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang tidak mungkin dipadukan menjadi satu, yang mana salah satunya tidak dapat dicapai kecuali dengan mengorbankan yang lain.<br />Di sinilah akal, bijak dan pengetahuan itu berperan. Di sini akan diketahui siapa orang yang tinggi, siapa orang yang sukses, dan siapa orang yang merugi. Kebanyakan orang yang mengagungkan akal dan pengetahuannya, akan anda lihat dia mengorbankan sesuatu yang penting dan tidak khawatir kehilangan kesempatan untuk itu, demi melakukan sesuatu yang tidak penting yang tidak dikhawatirkan kehilangan kesempatan untuk melakukannya. Dan anda tidak akan menemukan seorangpun yang selamat (dan terlepas) dari hal seperti itu. Hanya saja ada yang jarang dan ada pula yang sering menghadapinya.<br />Dan sebenarnya yang dapat dijadikan sebagai penentu pilihan dalam masalah ini adalah sebuah kaidah agung dan mendasar yang merupakan poros berputarnya aturan-aturan syar’iyyah dan kauniyah, dan juga pada kaidah inilah dikembalikan segala urusan. Kaidah itu adalah: mendahulukan kemaslahatan yang lebih besar dan lebih tinggi dalam dua pilihan yang ada – walaupun harus mengorbankan kemaslahatan yang lebih kecil – kemudian kaidah itu pula yang menyatakan bahwa kita memilih kemudharatan yang lebih ringan untuk mencegah terjadinya mudharat yang lebih besar.<br />Jadi, sebuah kemaslahatan akan dikorbankan dengan tujuan mendapatkan kemaslahatan yang lebih besar, begitu pula sebuah kemudharatan akan dilakukan dengan tujuan mencegah terjadinya kemudharatan yang lebih besar.<br />Pikiran-pikiran serta ide-ide orang yang berakal itu tidak akan keluar dari apa yang telah kita jelaskan di atas. Dan itu misi syariat atau aturan yang dibawa. Kemaslahatan dunia dan akhirat selalu didasarkan pada hal-hal tersebut. Dan pikiran-pikiran serta ide-ide yang paling tinggi, paling mulia dan paling bermanfaat ialah yang bertujuan untuk Allah dan kebahagiaan di alam akhirat nanti.<br />Kemudian pikiran yang bertujuan adalah untuk Allah ini bermacam macam:<br />Pertama: memikirkan ayat-ayat Allah yang telah diturunkan dan berusaha untuk memahami maksud Allah dari ayat-ayat tersebut; dan memang untuk itulah Allah menurunkannya; tidak hanya sekedar untuk dibaca saja, tetapi membaca hanya sarana saja.<br />Sebagian ulama salaf mengatakan, “Allah menurunkan Al Qur’an untuk diamalkan, maka jadikanlah membaca Al Qur’an itu (sarana) untuk beramal.”<br />Kedua: memikirkan dan merenungi ayat- ayat atau tanda-tanda kebesaran-Nya yang dapat dilihat langsung; dan menjadikannya sebagai bukti akan asma` Allah, sifat-sifat, hikmah, kebaikan dan kemurahan-Nya. Dan Allah telah menganjurkan hamba-hamba-Nya untuk merenungkan tanda-tanda kebesaran-Nya, memikirkan dan memahaminya; Allah menegur dan mencela orang yang melalaikannya.<br />Ketiga: memikirkan ni’mat, kebaikan dan berbagai karunia yang Dia limpahkan kepada seluruh makhluk-Nya, dan merenungi keluasan rahmat, ampunan dan kasih saying-Nya.<br />Tiga hal di atas dapat membangkitkan –di hati seorang hamba– ma’rifatullah (mengenal Allah), kecintaan serta perasaan cemas dan harap kepada-Nya. Dan bila tiga hal tadi senantiasa dilakukan, disertai dengan dzikir kepada Allah, maka hati seorang hamba akan diwarnai secara sempurna dengan ma’rifah dan cinta kepada-Nya.<br />Keempat: memikirkan aib, cela dan kelemahan yang ada pada jiwa dan amal perbuatan. Hal ini memberikan faedah yang sangat besar, pintu utama setiap kebajikan, ia berdampak mematahkan nafsu amarah (hawa nafsu yang selalu memerintahkan keburukkan). Bila nafsu amarah telah patah, tentu nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang)lah yang akan hidup, bangkit dan menjadi penentu segala keputusan. Selanjutnya hati menjadi hidup dan kebijakannya didengar diseluruh penjuru, dia perintahkan para ajudan dan prajuritnya untuk melakukan hal yang membawa kemaslahatanya.<br />Kelima: memikirkan kewajiban terhadap waktu sekaligus bagaimana cara menggunakannya, serta menumpahkan seluruh perhatian guna pemanfaatan waktu. Seorang yang arif, adalah anak zaman, karena dia yakin, bila waktunya disia-siakan, berarti dia telah menyia-nyiakan seluruh kemaslahatannya. Sebab, seluruh kemaslahatan bertumpu pada waktu, bila diabaikan, dia tidak akan terulang kembali untuk selamanya. <br />Al Imam Asy Syafi’i berkata, “aku pernah berteman dengan orang-orang sufi dan aku tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari mereka kecuali dua kalimat saja: <br />Pertama: <br />الوَقْتُ سَيْفٌ، فَإِنْ قَطَعْتَهُ وَإِلاَّ قَطَعَكَ <br />“Waktu itu laksana pedang, bila engkau tidak (menggunakannya untuk) menebas, dialah yang akan menebas (leher)mu.”<br />Kedua:<br />وَنَفْسُكَ إِنْ لَمْ تُشْغِلْهَا بِالحَقِّ وَإِلاَّ شَغلَتْكَ بِالبَاطِلِ <br />“Dan dirimu, bila tidak engkau sibukkan dengan kebenaran, maka dialah yang akan menyibukkanmu dengan kebathilan.”<br />Waktu yang dimiliki manusia, adalah umurnya yang hakiki. Waktu juga modal utama untuk kehidupan nan abadi dalam kenikmatan yang kekal, di lain sisi juga modal untuk kehidupan yang sengsara dalam azab yang pedih. Waktu berlalu lebih cepat dari pada awan berarak. Maka, barang siapa yang berhasil menjadikan waktunya untuk Allah dan bersama Allah, itulah kehidupan dan umurnya yang sejati. Dan waktu yang tidak digunakan untuk Allah tidaklah dihitung sebagai bagian dari kehidupannya, walaupun dia hidup tapi kehidupannya laksana kehidupan binatang ternak. Bila seseorang menghabiskan waktunya penuh dengan kelalaian, syahwat dan angan-angan hampa atau waktunya yang paling banyak digunakan untuk tidur dan leha-leha, maka bagi orang semacam ini "mati" lebih baik dari pada hidup.<br />Bila seorang hamba –yang sedang melakukan shalat– tidak akan mendapatkan pahala shalatnya selain pada bagian shalat yang dia lakukan dengan khusyu`, begitu juga dengan umur, yang sesungguhnya adalah waktu yang dia habiskan untuk Allah dan bersama Allah.<br />Pikiran-pikiran yang tidak termasuk salah satu bagian di atas, dapat dikatagorikan sebagai was-was syaithaniyah (bisikan syaitan), angan-angan kosong atau halusinasi bohong, seperti pikiran-pikiran orang yang tidak waras, baik karena mabuk atau terbius, kesurupan dan lain sebagainya. Dimana ketika segala hakikat kenyataan itu tampak, kondisi mereka saat itu mengatakan:<br />إِنْ كَانَ مَنْزِلَتِيْ فِي الحَشْرِ عِنْدَكُممَا قَدْ لَقِيْتَ فَقَدْ ضَيَّعْتَ أَيَّامِيْ<br />أُمْنِيَةٌ ظَفَرَتْ نَفْسِيْ بِـهَا زَمَنـًا وَاليَوْم أحْسِبُهَا أَضْغَاثَ أَحْلاَمِ<br /> Bila kedudukanku, saat dikumpulkan bersama kalian, <br />seperti apa yang telah aku temui sendiri (sekarang ini), maka sungguh aku telah menyia-nyiakan hari-hariku.<br />Angan-angan itu telah menguasai jiwaku dalam waktu lama, <br />dan hari ini, aku menganggapnya hanya sebagai kembang tidur.<br />Ketahuilah, sebenarnya pikiran-pikiran yang melintas itu tidaklah membahayakan, namun yang bahaya bila pikiran-pikiran itu sengaja didatangkan dan terjadi interaksi dengannya. Pikiran yang melintas laksana orang lewat di suatu jalan, bila anda tidak memanggilnya dan anda biarkan dia, maka dia akan berlalu meninggalkan anda. Namun bila anda memanggilnya, anda akan terpesona dengan percakapan, dan tipuannya. Tindakan ini akan terasa begitu ringan bagi jiwa yang kosong, penuh kebatilan, dan begitu berat dirasa oleh hati dan jiwa yang suci lagi tenang.<br />Allah telah memasang dua macam nafsu pada diri manusia; nafsu amarah dan nafsu muthmainnah, yang kedua-duanya saling bertolak-belakang. Segala sesuatu yang terasa ringan oleh yang satu, maka akan terasa berat oleh yang lain.<br />Apa yang dirasa nikmat oleh yang satu, maka akan dirasa siksa oleh yang lain. Tak ada sesuatu yang lebih berat bagi nafsu amarah melebihi perbuatan yang dilakukan karena Allah dan mendahulukan keridhaan-Nya dari pada hawa nafsu, padahal tidak ada amal yang lebih bermanfaat baginya dari amal tersebut. Begitu pula, tidak ada sesuatu yang lebih berat bagi nafsu muthmainnah dari perbuatan yang bukan untuk Allah dan mengikuti kehendak hawa nafsu. Padahal tidak ada amal yang lebih berbahaya baginya dari amal tersebut.<br />Dalam hal ini, malaikat itu berada disamping kanan hati manusia, sementara syaitan disamping kirinya. Dan perseteruan antara keduanya tidak akan pernah berhenti hingga waktu yang ditentukan (oleh Allah) di dunia ini. Seluruh bentuk kebatilan akan berpihak kepada syaitan dan nafsu amarah, sementara semua macam kebenaran akan berpihak pada malaikat dan nafsu muthmainnah. Dalam perseteruan ini kalah dan menang datang silih-berganti. Dan kemenangan ada bersama kesabaran.<br />Maka barang siapa yang benar-benar bersabar, berusaha keras dan bertakwa kepada Allah, niscaya baginya balasan yang baik, di dunia dan di akhirat nanti. Dan Allah telah menetapkan sebuah ketetapan yang tidak dapat dirubah selamanya, bahwa balasan baik untuk ketakwaan, dan pahala untuk mereka yang bertakwa.<br />Hati laksana papan ukiran, dan pikiran-pikiran itu bagaikan tulisan yang diukir di atasnya. Maka, sangat tidak pantas seorang yang berakal mengukir papannya hanya dengan dusta, tipu daya, angan-angan dan fatamorgana yang tidak ada realitanya, hikmah, ilmu dan hidayah tak mungkin dapat dipahatkan bersama ornament tersebut. Apabila hikmah, ilmu dan hidayah ingin dipahatkan pada papan hatinya, maka tak ubahnya seperti penulisan ilmu yang bermanfaat di sebuah lembaran yang sudah dipenuhi tulisan yang tidak berguna. Bila hati tidak dikosongkan dari pikiran-pikiran kotor, maka pikiran-pikiran positif yang bermanfaat tidak akan dapat menetap di dalamnya, karena memang, dia tidak dapat menghuni kecuali tempat yang kosong, seperti yang diungkapkan oleh seorang penyair:<br />أَتَانِيْ هَوَاهَا قَبْلَ أَنْ أَعْرِفَ الهَوَى فَصَادَفَ قَلْبًا فَارِغًا فَتَمَكَّنَا<br />Cintanya telah memanahku sebelum aku mengenal cinta,<br />Panah asmaranya mengenai hati yang kosong, lalu bersarang.<br />Olah jiwa di atas banyak dilakukan oleh orang-orang tasawuf, mereka membangun kepribadian mereka dengan cara menjaga hati dari pikiran-pikiran yang melintas, mereka tidak memberikan kesempatan kepada pikiran-pikiran tersebut untuk masuk ke dalam hati, saat hati dalam keadaan kosong, maka dapat melakukan kasyaf (menyingkap rahasia) dan menerima hakikat-hakikat yang bermakna tinggi di dalamnya.<br />Mereka itu menjaga diri dari satu hal, tetapi membiarkan kehilangan banyak hal yang lain, sebab mereka mengosongkan hati dari lintasan-lintasan pikiran sehingga benar-benar kosong dari segala sesuatu, tidak ada apa-apa di dalamnya, maka syaitan memanfaatkan kondisi hati yang kosong ini, ia menabur benih kebatilan di hati tersebut dan menggambarkannya sebagai sesuatu yang paling tinggi dan paling mulia, syaitan meletakkan hal itu sebagai ganti dari jenis pikiran-pikiran yang merupakan bahan dasar ilmu pengetahuan dan hidayah.<br />Apabila hati itu sudah kosong dari berbagai macam pikiran, maka syaitan datang dan menemukan tempat yang kosong untuknya. Syaitan akan berusaha untuk mengisinya dengan hal-hal sesuai dengan kondisi pemilik hati tersebut. Bila syaitan tidak berhasil mengisinya dengan pikiran-pikiran nista maka ia mengisinya dengan keinginan melepaskan diri dari keinginan-keinginan – yang sebenarnya – tidak ada kebaikan dan kesuksesan bagi seorang hamba kecuali bila keinginan keinginan tersebut berhasil menguasai hatinya, yaitu: mengosongkannya dari keinginan untuk mengikuti perintah-perintah tersebut secara rinci untuk kemudian melaksanakannya di masyarakat, lalu berusaha menyampaikannya kepada orang-orang dengan harapan mereka juga mau melaksanakannya. Dalam hal ini, syaitan akan berusaha menyesatkan orang yang mempunyai keinginan demikian dengan mengajak untuk meninggalkan keinginan baik tersebut dan melepaskannya, tidak usah memikirkan dunia dan masyarakat di sekitar dengan alasan zuhud.<br />Syaitan akan membisikkan kepada mereka bahwa kesempurnaan itu dapat mereka capai dengan cara melepaskan diri dan mengosongkan hati dari semua hal itu. Sungguh amat jauh ungkapan tersebut dari kebenenaran, karena kesempurnaan itu hanya dapat diperoleh bila hati itu penuh terisi dengan keinginan dan pikiran yang baik, serta usaha untuk merealisasikannya. Maka, manusia yang paling sempurna adalah mereka yang paling banyak memiliki pikiran dan keinginan untuk tunduk kepada perintah Allah, mencari keridhaan-Nya. Sebagaimana manusia yang paling hina adalah mereka yang paling banyak memiliki keinginan dan pikiran untuk memenuhi hawa nafsunya dimana saja dia berada. Wallahul musta’an (dan Allah-lah tempat mohon pertolongan).<br />Lihatlah Umar bin Khathab , pikirannya penuh dengan keinginan dalam mencari keridhaan Allah, barangkali dia dalam keadaan shalat, namun saat itu dia juga sedang mempersiapkan tentaranya (untuk jihad), dengan demikian dia telah memadukan antara jihad dan shalat, sehingga beberapa ibadah dipadukan dalam satu ibadah.<br />Ini adalah hal yang mulia dan agung, yang tidak diketahui kecuali oleh mereka yang mempunyai keinginan yang benar-benar kuat, dan pandai mencari, luas ilmunya serta tinggi cita-citanya, dimana dia melaksanakan satu ibadah namun dia memperoleh pahala lebih dari satu ibadah, itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang dikehendakinya.<br /><br />3 – Al Lafazhat (Ungkapan Kata-Kata).<br />Adapun tentang Al Lafazhat (ungkapan kata-kata), maka cara menjaganya adalah dengan mencegah keluarnya kata-kata atau ucapan yang tidak bermanfaat dari lidahnya. Dengan cara tidak berbicara kecuali dalam hal yang diharapkan bisa memberikan keuntungan dan tambahan agama. Bila ingin berbicara, hendaklah seseorang melihat dulu, apakah ada manfaat dan keuntungannya atau tidak? Bila tidak menguntungkan, tahan lidah agar tidak berbicara, dan bila diperkirakan ada keuntungannya, lihat lagi, apakah ada kata-kata yang lebih menguntungkan lagi dari kata-kata tersebut? Bila memang ada, maka janganlah sia-siakan.<br />Bila anda ingin mengetahui kondisi hati seseorang, maka lihatlah ucapan lidahnya, suka ataupun tidak suka, ucapan itu akan menjelaskan kepada anda apa yang ada dalam hati seseorang.<br />Yahya bin Mu’adz berkata, "hati itu laksana panci yang sedang menggodok isinya, dan lidah bagaikan gayungnya, maka perhatikanlah seseorang saat dia berbicara, sebab lidah orang itu sedang menciduk untukmu apa yang ada di dalam hatinya, manis atau asam, tawar atau asin, dan sebagainya. Ia menjelaskan kepada anda bagaimana “rasa” hatinya, melalui ucapan lidahnya, artinya: sebagaimana anda bisa mengetahui rasa apa yang ada dalam panci itu dengan cara mencicipi dengan lidah, maka begitu pula anda bisa mengetahui apa yang ada dalam hati seseorang dari lidahnya, anda dapat merasakan apa yang ada dalam hatinya dengan lidahnya, sebagaimana anda juga mencicipi apa yang ada di dalam panci itu dengan lidah anda.<br />Dalam hadits Anas yang marfu’, Nabi bersabda:<br />(( لاَ يَسْتَقِيْمُ إِيْمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيْمَ قَلْبُهُ، وَلاَ يَسْتَقِيْمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيْمَ لِسَانُهُ ))<br />“Tidak akan istiqamah iman seorang hamba sehingga hatinya beristiqamah (lebih dahulu), dan hati dia tidak akan istiqamah sehingga lidahnya istiqamah (lebih dahulu).”<br />Nabi Muhammad pernah ditanya tentang hal yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka, beliau menjawab, “Mulut dan kemaluan”. (HR. Turmudzi, dan ia berkata, hadits ini hasan shahih).<br />Sahabat Mu’adz bin Jabal pernah bertanya kepada Nabi tentang apa amal yang dapat memasukkannya ke dalam surga dan menjauhkannya dari api neraka? Lalu Nabi memberitahukan tentang pokok, tiang dan puncak yang paling tinggi dari amal tersebut, setelah itu beliau bersabda:<br />(( أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمِلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ قَالَ: بَلىَ يَا رَسُوْلَ الله، فَأَخَذَ بِلِسَانِ نَفْسِهِ ثُمَّ قَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا، فَقَالَ : وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ! وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسُ عَلَى وُجُوْهِهِمْ – أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ – إِلاَّ حَصَائِد أَلْسِنَتِهِمْ ))<br /> “Bagaimana kalau aku beritahu pada kalian inti dari semua itu? dia berkata,"ya, wahai Rasulallah," lalu Nabi memegang lidah beliau sendiri kemudian bersabda, “jagalah olehmu yang satu ini”, maka Mu’adz berkata,"adakah kita disiksa disebabkan apa yang kita ucapkan ?, beliau menjawab, “Duhai, malang nian engkau, wahai Mu’adz! Bukankah yang menyungkurkan banyak manusia di atas wajah mereka (ke Neraka) karena hasil (ucapan) lidah mereka?” (HR. Turmudzi, dan ia berkata,"hadits hasan shahih").<br /> Dan yang paling mengherankan bahwa banyak orang yang merasa mudah menjaga dirinya dari makanan yang haram, perbuatan aniaya, zina, mencuri, minum-minuman keras serta melihat hal-hal yang diharamkan dan lain sebagainya, namun merasa kesulitan dalam mengawasi gerak lidahnya, sampai-sampai orang yang dikenal punya pemahaman agama, dikenal dengan kezuhudan dan kekhusyu’an ibadahnya, juga masih mengucapkan kata-kata yang dapat mengundang kemurkaan Allah , tanpa dia sadari bahwa satu kata saja dari apa yang dia ucapkan dapat menjauhkannya (dari Allah dengan jarak) lebih jauh dari jarak antara timur dan barat. Dan betapa banyak anda lihat orang yang mampu mencegah dirinya dari perbuatan kotor dan aniaya, namun lidahnya tetap saja membicarakan aib orang-orang, baik yang sudah mati ataupun yang masih hidup, dan dia tidak memperdulikan ucapannya.<br /> Untuk mengetahui hal itu, perhatikanlah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya, dari Jundub bin Abdillah , bahwa Rasulullah bersabda:<br />(( قَالَ رَجُلٌ: وَالله لاَ يَغْفِرُ الله لِفُلاَنٍ، فَقَالَ الله : مَنْ ذَا الَّذِيْ يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنِّيْ لاَ أَغْفِرُ لِفُلاَنٍ؟ قَدْ غَفَرْتُ لَهُ وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ ))<br /> “Ada seorang laki laki yang mengatakan, "Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si Fulan itu", maka Allah berfirman,“Siapa orang yang bersumpah bahwa aku tidak akan mengampuni si Fulan? sungguh Aku telah mengampuninya dan menghapus amalmu.” <br /> Lihatlah, hamba yang satu ini, dia telah beribadah kepada Allah dalam waktu yang cukup lama, namun satu kalimat yang diucapkannya telah menyebabkan semua amalnya terhapus.<br /> Dan di dalam hadits Abu Hurairah juga diriwayatkan kisah seperti ini, kemudian Abu Hurairah berkata,"Dia telah mengucapkan satu kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya".<br /> Dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah , Nabi Muhammad bersabda:<br />(( إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ الله لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَرْفَعُهُ الله بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ سُخْطِ الله لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِيْ بِهَا فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ. وَعِنْدَ مُسْلِمٍ: إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِيْ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ المَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ ))<br /> “Sesungguhnya seorang hamba terkadang mengucapkan kata yang dicintai Allah, dia tidak menaruh perhatian terhadap kata tersebut, namun ternyata Allah berkenan meninggikannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya seorang hamba terkadang mengucapkan satu kata yang dibenci Allah, dia tidak menaruh perhatian terhadap kata tersebut, namun ternyata dengan kata tersebut dia masuk ke dalam neraka Jahannam.” Dalam riwayat Muslim,“sesungguhnya seorang hamba itu mengucapkan satu kata yang tidak jelas apa yang dikandungnya, ternyata kata tersebut menjerumuskannya ke neraka (yang jaraknya) lebih jauh dari jarak antara timur dan barat.”<br /> Dan dalam riwayat Turmudzi, dari Bilal bin Al Harits Al Muzani dari Nabi Muhammad , beliau bersabda:<br />((إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ الله مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ، فَيَكْتُب الله لَهُ بِهَا رِضْوَانَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ سُخْطِ الله مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ، فَيَكْتُب الله لَهُ بِهَا سُخْطَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ ))<br /> “Sesungguhnya seorang dari kalian terkadang mengucapkan satu kata yang dicintai Allah, dia tidak menyangka (pahalanya) sampai seperti apa yang dia dapatkan, namun ternyata dengan kalimat itu Allah memberikan kepadanya keridhaan-Nya hingga hari dia berjumpa dengan-Nya kelak. Dan sesungguhnya seorang dari kalian terkadang mengucapkan satu kata yang dimurkai Allah, dia tidak menyangka (dosanya) sampai seperti apa yang dia dapatkan, namun ternyata Allah memurkainya sampai dia bertemu Allah kelak.” `Alqamah berkata,“betapa banyak ucapan yang tidak jadi aku katakan disebabkan oleh hadits yang diriwayatkan Bilal bin Al Harits ini.”<br /> Dalam kitab Jami’ At Turmudzi, diriwayatkan dari Anas , dia berkata,"ada seorang sahabat yang meniggal, lalu ada seorang laki-laki berkata,"berilah kabar gembira dengan surga", maka Nabi bersabda:<br />(( وَمَا يُدْرِيْكَ؟ فَلَعَلَّهُ تَكَلَّمَ فِيْمَا لاَ يَعْنِيْهِ، أَوْ بَخِلَ بِمَا لاَ يَنْقُصُهُ ))<br /> “Dari mana kamu tahu? Barangkali dia pernah mengucapkan (kata) yang tidak ada gunanya atau dia pelit untuk (memberikan) sesuatu yang tidak mengurangi miliknya.” (Turmudzi berkata,“hadits ini hasan”).<br />Dalam lafadz hadits yang lain disebutkan:<br />(( إِنَّ غُلاَمًا اسْتُشْهِدَ يَوْمَ أُحُدٍ، فَوَجَدَ عَلَى بَطْنِهِ صَخْرَةً مَرْبُوْطَةً مِنَ الجُوْعِ، فَمَسَحَتْ أُمُّهُ التُّرَابَ عَنْ وَجْهِهِ، وَقَالَتْ: هَنِيْئًا لَكَ يَا بُنَيَّ، لَكَ الْجَنَّةُ. فَقَالَ النَّبِيُّ : وَمَا يُدْرِيْكِ؟ لَعَلَّهُ كَانَ يَتَكَلَّمُ فِيْمَا لاَ يَعْنِيْهِ وَيَمْنَعُ مَا لاَ يَضُرُّهُ ))<br /> “Ada seorang anak yang mati syahid diperang Uhud, ditemukan di atas perutnya sebuah batu yang diikat untuk menahan lapar, kemudian ibunya mengusap debu yang ada di wajahnya, sambil berkata lirih, “berbahagialah engkau hai anakku, engkau akan mendapatkan surga”, maka Nabi Muhammad bersabda, “Dari mana kamu tahu? barangkali dia pernah mengucapkan kata-kata yang tidak berguna baginya, dan enggan melakukan sesuatu yang tidak memudharatkannya .”<br /> Dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah , bahwa Rasulullah bersabda:<br />( مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ))<br /> “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia mengatakan yang baik-baik atau diam.”<br /> Dan dalam lafadz hadits yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan:<br />(( مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَإِذَا شَهِدَ أَمْرًا فَلْيَتَكَلَّمْ بِخَيْرٍ أَوْ لِيَسْكُتْ ))<br /> “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, bila ia menyaksikan suatu perkara maka hendaklah ia mengatakan yang baik baik atau diam.”<br /> At Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Nabi Muhammad , bahwa beliau bersabda:<br />(( مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمِرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ ))<br /> “Termasuk (salah satu tanda) kebaikan Islam seseorang yaitu dia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna baginya.”<br /> Diriwayatkan dari Sufyan bin Abdillah Ats Tsaqafi, dia berkata:<br />((قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ الله قُلْ لِيْ فِي الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أحَدًا بَعْدَكَ، قَالَ: قُلْ آمَنْتُ بِالله ثُمَّ اسْتَقِمْ، فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ الله مَا أَخْوَفُ مَا تَخَافُ عَلَيَّ؟ فَأَخَذَ بِلِسَانِ نَفْسِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذَا))<br /> “Aku berkata, "Ya Rasulallah, katakanlah kepadaku dalam Islam suatu kalimat yang aku tidak akan menanyakannya kepada seorangpun setelah engkau," Nabi menjawab, “Katakanlah , aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah”, aku bertanya, "Ya Rasulallah, apa yang paling engkau khawatirkan terhadapku? Kemudian Nabi memegang lidah beliau sendiri lalu bersabda, “ini” (maksudnya lidah, pent). (HR. Turmudzi, dan ia berkata, "hadits ini shahih").<br /> Dan Ummu Habibah isteri Nabi meriwayatkan dari Nabi beliau bersabda:<br />(( كُلُّ كَلاَمِ ابْنِ آدَمَ عَلَيْهِ لاَ لَهُ، إِلاَّ أَمْرًا بِمَعْرُوْفٍ أَوْ نَهْيًا عَنْ مُنْكَرٍ أَوْ ذِكْرَ الله ))<br /> “Semua ucapan anak Adam (manusia) itu akan merugikannya, tidak akan menguntungkannya, kecuali ucapan untuk amar ma’ruf (memerintahkan yang baik), atau nahi mungkar (mencegah perbuatan mungkar), atau dzikir kepada Allah .” (Tirmidzi berkata,"derajat hadits ini hasan").<br />Dalam hadits yang lain disebutkan:<br />(( إِذَا أَصْبَحَ العَبْدُ فَإِنَّ الأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللَّسَانَ، تَقُوْلُ: اتَّقِ الله فِيْنَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ، فَإِذَا اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا، وَإِن اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا ))<br /> “Bila seorang hamba berada di pagi hari, maka semua anggota tubuh memberikan peringatan kepada lidah dan berkata, "takutlah engkau kepada Allah, sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu, bila kamu istiqamah kami akan istiqamah, dan bila kamu melenceng, kami terbawa serta.”<br /> Sebagian ulama salaf menyesali dirinya, hanya karena mengucapkan, “hari ini panas dan hari ini dingin”, dan sebagian ulama juga ada yang tidur kemudian bermimpi dan dia ditanya tentang keadaannya, lalu dia menjawab, “aku tertahan oleh satu ucapan yang telah aku katakan, aku pernah mengatakan, “oh, betapa butuhnya orang-orang ini kepada hujan”, tiba-tiba ada yang berkata kepadaku, “dari mana kamu tahu itu? Akulah yang lebih tahu tentang kemaslahatan hamba-Ku.”<br /> Seorang sahabat berkata kepada khadamnya, tolong ambilkan alas makan kita gunakan untuk bermain-main, lalu dia berkata, "Astaghfirullah, aku tidak pernah mengucapkan kata-kata kecuali aku pasti bisa mengendalikan dan mengekangnya, kecuali kata-kata yang tadi ku ucapkan, ia keluar dari lidahku tanpa kendali dan tanpa kekang.”<br /> Anggota tubuh manusia yang paling mudah digerakkan adalah lidah, tapi dia juga yang paling berbahaya terhadap manusia…<br /> Ada perbedaan pendapat antara ulama salaf dan khalaf dalam masalah, apakah semua yang diucapkan oleh manusia itu semua akan dicatat, ataukah ucapan yang baik dan yang jelek saja? Di sini ada dua pendapat, namun yang lebih kuat adalah yang pertama.<br /> Sebagian ulama salaf mengatakan, “semua perkataan anak Adam akan merugikan dirinya dan tidak akan menguntungkannya, kecuali ucapan yang dikutip dari kalam Allah dan ucapan Rasul-Nya".<br /> Abu Bakar As Shiddiq pernah memegang lidahnya dan berkata, “inilah yang menjebakku ke dalam berbagai masalah,” ucapan itu adalah tawanan anda, bila ia sudah keluar dari mulut anda berarti andalah yang menjadi tawanannya. Allah selalu memperhatikan lidah setiap kali berbicara.<br /> <br /> “Tidak suatu ucapanpun yang diucapkan kecuali ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”(QS. Qaaf: 18).<br /><br />Bahaya lidah:<br /> Pada lidah terdapat dua penyakit berbahaya. Bila seseorang bisa selamat dari salah satu penyakit maka dia tidak bisa lepas dari penyakit yang satunya lagi, yaitu penyakit berbicara dan penyakit diam. Dalam satu kondisi bisa jadi salah satu dari keduanya akan mengakibatkan dosa yang lebih besar dari yang lain.<br /> Orang yang diam terhadap kebenaran adalah syaitan bisu, dia durhaka kepada Allah, serta bersikap riya’ dan munafik bila dia tidak khawatir hal itu akan menimpa dirinya. Begitu pula orang yang berbicara tentang kebatilan adalah syaitan yang berbicara, dia durhaka kepada Allah. Kebanyakan orang sering keliru ketika berbicara dan ketika mengambil sikap diam. Mereka itu selalu berada di antara dua posisi ini.<br /> Adapun orang orang yang ada di tengah tengah –yaitu mereka yang berada pada jalan yang lurus– sikapnya adalah menahan lidah mereka dari ucapan yang batil dan membiarkannya berbicara dalam hal hal yang dapat membawa manfaat untuk mereka di akhirat. Sehingga anda tidak akan melihat mereka mengucapkan kata-kata yang akan membahayakan mereka di akhirat nanti. <br />Sesungguhnya ada seorang hamba datang pada hari kiamat dengan pahala kebaikan sebesar gunung, namun dia dapati lidahnya sendiri telah menghapus pahala tersebut. Dan ada pula yang datang dengan dosa-dosa sebesar gunung, namun dia dapati lidahnya telah menghapus itu semua dengan banyaknya dzikir kepada Allah, dan hal-hal yang berhubungan dengan-Nya. <br /><br />4- Al Khuthuwat (Langkah Nyata Untuk Sebuah Perbuatan).<br />Adapun tentang Al Khuthuwat maka hal ini bisa dicegah dengan cara seorang hamba tidak menggerakkan kakinya kecuali untuk perbuatan yang bisa diharapkan mendatangkan pahala dari Allah . Bila ternyata langkah kakinya itu tidak akan menambah pahala, maka menyurutkan langkah tersebut tentu lebih baik. <br />Dan sebenarnya bisa saja seseorang memperoleh pahala dari setiap perbuatan mubah (yang boleh dikerjakan dan boleh juga ditinggalkan, pent.) yang dilakukannya dengan cara berniat untuk Allah . Dengan demikian maka seluruh langkahnya akan bernilai ibadah.<br />Tergelincirnya seorang hamba dari perbuatan salah itu ada dua macam: tergelincirnya kaki dan tergelincirnya lidah. Oleh karena itu kedua macam ini disebutkan berurutan oleh Allah dalam firman-Nya:<br /> <br />“Dan hamba-hamba Ar Rahman, yaitu mereka yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al Furqan: 63).<br /> Di sisi lain, Allah menjelaskan bahwa sifat mereka itu adalah istiqamah dalam ucapan dan langkah-langkah mereka, sebagaimana Allah juga mensejajarkan antara pandangan dan lintasan pikiran, dalam firmanNya:<br /> <br /> “Allah mengetahui khianat mata dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghafir: 19).<br /> Semua hal yang kami sebutkan di atas adalah sebagai pendahuluan bagi penjelasan akan haramnya zina, dan kewajiban menjaga kemaluan. <br />Rasulullah bersabda:<br />(( أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الفَمُ وَالفَرْجُ ))<br /> “Yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka ialah lidah dan kemaluan.” (HR. Ahmad dan At Turmudzi, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam silsilah hadits shahih).<br /> Dalam shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan, bahwa Nabi Muhammad bersabda: <br />(( لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثيِّبِ الزَّانِي، وَالنَّفْسِ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكِ لِدِيْنِهِ المُفَارِقِ لِجَمَاعَتِهِ ))<br /> “Tidak halal darah seorang muslim (ditumpahkan) kecuali sebab tiga hal: orang yang (pernah menikah) melakukan zina, dibunuh (qishash) karena membunuh jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya (murtad) serta meninggalkan jamaah.”<br /> Dalam hadits ini ada penyetaraan antara zina dengan kufur dan membunuh jiwa, persis seperti yang terdapat dalam ayat pada surat Al Furqan, juga seperti yang terdapat dalam hadits Ibnu Mas’ud .<br /> <br /><br />PENYETARAAN ZINA, KUFUR DAN MEMBUNUH JIWA<br /><br />Dalam hadits di atas Nabi menyebut hal yang paling banyak terjadi secara berurutan. perbuatan zina itu lebih sering terjadi dibanding dengan pembunuhan, dan pembunuhan lebih sering terjadi dibanding dengan riddah (keluar dari agama Islam). Juga urutan diatas berdasarkan dosa besar, kemudian dosa yang lebih besar dan seterusnya. Dan kerusakan yang ditimbulkan oleh zina sungguh bertolak belakang dengan kemaslahatan dalam kehidupan. <br />Sebab, bila seorang wanita melakukan zina berarti ia telah membuat aib keluarga, suami dan kerabatnya serta mencoreng wajah mereka di hadapan orang banyak. Bila dia sampai hamil kemudian membunuh anaknya, berarti dia telah menggabungkan perbuatan zina dengan pembunuhan, dan jika setelah hamil ia tetap hidup bersama suaminya, berarti dia telah memasukkan pada keluarga si suami dan keluarga si wanita sendiri orang lain yang bukan anggota keluarga mereka. Dan si anak yang tak sah tersebut mungkin mendapat warisan yang bukan haknya, ia melihat aurat dan berkhalwat dengan (ibunya) wanita yang bukan mahramnya, bernasab kepada orang yang bukan bapaknya, Dan masih banyak lagi kerusakan-kerusakan lain yang ditimbulkan oleh zina. Jika yang berzina itu adalah seorang pria, maka hal ini –selain hal yang di atas- juga akan menyebabkan simpang siurnya hubungan nasab, kemudian merusak kehormatan wanita yang terjaga dan menjadikan hidupnya hancur dan binasa. <br />Jadi, di belakang perbuatan keji ini (zina) terdapat kerusakan dunia dan agama sekaligus. Sungguh betapa banyak pelanggaran terhadap larangan-larangan (pelecehan terhadap kehormatan), penyia-nyiaan hak orang dan penganiayan yang ada di balik perbuatan zina.<br />Diantara dampak yang ditimbulkan oleh zina adalah bahwa zina dapat mendatangkan kefakiran, memperpendek umur dan membuat wajah pelakunya suram serta menimbulkan kebencian orang.<br />Termasuk di antara dampaknya pula, bahwa zina dapat memporak-porandakan hati, membuatnya sakit kalau tidak sampai mematikannya, juga mendatangkan perasaan gundah, gelisah dan takut, serta menjauhkan pelakunya dari malaikat dan mendekatkannya kepada setan. Tak ada bahaya –setelah bahaya perbuatan membunuh- yang lebih besar daripada bahaya zina. Oleh karenanya, untuk menghukum pelaku zina Allah mensyariatkan hukuman bunuh (rajam) dengan cara yang mengerikan. Bila ada seseorang yang mendengar kabar bahwa isterinya dibunuh orang, tentu kabarnya lebih ringan dibanding dia mendengar bahwa isterinya berzina.<br />Sa’ad bin Ubadah berkata, “Sekiranya aku melihat seorang pria berzina dengan isteriku, tentu aku akan memenggal lehernya dengan pedang tanpa pikir panjang lagi.” Maka sampai perkataan ini kepada Rasulullah , lalu beliau bersabda:<br />(( أَتَعْجَبُوْنَ مِنْ غِيْرَةِ سَعْد؟ وَالله لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَالله أَغْيَرُ مِنِّيْ، وَمِنْ أَجْلِ غِيْرَةِ الله حَرَّمَ الفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ))<br />“Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Demi Allah, sungguh aku ini lebih cemburu dari dia, dan Alah lebih cemburu dari aku, dan oleh karena betapa agungnya kecemburuan Allah, maka Dia haramkan segala perbuatan keji, baik yang lakhir maupun yang batin.” (Muttafaq alaih).<br />Dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim, juga diriwayatkan dari Nabi .<br />(( إِنَّ الله يَغَارُ، وَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَغَارُ، وَغِيْرَةُ الله أَنْ يَأْتِيَ العَبْدُ مَا حَرَّمَ عَلَيْهِ ))<br />“Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan sesungguhnya seorang mu’min itu juga cemburu. Dan kecemburuan Allah itu akan timbul bila seorang hamba melakukan apa yang diharamkan.”.(HR. Bukhari dan Muslim).<br />Dalam hadis Bukhari dan Muslim, juga diriwayatkan dari Nabi :<br />(( لاَ أَحَدَ أَغْيَرُ مِن اللهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلاَ أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ العُذْرُ مِن اللهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ، وَلاَ أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِن اللهِ، وَمِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ ))<br />“Tak ada seorangpun yang cemburu melebihi Allah, oleh karena itu Allah mengharamkan perbuatan-perbuatan keji, yang lakhir maupun yang batin. Tak ada seorangpun yang lebih senang menerima alasan daripada Allah, oleh karena itu Dia mengutus para Rasul untuk memberikan kabar gembira dan peringatan. Tak ada satupun yang lebih senang dipuji melebihi Allah, oleh karena itu Dia memuji diri-Nya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).<br />Juga dalam kitab Ash-shahihain, diriwayatkan khutbah Nabi di saat shalat gerhana matahari, beliau bersabda:<br />(( يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، وَاللهِ لاَ أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ، يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، وَاللهِ لَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا، ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ وَقَالَ: اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ؟ "))<br />“Hai ummat Muhammad, demi Allah, tak ada satupun yang lebih pencemburu dari Allah ketika ada seorang hamba-Nya yang laki-laki atau perempuan berbuat zina. Hai ummat Muhammad, demi Allah, sekiranya kalian mengetahui seperti apa yang aku ketahui, tentu kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya seraya berkata, “Ya Allah, bukankah aku sudah sampaikan?” (HR. Bukhari dan Muslim).<br />Disebutkannya perbuatan dosa besar ini secara khusus setelah shalat gerhana matahari mengandung isyarat rahasia yang menakjubkan; dan semaraknya fenomena zina merupakan tanda rusaknya tatanan alam, dan itu semua adalah salah satu tanda kiamat; seperti yang disebutkan dalam As-Shahihain, dari Anas bin Malik bahwa dia berkata, "aku akan menceritakan kepada kalian sebuah hadits yang tidak akan ada orang yang akan menceritakannya kepada kalian setelah aku. Aku mendengar Rasulullah bersabda:<br />(( مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَقِلَّ الْعِلْمُ، وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ, وَيَظْهَرَ الزِّنَى، وَيَقِلَّ الرِّجَالُ وَتَكْثُرَ النِّسَاءُ، حَتَّى يَكُوْنَ لِخَمْسِيْنَ امْرَأَةٍ القَيِّمُ الوَاحِدُ ))<br />“Di antara tanda-tanda kiamat bila ilmu (syar’i) menjadi sedikit (kurang), dan kebodohan menggejala serta zina menyebar (di mana-mana), jumlah pria sedikit dan jumlah wanita banyak sehingga seorang laki-laki mengayomi lima puluh orang wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim).<br />Salah satu sunnatullah (hukum alam) yang diberlakukan pada makhluk-Nya, yaitu ketika zina semarak di mana-mana, Allah akan murka dan kemurkaannya sangat keras, maka pasti kemurkaan itu akan berdampak pada bumi ini dalam bentuk azab dan musibah yang diturunkan.<br />Abdullah bin Mas’ud berkata, “Tidaklah riba dan zina merajalela di suatu negri, melainkan Allah memaklumkan untuk dihancurkan.”<br />Seorang pendeta bani Israil pernah melihat anaknya sedang mengerling seorang gadis, lalu dia berkata, “Pelan-pelan, wahai anakku!” kemudian sang ayah itu pingsan di atas tempat tidurnya lalu meninggal, dan isterinya keguguran dan dikatakan kepadanya,“Beginikah caranya engkau marah untuk-Ku (melihat perzinahan hanya mengatakan, "pelan-pelan")? Sungguh, keturunanmu tidak ada yang baik selamanya.”<br /> <br /><br />HUKUMAN ZINA MEMILIKI TIGA KEKHUSUSAN<br /><br />Allah mengkhususkan hukuman bagi perbuatan zina dibandingkan dengan hukuman-hukuman lainnya dengan tiga hal :<br />Pertama: hukuman zina adalah dibunuh (dirajam) dengan cara yang mengerikan. Dalam hukuman zina yang ringan saja, Allah menggabungkan antara hukuman terhadap fisik dengan cambuk dan hukuman terhadap hati/mentalnya dengan cara diasingkan dari negerinya selama satu tahun.<br />Kedua: Allah melarang hamba-hamba-Nya untuk merasa kasihan terhadap pelaku zina sehingga mencegah mereka untuk memberlakukan hukuman kepada para pezina. Sebab, Allah mansyari’atkan hukuman tersebut didasarkan atas kasih sayang dan rahmat-Nya kepada mereka. Allah sangat sayang kepada kalian, namun kasih sayang tersebut tidaklah mencegah Allah untuk memerintahkan memberlakukan hukuman ini. Oleh karenanya janganlah kasih sayang yang ada di hati kalian menghalangi kalian untuk melaksanakan perintah Allah.<br />Hal ini –walaupun sebenarnya juga berlaku pada seluruh macam hukuman (hudud) yang disyari’atkan- namun disebutkan dalam hukuman zina secara khusus, karena memang sangat penting untuk disebutkan di sini, sebab kebanyakan orang tidak mempunyai rasa marah dan sikap kasar terhadap pezina seperti sikap mereka pada pencuri, atau orang yang menuduh berbuat zina atau pemabuk. Hati mereka cenderung lebih kasihan pada pezina ketimbang para pelaku dosa lainnya. Dan realita membuktikan hal itu. Oleh karena itu Allah melarang mereka, jangan sampai rasa kasihan mereka itu membuat tidak ditegakkannya hukuman Allah .<br />Mengapa rasa kasihan pada mereka itu timbul? Penyebabnya adalah: karena perbuatan zina mungkin terjadi pada orang golongan atas, menengah dan bawah. Kemudian, dalam jiwa manusia itu terdapat dorongan yang kuat untuk melakukannya dan orang yang melakukannya juga berjumlah banyak. Dan yang paling banyak menjadi penyebabnya ialah cinta; sementara tabiat hati manusia merasa kasihan terhadap orang yang sedang jatuh cinta, bahkan banyak di antara mereka yang siap memberikan bantuan kepada mereka, walaupun sebenarnya bentuk percintaan itu termasuk yang diharamkan. Dan hal ini tidak diperselisihkan lagi. Dan diakui oleh mayoritas manusia yang cara berfikir mereka tidak jauh berbeda dengan binatang ternak, seperti kisah cinta yang sering diceritakan para jongos dan budak wanita.<br />Selain itu juga, perbuatan dosa ini (zina) kebanyakan terjadi atas dasar suka dan rela dari kedua belah pihak, bukan dengan pemaksaan, penganiayaan dan pemerkosaan yang membuat jiwa orang-orang geram.<br />Dalam hal ini, syahwat banyak berpengaruh, sehinga timbullah perasaan kasihan yang mungkin akan menghambat ditegakkannya hukuman Allah ini semua timbul dari iman yang lemah. Kesempurnaan iman itu dicapai dengan adanya kekuatan yang dengan itu perintah Allah dapat ditegakkan, juga adanya rahmat (kasih sayang) terhadap orang yang dijatuhi hukuman tersebut, sehingga dia bisa sejalan dengan Allah dalam perintah dan rahmat-Nya.<br />Ketiga: Allah memerintahkan agar hukuman terhadap pelaku zina (baik itu cambuk ataupu rajam, pent) hendaknya dilakukan di hadapan khalayak orang-orang mu’min, bukan di tempat yang sepi sehingga tidak ada orang yang dapat menyaksikannya. Hal ini dilakukan agar hal tersebut lebih efektif untuk tujuan “zajr” (membuat jera pelaku dan membuat takut orang lain melakukannya). Hukuman bagi pezina yang “muhshan” (pernah menikah) diambil dari hukuman Allah terhadap kaum Nabi Luth yang dilempar dengan batu. Karena perbuatan zina dan liwath (homoseks yang dilakukan kaum Nabi Luth ) adalah sama-sama perbuatan fahisyah (keji dan kotor). Keduanya dapat menimbulkan kerusakan yang bertentangan dengan hikmah Allah dalam penciptaan alam semesta. Kerusakan dan bahaya yang ditimbulkan oleh praktek liwath (homoseks) itu sungguh sulit untuk dihitung. Orang yang menjadi korban perbuatan tersebut lebih baik dibunuh daripada jadi objek homo; sebab dia telah tertular kerusakan yang tidak bisa diharapkan untuk baik kembali selamanya. Semua kebaikannya sudah hilang. Bumi sudah menghisap habis rasa malu dari mukanya, sehingga dia tidak akan malu lagi kepada Allah, juga kepada makhluk-Nya. Hati dan jiwa orang tersebut sudah diracuni oleh sperma pelaku liwath seperti pengaruh racun dalam tubuh manusia.<br />Ada perbedaan pendapat di antara sebagian orang; apakah orang yang menjadi objek liwath bisa masuk surga atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat. Aku mendengar Syaikhul islam, Ibnu Taimiyah pernah mengungkapkan dua pendapat ini. Mereka yang mengatakan tidak akan masuk surga memberikan hujjah dengan beberapa hal:<br />Diantaranya, bahwa Nabi bersabda:<br />(( لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ وَلَدُ زَنِيَّةٍ ))<br />“Anak zina tidak akan masuk surga”. )HR. Bukhari dalam At tarikh ash shaghir (124), dan derajatnya hasan).<br />Bila nasib dan kondisi anak hasil zina sudah demikian, padahal dia tidak mempunyai dosa apa-apa, hanya saja dia dicurigai sebagai tempat berbagai kejelekan dan kotoran, serta dia pantas untuk tidak mendatangkan kebaikan apapun selamanya, disebabkan karena dia tercipta dari nuthfah (sperma) yang nista; bila tubuh yang tumbuh menjadi besar dengan barang yang haram saja sangat pantas untuk masuk neraka, maka bagaimana lagi dengan tubuh yang memang tercipta dari sperna yang haram?<br />Mereka mengatakan, "orang yang menjadi objek liwath itu lebih jelek dari anak hasil zina, lebih hina dan lebih dina pula. Dia itu memang pantas untuk tidak mendapat hidayah kebaikan. Dia juga pantas dihalangi mendapatkan hidayah tersebut. Dan setiap kali dia melakukan amal yang baik, maka Allah akan menggandengkannya dengan amalan lain yang dapat merusaknya, sebagai hukuman baginya. Dan memang jarang kita dapati bahwa orang yang pernah jadi objek liwath di masa kecilnya, kecuali dia akan lebih parah di masa tuanya. Dia tidak berhasil mendapatkan ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan taubat yang nasuha.<br />Namun setelah diteliti, yang lebih tepat untuk dikatakan dalam masalah ini, yaitu bahwa bila orang tersebut bertaubat dan kembali kepada Allah, kemudian mendapatkan karunia taubat yang nasuha serta amal yang shalih, lalu kondisinya di masa tua lebih baik dari kondisi di masa kecilnya, lalu merubah perbuatan-parbuatan jeleknya dengan berbagai macam kebaikan serta mencuci aibnya dengan beragam ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah, juga menjaga pandangan matanya, menjaga kemaluannya dari yang haram dan benar-banar jujur kepada Allah dalam amalannya, maka orang yang semacam ini akan mendapat ampunan dan dia akan termasuk penduduk surga. Bila taubat itu –kita ketahui- dapat menghapus segala macam dosa, sampai dosa syirik kepada Allah, membunuh para Nabi dan para wali Allah, atau sihir, kufur dan lain sebagainya, maka kita tidak boleh membatasi penghapusan terhadap dosa yang satu ini, padahal, dengan keadilan dan karunia Yang Maha Kuasa, hikmah Allah menetapkan bahwa:<br />(( التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ ))<br />“Orang yang bertaubat dari dosanya sama seperti orang yang tidak berdosa” (HR. Ibnu Majah).<br />Dan Allah sendiri telah memberikan jaminan bahwa barangsiapa yang bertaubat dari perbuatan syirik, pembunuhan jiwa dan zina, Allah akan mengganti perbuatan-perbuatan jeleknya dengan kebaikan-kebaikan, dan ini adalah ketentuan hukum yang umum mencakup setiap orang yang bertaubat dari berbagai macam dosa.<br />Allah berfirman:<br /> <br /> “Katakanlah, Wahai hamba-hamba-Ku yang aniaya terhadap diri mereka, janganlah kalian putus asa akan rahmat Allah, sesungguhnya Allah akan mengampuni seluruh dosa, sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Pengasih.” (QS. Az-Zumar: 53).<br />Dan tidak akan keluar dari keumuman ayat ini satu macam dosa pun. Namun hal ini hanya khusus bagi mereka yang bertaubat.<br />Bila ternyata orang yang menjadi objek liwath di masa tuanya lebih jelek dari masa kecilnya, tidak mendapatkan karunia taubat nasuha dan amal shalih, tidak segera mengganti ketaatan yang dia tinggalkan dan tidak pula mau menghidupkan apa yang sudah ia matikan, juga tidak mengubah perbuatan-perbuatan jeleknya dengan kebaikan, maka orang semacam ini sulit untuk mendapatkan husnul khatimah yang dapat memasukkannya ke dalam surga di saat akan meninggal kelak. Hal itu sebagai hukuman atas perbuatan yang jelek dengan kejelekan lainnya, sehingga bertumpuklah hukuman perbuatan jelek yang akan diterimanya, sebagaimana Allah juga memberikan ganjaran bagi sebuah perbuatan baik dengan perbuatan baik selanjutnya.<br /><br /> <br /><br />PARA PELAKU MAKSIAT DIKHAWATIRKAN AKAN MATI DALAM SU’UL KHATIMAH<br /> <br />Bila anda perhatikan kondisi kebanyakan orang saat sakaratul maut menjemput, anda akan melihat bahwa mereka terhalangi untuk mendapatkan husnul khatimah, sebagai hukuman akibat perbuatan-perbuatan jelek mereka.<br />Al-hafizh Abu Muhammad Abdul Haq bin Abdurrahman Al Isybili berkata( ), “ketahuilah bahwa su’ul khatimah itu (semoga Allah menjauhkan kita darinya) mempunyai beberapa penyebab. Ada jalan-jalan dan pintu-pintu yang menghantarkan kepadanya. Penyebab, pintu dan jalan yang paling besar adalah larut dengan urusan keduniaan, tidak perhatian dalam urusan akhirat dan berani maksiat kepada Allah. Bisa saja ada seseorang yang sudah terbiasa melakukan kesalahan atau maksiat tertentu, sehingga menguasai hatinya, akalnya tertawan oleh kebiasaan tersebut, pelita hatinya padam dan terbentuklah tabir yang menutupinya. Akibatnya, teguran tidak lagi akan berguna, nasihat tidak lagi akan bermanfaat dan bisa saja kematian datang menjemput saat dia dalam keadaan demikian. Lalu datanglah panggilan kebaikan dari sebuah tempat yang jauh, namun dia tidak dapat memahami maksudnya. Dia tidak tahu apa yang diinginkan oleh panggilan itu, sekalipun orang yang meneriakkan panggilan itu terus mengulangi dan mengulanginya lagi”.<br />Diriwayatkan, bahwa ada seorang anak buah An Nashir (salah seorang pemimpin di masa Mamlukiyyah) yang menjelang sakaratul maut, kemudian anaknya berkata, “ucapkanlah, laa Ilahaa Illallah!” orang itu berucap, "An Nashir adalah tuanku.” Diulangi ucapan itu kepadanya, namun jawaban orang itu tetap sama. Tiba-tiba orang itu tidak sadarkan diri dan setelah dia siuman dia berucap lagi , “An Nashir adalah tuanku”. Begitulah terus menerus setiap kali dikatakan kepadanya ucapan, “laa Ilaaha Illallah” dia malah berucap, “An Nashir adalah tuanku”. Kemudian ia berkata kepada anaknya , “ Hai fulan, sesungguhnya An Nashir itu dapat mengenalmu hanya dengan pedang dan keberanianmu membunuh (berperang)”. Kemudian dia meninggal dunia.<br />Abdul Haq berkata, “pernah dikatakan juga kepada orang lain (yang saya mengenalnya) ucapkanlah, laa Ilaaha Illallah dia malah berucap, “ tolong rumah yang di sana itu diperbaiki, dan kebun yang di sana dikerjakan…”<br />Abdul Haq juga berkata, “di antara riwayat dari Abu thakhir As Silafiy yang mana dia telah mengizinkan aku untuk meriwayatkannya, yaitu sebuah kisah dimana ada seorang pria yang sedang sakaratul maut, kemudian dikatakan kepadanya, ucapkanlan ‘laa Ilaaha Illallah’ namun dia malah mengatakan kata-kata dengan bahasa Persia yang artinya: sepuluh dengan sebelas (maksudnya, boleh berhutang sepuluh tapi bayarnya sebelas, pent).<br />Dan pernah dikatakan pula pada orang lain, ucapkanlah laa Ilaaha Illallah dia malah mengatakan “mana jalan ke pemandian manjab? <br />Kata Abdul Haq, "jawaban yang diucapkannya itu ada ceritanya. Suatu ketika pria tersebut berdiri di depan rumahnya. Rumah tersebut pintunya menyerupai pintu sebuah tempat pemandian, tiba-tiba di situ lewat wanita cantik dan bertanya, ‘mana jalan ke pemandian manjab ? dia menjawab (sambil menunjuk ke pintu rumahnya), ini dia pemandian manjab itu! Maka, wanita itu pun masuk ke dalam rumahnya sampai kebelakang. Setelah dia sadar terjebak di rumah sang pria dan tahu bahwa dia sedang ditipu, dia pura-pura menampakkan rasa gembira dan suka cita karena pertemuannya dengan pria itu. Kemudian wanita itu berkata, "sebaiknya (sebelum kita berkumpul) engkau harus mempersiapkan untuk kita apa-apa yang dapat membuat keindahan kehidupan kita sekaligus menyenangkan hati kita". Dengan segera pria itu menjawab,’ sekarang juga aku akan membawakan untukmu semua yang kamu inginkan dan senangi". Lalu dia pergi ke luar dan meninggalkan si wanita dalam rumah, dan tidak menguncinya. Kemudia ia mengambil barang yang bisa dibawa, lalu kembali ke rumah. Tapi saying, si wanita telah keluar dan pergi. Sedikitpun wanita itu tidak mengambil apa-apa dari rumahnya. Pria itu akhirnya mabuk kepayang dan selalu ingat wanita itu tadi. Dia berjalan di lorong-lorong dan gang-gang sambil mengatakan:<br />يَا رُبَّ قَائِلَةٍ يَوْمًا وَقَدْ تَعِبَتْ كَيْفَ الطَّرِيْقُ إِلَى حَمَامِ مُنْجَاب؟<br />Wahai tuhan, dimana wanita yang mengatakan suatu hari dalam kondisi letih, mana jalan ke pemandian munjab?<br />Suatu saat, waktu dia mengucapkan bait syair tadi, ada seorang wanita berkomentar dari jendela pintu rumahnya:<br />هَلاَّ جَعَلْتَ سَرِيْعًا إِذْ ظَفَرْتَ بِهَا <br />حِرْزًا عَلَى الدَّارِ أَوْ قُفْلاً عَلَى البَابِ<br />Mengapa di saat sudah mendapatkannya tidak dengan segera, <br />engkau menutup rumah atau mengunci pintunya ?<br />Mendengar itu ia tambah mabuk kepayang. Begitulah terus kondisinya sehingga bait syair itu menjadi kata-kata terakhirnya saat meninggal dunia.”<br />Suatu malam, sufyan Ats- tsauri menangis sampai pagi. Di pagi itu ada yang bertanya kepadanya, “ adakah semua yang kau lakukan ini karena takut akan dosa ?” lalu sufyan mengambil segenggam tanah seraya berkata, “dosa lebih ringan dari segenggam tanah ini, aku menangis karena takut akan su’ul khatimah.”<br />Sungguh, ini adalah pemahaman yang cemerlang, seseorang khawatir dosa-dosanya akan membuatnya terhina di kala meninggal dunia nanti, sehingga dia terhalang untuk memperoleh husnul khatimah.<br />Al Imam Ahmad pernah menyebutkan bahwa Abu Darda’ di saat sakaratul maut, dia pingsan tak sadarkan diri, kemudian dia siuman dan membaca:<br /> • <br />“Dan (begitulah) kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya pada permulaannya, dan kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat” (QS. Al An’am: 110).<br />Dan oleh karena itu, para ulama salaf khawatir kalau dosa-dosa itu dapat menghalangi mereka untuk memperoleh husnul khatimah.<br />Abdul Haq juga berkata, “ketahuilah bahwa su’ul khatimah itu (semoga kita dilindungi oleh Allah darinya) tidak akan terjadi pada orang yang istiqamah dan shahih lahir dan batin, kenyataannya tidak pernah didengar dan diketahui (walillahilhamd).<br />Su`ul khatimah akan menimpa orang yang dasarnya sudah rusak atau senantiasa melakukan dosa besar dan mengerjakan kemaksiatan. Barangkali itu menjadi kebiasaannya, sehingga kematian datang menjemputnya sebelum sempat bertaubat, akhirnya dia meninggal sebelum memperbaiki dirinya, urat nadinya dicabut sebelum dia kembali kepada Allah, sehinga saat itu setan berhasil merenggut dan menyambarnya disaat yang genting tersebut. Na’udzu billah!”<br />Diriwayatkan bahwa di mesir dulu ada seseorang yang selalu pergi ke masjid untuk adzan dan melakukan shalat. Wajahnya berwibawa dan penuh cahaya ibadah. Suatu hari dia naik ke menara seperti biasanya untuk adzan, di bawah menara itu ada rumah seorang nashrani, dia melongok ke dalam rumah tersebut, dan melihat anak perempuan pemilik rumah itu, akhirnya ia tergoda dengannya, lalu dia tinggalkan adzan saat itu, dan turun untuk menemuinya, dan masuk ke dalam rumahnya. Anak perempuan itu bertanya, “ada apa, apa yang kamu inginkan?” Dia menjawab, "Aku menginginkan kamu. Dia bertanya lagi, “mengapa demikian?” dia menjawab, “sungguh engkau telah menawan jiwaku dan menguasai seluruh relung hatiku.” Perempuan itu berkata, “Aku tidak akan pernah memenuhi keinginanmu selamanya.” Pria tadi menjawab, “aku akan mengawinimu lebih dahulu.” Perempuan itu berkata, “engkau seorang muslim, aku Nasrani, ayahku tidak akan mengawinkan aku denganmu. Lelaki itu berkata, “aku akan masuk agama Nasrani!” Maka wanita itu berkata, “jika kamu lakukan itu, maka aku mau!” akhirnya lelaki itu resmi masuk Nasrani agar dapat kawin dengannya. Diapun tinggal bersama mereka. Dan pada hari itu, dia naik ke atap rumah tersebut, kemudian jatuh dan langsung mati. <br />Kasihan, dia tidak berhasil mendapatkan perempuan tersebut dan dia kehilangan agamanya.<br />Diriwayatkan pula, ada seorang laki-laki yang senang kepada seseorang. Kesenangan dan kecintaannya semakin kuat, sehingga menguasai hatinya. Bahkan, dia sampai jatuh sakit dan harus tidur istirahat karenanya. Sementara orang yang dicintai itu tidak mau menemuinya. Dia benar-benar tidak suka dan menjauh darinya. Sementara itu orang-orang berusaha mempertemukan keduanya, sehingga ia berjanji untuk menemuinya. Orang-orang datang membawa kabar tersebut, diapun gembira dan sangat bersuka-cita. Sesak di dadanya terasa hilang. İa menunggu waktu yang dijanjikan. Di saat itu, tiba-tiba datang orang yang akan mempertemukan keduanya, lalu menyampaikan, “dia sudah berangkat bersamaku sampai di tengah perjalanan, namun dia kembali lagi. Aku terus mendorong dan merayunya, tapi dia berkata, “orang itu ingat dan menyebut-nyebut aku dan dia pun bergembira dengan kedatanganku. Namun aku tidak akan masuk ke tempat yang meragukan. Aku tidak akan mempersembahkan diriku untuk tempat-tempat yang mencurigakan. Aku terus membujuknya, namun dia tidak mau dan terus pergi. Mendengar hal itu, orang yang sakit tadi langsung menjatuhkan diri dan kembali sakit dengan kondisi yang lebih parah lagi dari sebelumnya, tanda-tanda kematian sudah tampak di wajahnya, saat itu dia mengatakan dalam untaian syair:<br />يَا سَلْمَى يَا رَاحَةَ العَلِيْلِ وَيَا شِفَا المدنف النحيل<br />رِضَاكَ أَشْهَى إِلَى فُؤَادِي مِنْ رَحْمَةِ الخَالِقِ الجَلِيْلِ<br />Wahai salma, wahai penenang hati yang sakit.<br />Wahai obat bagi tubuh yang kurus.<br />Keridhaanmu lebih diharapkan oleh hatiku,<br />ketimbang rahmat Allah yang maha pencipta dan maha mulia.<br />Maka abdul Haq Al Isybili berkata kepadanya, “wahai fulan, takutlah engkau kepada Allah!! dia menjawab, "semuanya sudah terjadi, akhirnya aku meninggalkannya. Dan belum lagi aku melewati pintu rumahnya, aku medengar jerit suara kematiannya. <br />Kita berlindung kepada Allah dari su’ul khatimah.<br /><br /></span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-25545061579866460792009-09-08T02:10:00.002+07:002009-09-08T02:12:19.002+07:00Hukum Orang Meninggalkan Sholat<span style="font-weight:bold;">HUKUM ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT</span><br /><br />Masalah ini termasuk salah satu masalah ilmu yang amat besar, diperdebatkan oleh para ulama pada zaman dahulu dan masa sekarang.<br />Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, yaitu kekafiran yang menyebabkan orang tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.<br /><br /><span class="fullpost"><br />Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan: “Orang yang meninggalkan shalat adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut Imam Abu Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”.<br />Apabila masalah ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan kepada kitab Allah subhaanahu wa ta’aala dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:<br /> <br />“Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (QS. As Syuura: 10).<br />Dan Allah juga berfirman:<br /> <br />“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” ( QS. An Nisa : 59 ).<br />Oleh karena masing-masing pihak yang berselisih pendapat, ucapannya tidak dapat dijadikan hujjah terhadap pihak lain, sebab masing-masing pihak menganggap bahwa dialah yang benar, sementara tidak ada salah satu dari kedua belah pihak yang pendapatnya lebih patut untuk diterima, maka dalam masalah tersebut wajib kembali kepada juri penentu di antara keduanya, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.<br />Kalau kita kembalikan perbedaan pendapat ini kepada Al Qur’an dan As Sunnah, maka akan kita dapatkan bahwa Al Qur’an maupun As Sunnah keduanya menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan kufur akbar yang menyebabkan ia keluar dari islam.<br /><br />Pertama : Dalil dari Al-Qur'an:<br />Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalam surat At Taubah ayat 11:<br /> • <br />“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara saudaramu seagama.” (QS. At Taubah: 11).<br /> Dan dalam surat Maryam ayat 59-60, Allah berfirman:<br /> • • <br />“Lalu datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun.” (QS. Maryam: 59-60).<br />Relevansi ayat kedua, yaitu yang terdapat dalam surat Maryam, bahwa Allah berfirman tentang orang-orang yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya: "kecuali orang yang bertaubat, beriman …”. Ini menunjukkan bahwa mereka ketika menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu adalah tidak beriman.<br />Dan relevansi ayat yang pertama, yaitu yang terdapat dalam surat At Taubah, bahwa kita dan orang-orang musyrik telah menentukan tiga syarat:<br />• Hendaklah mereka bertaubat dari syirik.<br />• Hendaklah mereka mendirikan shalat, dan <br />• Hendaklah mereka menunaikan zakat.<br />Jika mereka bertaubat dari syirik, tetapi tidak mendirikan shalat dan tidak pula menunaikan zakat, maka mereka bukanlah saudara seagama dengan kita.<br />Begitu pula, jika mereka mendirikan shalat, tetapi tidak menunaikan zakat maka mereka pun bukan saudara seagama kita.<br />Persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang atau tidak ada, melainkan jika seseorang keluar secara keseluruhan dari agama; tidak dinyatakan hilang atau tidak ada karena kefasikan dan kekafiran yang sederhana tingkatannya.<br />Cobalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala dalam ayat qishash karena membunuh:<br /> <br />“Maka barangsiapa yang diberi maaf oleh saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) .” (QS. Al Baqarah: 178).<br />Dalam ayat ini, Allah subhaanahu wa ta’aala menjadikan orang yang membunuh dengan sengaja sebagai saudara orang yang dibunuhnya, padahal pidana membunuh dengan sengaja termasuk dosa besar yang sangat berat hukumannya, Karena Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:<br /> • <br />“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An Nisa: 93).<br />Kemudian cobalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala tentang dua golongan dari kaum mu’minin yang berperang:<br /> • <br />“Dan jika ada dua golongan dari orang orang mu’min berperang, maka damaikanlah antara keduanya, jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil, sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu…”. (QS. Al Hujurat: 9).<br />Di sini Allah subhaanahu wa ta’aala menetapkan persaudaraan antara pihak pendamai dan kedua pihak yang berperang, padahal memerangi orang mu’min termasuk kekafiran, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan periwayat yang lain, dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />)) سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ ((<br />“Menghina seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”<br />Namun kekafiran ini tidak menyebabkan keluar dari Islam, sebab andaikata menyebabkan keluar dari islam maka tidak akan dinyatakan sebagai saudara seiman. Sedangkan ayat suci tadi telah menunjukkan bahwa kedua belah pihak sekalipun berperang mereka masih saudara seiman.<br />Dengan demikian jelaslah bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam, sebab jika hanya merupakan kefasikan saja atau kekafiran yang sederhana tingkatannya (yang tidak menyebabkan keluar dari Islam) maka persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang karenanya, sebagaimana tidak dinyatakan hilang karena membunuh dan memerangi orang mu’min.<br />Jika ada pertanyaan: Apakah anda berpendapat bahwa orang yang tidak menunaikan zakat pun dianggap kafir, sebagaimana pengertian yang tertera dalam surat At Taubah tersebut ?<br />Jawabnya adalah: Orang yang tidak menunaikan zakat adalah kafir, menurut pendapat sebagian ulama, dan ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah.<br />Akan tetapi pendapat yang kuat menurut kami ialah yang mengatakan bahwa ia tidak kafir, namun diancam hukuman yang berat, sebagaimana yang terdapat dalam hadits hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti hadits yang dituturkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan hukuman bagi orang yang tidak mau membayar zakat, disebutkan di bagian akhir hadits:<br />(( ثُمَّ يَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلىَ الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلىَ النَّارِ ))<br />“ … Kemudian ia akan melihat jalannya, menuju ke surga atau ke neraka.”<br />Hadits ini diriwayatkan secara lengkap oleh Imam Muslim dalam bab: “dosa orang yang tidak mau membayar zakat”.<br />Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak menunaikan zakat tidak menjadi kafir, sebab andaikata ia menjadi kafir, maka tidak akan ada jalan baginya menuju surga.<br />Dengan demikian manthuq (yang tersurat) dari hadits ini lebih didahulukan dari pada mafhum (yang tersirat) dari ayat yang terdapat dalam surat At Taubah tadi, karena sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh bahwa manthuq lebih didahulukan dari pada mafhum.<br /> <br />Kedua: dalil dari As Sunnah <br />1- Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />(( إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ ))<br />“Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, dalam kitab: Al-Iman) .<br />2- Diriwayatkan dari Buraidah bin Al Hushaib radhiallahu ‘anhu, ia berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />(( اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ ))<br />“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkannya maka benar benar ia telah kafir.” (HR.Abu Daud, Turmudzi, An Nasa'i, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).<br />Yang dimaksud dengan kekafiran di sini adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara orang orang mu’min dan orang orang kafir, dan hal ini bisa diketahui secara jelas bahwa aturan orang kafir tidak sama dengan aturan orang Islam. Karena itu, barang siapa yang tidak melaksanakan perjanjian ini maka dia termasuk golongan orang kafir.<br />3- Diriwayatkan dalam shahih Muslim, dari Ummu Salamah radliallahu 'anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />(( سَتَكُوْنُ أُمَـرَاء ، فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِـرُوْنَ ، فَمَنْ عَرَفَ بَرَئَ، وَمَنْ أَنْكَـرَ سَلِمَ ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ، قَالُوْا: أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ ؟ قَالَ: لاَ مَا صَلُّوْا ))<br />“Akan ada para pemimpin, dan diantara kamu ada yang mengetahui dan menolak kemungkaran kemungkaran yang dilakukannya, barangsiapa yang mengetahui bebaslah ia, dan barangsiapa yang menolaknya selamatlah ia, akan tetapi barang siapa yang rela dan mengikuti, (tidak akan selamat), para sahabat bertanya: bolehkah kita memerangi mereka? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:" Tidak, selama mereka mengerjakan shalat.”<br />4- Diriwayatkan pula dalam shahih Muslim, dari Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />(( خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ ، وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ ، وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ ، قِيْلَ: يَا رَسُـوْلَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ ؟ قَالَ : لاَ ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ))<br />“Pemimpin kamu yang terbaik ialah mereka yang kamu sukai dan merekapun menyukai kamu, serta mereka mendo'akanmu dan kamupun mendoakan mereka, sedangkan pemimpin kamu yang paling jahat adalah mereka yang kamu benci dan merekapun membencimu, serta kamu melaknati mereka dan merekapun melaknatimu, beliau ditanya: ya Rasulallah, bolehkan kita memusuhi mereka dengan pedang? beliau menjawab: "tidak, selama mereka mendirikan shalat dilingkunganmu.”<br />Kedua hadits yang terakhir ini menunjukkan bahwa boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin dengan mengangkat senjata bila mereka tidak mendirikan shalat, dan tidak boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin, kecuali jika mereka melakukan kekafiran yang nyata, yang bisa kita jadikan bukti di hadapan Allah nanti, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shamit radhiallahu ‘anhu:<br />(( دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ فَبَايَعْنَاهُ ، فَكَانَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فَيْ مَنْشَطِناَ وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِناَ وَيُسْرِنَا وَأَثْرَةٍ عَلَيْنَا ، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الْأَمْـرَ أَهْلَهُ ، قَالَ : إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَّاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَان))<br />“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajak kami, dan kamipun membai'at beliau, di antara bai’at yang diminta dari kami ialah hendaklah kami membai’at untuk senantiasa patuh dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun kemudahan, dan mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan janganlah kami menentang orang yang telah terpilih dalam urusan (kepemimpinan) ini, sabda beliau:” kecuali jika kamu melihat kekafiran yang terang- terangan yang ada buktinya bagi kita dari Allah.”<br />Atas dasar ini, maka perbuatan mereka meninggalkan shalat yang dijadikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai alasan untuk menentang dan memerangi mereka dengan pedang adalah kekafiran yang terang-terangan yang bisa kita jadikan bukti dihadapan Allah nanti.<br /><br />@@@@ <br /><br />Tidak ada satu nash pun dalam Al Qur’an ataupun As Sunnah yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau dia adalah mu’min. Kalaupun ada hanyalah nash-nash yang menunjukkan keutamaan tauhid, syahadat “La ilaha Illallah wa anna Muhammad Rasulullah”, dan pahala yang diperoleh karenanya, namun nash-nash tersebut muqayyad (dibatasi) oleh ikatan-ikatan yang terdapat dalam nash itu sendiri, yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau disebutkan dalam suatu kondisi tertentu yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat, atau bersifat umum sehingga perlu difahami menurut dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, sebab dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat bersifat khusus, sedangkan dalil yang khusus itu harus didahulukan dari pada dalil yang umum.<br />Jika ada pertanyaan: Apakah nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat itu tidak boleh diberlakukan pada orang yang meninggalkannya karena mengingkari hukum kewajibannya?<br />Jawab: Tidak boleh, karena hal itu akan mengakibatkan dua masalah yang berbahaya:<br />Pertama: Menghapuskan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan dijadikan sebagai dasar hukum.<br />Allah telah menetapkan hukum kafir atas dasar meninggalkan shalat, bukan atas dasar mengingkari kewajibannya, dan menetapkan persaudaraan seagama atas dasar mendirikan shalat, bukan atas dasar mengakui kewajibannya, Allah tidak berfirman: "Jika mereka bertaubat dan mengakui kewajiban shalat”, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak bersabda: "Batas pemisah antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah mengingkari kewajiban shalat”, atau “perjanjian antara kita dan mereka ialah pengakuan terhadap kewajiban shalat, barang siapa yang mengingkari kewajibannya maka dia telah kafir”.<br />Seandainya pengertian ini yang dimaksud oleh Allah subhaanahu wa ta’aala dan Rasul-Nya, maka tidak menerima pengertian yang demikian ini berarti menyalahi penjelasan yang dibawa oleh Al Qur’an.<br />Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:<br /> • <br />“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu …”. (QS. An Nahl: 89).<br /> •• <br />“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka …”. (QS. An Nahl: 44).<br />Kedua: Menjadikan ketentuan yang tidak ditetapkan oleh Allah sebagai landasan hukum.<br />Mengingkari kewajiban shalat lima waktu tentu menyebabkan kekafiran bagi pelakunya, tanpa alasan karena tidak mengetahuinya, baik dia mengerjakan shalat atau tidak mengerjakannya.<br />Kalau ada seseorang yang mengerjakan shalat lima waktu dengan melengkapi segala syarat, rukun, dan hal-hal yang wajib dan sunnah, namun dia mengingkari kewajiban shalat tersebut, tanpa ada suatu alasan apapun, maka orang tersebut telah kafir, sekalipun dia tidak meninggalkan shalat.<br />Dengan demikian jelaslah bahwa tidak benar jika nash-nash tersebut dikenakan kepada orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, yang benar ialah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dengan kekafiran yang menyebabkannya keluar dari Islam, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam salah satu hadits riwayat Ibnu Abi Hatim dalam kitab Sunan, dari Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepada kita:<br />(( لاَ تُشْرِكُوْا بِاللهِ شَيْئًا، وَلاَ تَتْرُكُوا الصَّلاَةَ عَمْدًا، فَمَنْ تَرَكَهَا عَمْدًا مُتَعَمِّدًا فَقَدْ خَرَجَ مَنَ الْمِلَّةِ ))<br />“Janganlah kamu berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, dan janganlah kamu sengaja meninggalkan shalat, barangsiapa yang benar-benar dengan sengaja meninggalkan shalat maka ia telah keluar dari Islam.”<br />Demikian pula, jika hadits ini kita kenakan kepada orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, maka penyebutan kata “shalat” secara khusus dalam nash-nash tersebut tidak ada gunanya sama sekali. <br />Hukum ini bersifat umum, termasuk zakat, puasa, dan haji, barangsiapa yang meninggalkan salah satu kewajiban tersebut karena mengingkari kewajibannya, maka ia telah kafir, jika tanpa alasan karena tidak mengetahui. Karena orang yang meninggalkan shalat adalah kafir menurut dalil naqli (Al -Qur’an dan As Sunnah), maka menurut dalil 'aqli nadzari (logika) pun demikian.<br />Bagaimana seseorang dikatakan memiliki iman, sementara dia meninggalkan shalat yang merupakan sendi agama. Dan pahala yang dijanjikan bagi orang yang mengerjakannya menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman untuk segera melaksanakan dan mengerjakannya. Serta ancaman bagi orang yang meninggalkannya menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman untuk tidak meninggalkan dan melalaikannya. Dengan demikian, apabila seseorang meninggalkan shalat, berarti tidak ada lagi iman yang tersisa pada dirinya.<br />Jika ada pertanyaan: Apakah kekafiran bagi orang yang meninggalkan shalat tidak dapat diartikan sebagai kufur ni’mat, bukan kufur millah (yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam), atau diartikan sebagai kekafiran yang tingkatannya dibawah kufur akbar, seperti kekafiran yang disebutkan dalam hadits dibawah ini, yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaba:<br />(( ِاثْنَانِ بِالنَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ: اَلطَّعْنُ فِي النَّسَبِ ، وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ ))<br />“Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi mereka, yaitu: mencela keturunan dan meratapi orang yang telah mati.”<br />(( سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ ))<br />“Menghina seorang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”<br />Jawab: Pengertian seperti ini dengan mengacu pada contoh tersebut tidak benar, karena beberapa alasan:<br />Pertama : Bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara kekafiran dan keimanan, antara orang-orang mu’min dan orang-orang kafir, dan batas ialah yang membedakan apa saja yang dibatasi, serta memisahkannya dari yang lain, sehingga kedua hal yang dibatasi berlainan, dan tidak bercampur antara yang satu dengan yang lain.<br />Kedua : Shalat adalah salah satu rukun Islam, maka penyebutan kafir terhadap orang yang meninggalkannya berarti kafir dan keluar dari Islam, karena dia telah menghancurkan salah satu sendi Islam, berbeda halnya dengan penyebutan kafir terhadap orang yang mengerjakan salah satu macam perbuatan kekafiran.<br />Ketiga: Di sana ada nash-nash lain yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, yang dengan kekafirannya menyebabkan ia keluar dari Islam.<br /> Oleh karena itu kekafiran ini harus difahami sesuai dengan arti yang dikandungnya, sehingga nash-nash itu akan sinkron dan harmonis, tidak saling bertentangan.<br />Keempat: Penggunaan kata kufur berbeda-beda, tentang meninggalkan shalat beliau bersabda:<br />(( إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ ))<br />“Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, dalam kitab al iman).<br />Di sini digunakan kata “Al ”, dalam bentuk ma’rifah (definite), yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kekafiran yang sebenarnya, berbeda dengan penggunaan kata kufur secara nakirah (indefinite), atau “kafara” sebagai kata kerja, atau bahwa dia telah melakukan suatu kekafiran dalam perbuatan ini, bukan kekafiran mutlak yang menyebabkan keluar dari Islam.<br /> Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang bernama "Iqtidha ashshirath al mustaqim" cetakan As Sunnah al Muhammadiyah, hal 70, ketika menjelaskan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : <br />(( ِاثْنَانِ بِالنَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ: اَلطَّعْنُ فِي النَّسَبِ، وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ ))<br />“Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi mereka, yaitu: mencela keturunan dan meratapi orang mati.”<br />Ia mengatakan: sabda Nabi “Keduanya merupakan kekafiran” artinya: kedua sifat ini adalah suatu kekafiran yang masih terdapat pada manusia, jadi kedua sifat ini adalah suatu kekafiran, karena sebelum itu keduanya termasuk perbuatan-perbuatan kafir, tetapi masih terdapat pada manusia.<br />Namun, tidak berarti bahwa setiap orang yang terdapat pada dirinya salah satu bentuk kekafiran dengan sendirinya menjadi kafir karenanya secara mutlak, sehingga terdapat pada dirinya hakekat kekafiran. Begitu pula, tidak setiap orang yang terdapat dalam dirinya salah satu bentuk keimanan dengan sendirinya menjadi mu’min.<br />Penggunaan kata “Al Kufr” dalam bentuk ma’rifah (dengan kata “Al”) sebagaimana disebut dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :<br />(( إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ ))<br />“Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, dalam kitab al iman).<br />Berbeda dengan kata “Kufr” dalam bentuk nakirah (tanpa kata “Al”) yang digunakan dalam kalimat positif.<br />@@@@<br /><br />Apabila sudah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, keluar dari Islam, berdasarkan dalil-dalil ini, maka yang benar adalah pendapat yang dianut oleh Imam Ahmad bin Hanbal, yang juga merupakan salah satu pendapat Imam Asy Syafi'i, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang firman Allah subhaanahu wa ta’aala :<br /> • • • <br />“Lalu datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun.” (QS. Maryam: 59-60).<br />Disebutkan pula oleh Ibnu Al Qayyim dalam “Kitab Ash Shalat” bahwa pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang ada dalam madzhab Syafi’i, Ath Thahaqi pun menukilkan demikian dari Imam Syafii sendiri.<br />Dan pendapat inilah yang dianut oleh mayoritas sahabat, bahkan banyak ulama yang menyebutkan bahwa pendapat ini merupakan ijma’ (consensus) para sahabat.<br />Abdullah bin Syaqiq mengatakan: ”Para sahabat Nabi radhiallahu 'anhum berpendapat bahwa tidak ada satupun amal yang bila ditinggalkan menyebabkan kafir, kecuali shalat”. (Diriwayatkan oleh Turmudzi dan Al Hakim menyatakannya shahih menurut persyaratan Imam Bukhari dan Muslim).<br />Ishaq bin Rahawaih rahimahullah, seorang Imam terkenal mengatakan: “Telah dinyatakan dalam hadits shahih dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan demikianlah pendapat yang dianut oleh para ulama sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang ini, bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa ada suatu halangan sehingga lewat waktunya adalah kafir.”<br />Dituturkan oleh Ibnu Hazm rahimahullah bahwa pendapat tersebut telah dianut oleh Umar, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabal, Abu Hurairah, dan para sahabat lainnya, dan ia berkata: “Dan sepengetahuan kami tidak ada seorang pun diantara sahabat Nabi yang menyalahi pendapat mereka ini”, keterangan Ibnu Hazm ini telah dinukil oleh Al Mundziri dalam kitabnya "At Targhib Wat Tarhib", dan ada tambahan lagi dari para sahabat yaitu Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu, ia berkata lebih lanjut: “dan diantara para ulama yang bukan dari sahabat adalah Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abdullah bin Al Mubarak, An Nakha'i, Al Hakam bin Utbaibah, Ayub As Sikhtiyani, Abu Daud At Thayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, dan lain-lainnya.”<br />Jika ada pertanyaan: Apakah jawaban atas dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir?<br />Jawab: Tidak disebutkan dalam dalil-dalil ini bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau mu’min, atau tidak masuk neraka, atau masuk surga, dan yang semisalnya.<br />Siapapun yang memperhatikan dalil-dalil itu dengan seksama pasti akan menemukan bahwa dalil-dalil itu tidak keluar dari lima bagian dan kesemuanya tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir.<br />Bagian pertama: Hadits-hadits tersebut dhaif dan tidak jelas, orang yang menyebutkannya berusaha untuk dapat dijadikan sebagai landasan hukum, namun tetap tidak membawa hasil.<br />Bagian kedua: Pada dasarnya, tidak ada dalil yang menjadi pijakan pendapat yang mereka anut dalam masalah ini, seperti dalil yang digunakan oleh sebagian orang, yaitu firman Allah subhaanahu wa ta’aala:<br /> • • <br />“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu yang Dia kehendaki.” (QS. An Nisa: 48).<br />Firman Allah “مَا دُوْنَ ذَلِكَ ” artinya: “dosa-dosa yang lebih kecil dari pada syirik ”, bukan “dosa yang selain syirik”, berdasarkan dalil bahwa orang yang mendustakan apa yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya adalah kafir, dengan kekafiran yang tidak diampuni, sedangkan dosa orang yang meninggalkan shalat tidak termasuk syirik.<br />Andaikata kita menerima bahwa firman Allah “مَا دُوْنَ ذَلِكَ ” artinya adalah “dosa-dosa selain syirik”, niscaya inipun termasuk dalam bab Al Amm Al Makhsus (dalil umum yang bersifat khusus), dengan adanya nash-nash lain yang menunjukkan adanya kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam termasuk dosa yang tidak diampuni, sekalipun tidak termasuk syirik.<br />Bagian ketiga: Dalil umum yang bersifat khusus, dengan hadits-hadits yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.<br />Contohnya: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dituturkan oleh Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu:<br />(( مَا مِنْ عَبْدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ ))<br />“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, kecuali Allah haramkan ia dari api neraka.”<br />Inilah salah satu lafadznya, dan diriwayatkan pula dengan lafadz seperti ini dari Abu Hurairah, Ubadah bin Shamit dan Itban bin Malik radhiallahu ‘anhum.<br />Bagian keempat: Dalil umum yang muqayyad (dibatasi) oleh suatu ikatan yang tidak mungkin baginya meninggalknan shalat.<br />Contohnya: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dituturkan oleh Itban bin Malik radhiallahu ‘anhu:<br />(( مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهِ عَلَى النَّارِ ))<br />“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan ikhlas dalam hatinya (semata-mata karena Allah), kecuali Allah haramkan ia dari api neraka.”<br />Dan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dituturkan oleh Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu:<br />(( مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهِ عَلَى النَّارِ ))<br />“Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan ikhlas dalam hatinya (semata-mata karena Allah), kecuali Allah haramkan ia dari api neraka”. (HR. Bukhari).<br />Dengan dibatasinya pernyataan dua kalimat syahadat dengan keikhlasan niat dan kejujuran hati, menunjukkan bahwa shalat tidak mungkin akan ditinggalkan, karena siapapun yang jujur dan ikhlas dalam pernyataannya niscaya kejujuran dan keikhlasannya akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat, dan tentu saja, karena shalat merupakan sendi Islam, serta media komunikasi antara hamba dan Tuhan.<br />Maka apabila ia benar-benar mengharapkan perjumpaan dengan Allah, tentu akan berbuat apapun yang dapat menghantarkannya kepada tujuannya itu, dan menjauhi segala apa yang menjadi penghalangnya.<br />Demikian pula orang yang mengucapkan kalimat “La Ilaha Illallah wa anna Muhammad Rasulullah” secara jujur dari lubuk hatinya, tentu kejujurannya itu akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat dengan ikhlas semata-mata karena Allah, dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal itu termasuk syarat-syarat syahadat yang benar.<br />Bagian kelima: Dalil yang disebutkan secara muqayyad (dibatasi) oleh suatu kondisi yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat.<br />Contohnya: Hadits riwayat Ibnu Majah, dari Hudzaifah bin Al Yaman, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />(( يُدْرَسُ اْلإِسْلاَمُ كَمَا يُدْرَسُ وَشْيُ الثَّوْبِ " وفيه " وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيْرُ وَالْعَجُوْزُ يَقُوْلُوْنَ: أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ فَنَحْنُ نَقُوْلُهَا ))<br />“Akan hilang Islam ini sebagaimana akan hilang ornamen yang terdapat pada pakaian”… “dan tinggallah beberapa kelompok manusia, yaitu kaum lelaki dan wanita yang tua renta, mereka berkata:”kami mendapatkan orang tua kami hanya menganut kalimat “La Ilaha Illallah” ini, maka kamipun menyatakannya (seperti mereka) .”<br />Shilah berkata kepada Hudzaifah:” Tidak berguna bagi mereka kalimat “La Ilaha Illallah”, bila mereka tidak tahu apa itu shalat, apa itu puasa, apa itu haji, apa itu zakat.”, maka Hudzaifah radhiallahu ‘anhu memalingkan mukanya dengan menjawab:” wahai Shilah, kalimat itu akan menyelamatkan mereka dari api neraka”, berulang-kali dia katakan seperti itu kepada Shilah, dan ketiga kalinya dia mengatakan sambil menatapnya.<br />Orang-orang yang selamat dari api neraka dengan kalimat syahadat saja, mereka itu dima'afkan untuk tidak melaksanakan syari'at Islam, karena mereka sudah tidak mengenalnya, sehingga apa yang mereka kerjakan hanyalah apa yang mereka dapatkan saja, kondisi mereka adalah serupa dengan kondisi orang yang meninggal dunia sebelum diperintahkannya syari'at, atau sebelum mereka mendapat kesempatan untuk mengerjakan syari'at, atau orang yang masuk Islam di negara kafir tetapi belum sempat mengenal syari'at ia meninggal dunia.<br />Kesimpulannya, bahwa dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa tidak kafir orang yang tidak shalat atau meninggalkannya, tidak dapat melemahkan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, karena dalil-dalil yang mereka pergunakan itu dhaif, dan tidak jelas, atau sama sekali tidak membuktikan kebenaran pendapat mereka, atau dibatasi oleh suatu ikatan yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau dibatasi oleh suatu kondisi yang menjadi alasan untuk meninggalkan shalat, atau dalil umum yang bersifat khusus dengan adanya nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.<br />Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, berdasarkan dalil yang kuat yang tidak dapat disanggah dan disangkal lagi, untuk itu harus dikenakan kepadanya konsekwensi hukum karena kekafiran dan riddah (keluar dari Islam), sesuai dengan prinsip “hukum itu dinyatakan ada atau tidak ada mengikuti ilat (alasan) nya”.<br /> <br /><br />2<br />KONSEKWENSI HUKUM KARENA RIDDAH YANG DISEBABKAN KARENA MENINGGALKAN SHALAT ATAU SEBAB YANG LAINNYA<br /><br />Ada beberapa kosekwensi hukum baik yang bersifat duniawi, maupun ukhrawi, yang terjadi karena riddah (keluar dari Islam):<br /><br />Pertama :Konsekwensi Hukum Yang Bersifat Duniawi : <br /><br />1- Kehilangan haknya sebagai wali.<br />Oleh karena itu, dia tidak boleh sama sekali dijadikan wali dalam perkara yang memerlukan persyaratan kewalian dalam Islam, dengan demikian, ia tidak boleh dijadikan wali untuk anak-anaknya atau selain mereka, dan tidak boleh menikahkan salah seorang putrinya atau putri orang lain yang berada dibawah kewaliannya.<br />Para ulama fiqh kita -Rahimahumullah– telah menegaskan dalam kitab-kitab mereka yang kecil maupun besar, bahwa disyaratkan beragama islam bagi seorang wali apabila mengawinkan wanita muslimah, mereka berkata: “Tidak sah orang kafir menjadi wali bagi seorang wanita muslimah”.<br />Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “ Tidak sah suatu pernikahan kecuali disertai dengan seorang wali yang bijaksana, dan kebijaksanaan yang paling agung dan luhur adalah agama Islam, sedang kebodohan yang paling hina dan rendah adalah kekafiran, kemurtadan dari Islam.<br />Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:<br /> • <br />“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri …” (QS. Al Baqarah: 130).<br /><br />2- Kehilangan haknya untuk mewarisi harta kerabatnya.<br />Sebab orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam, begitu pula orang Islam tidak boleh mewarisi harta orang kafir, berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />(( لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ ))<br />“Tidak boleh seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi orang muslim”. (HR.Bukhari dan Muslim).<br /><br />3- Dilarang baginya untuk memasuki kota Makkah dan tanah haram.<br />Berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala:<br /> <br />“Hai orang orang yang beriman, sesungguhnya orang- orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Al Masjidil Haram sesudah tahun ini …” (QS. At Taubah: 28).<br /><br />4- Diharamkan makan hewan sembelihannya.<br />Seperti onta, sapi, kambing, dan hewan lainnya, yang termasuk syarat dimakannya adalah sembelih, karena salah satu syarat penyembelihannya adalah bahwa penyembelihnya harus seorang muslim atau ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), adapun orang murtad, paganis, Majusi, dan sejenisnya, maka sembelihan mereka tidak halal.<br />Al Khazin dalam kitab tafsirnya mengatakan: “Para ulama telah sepakat bahwa sembelihan orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik seperti kaum musyrikin Arab, para penyembah berhala, dan mereka yang tidak mempunyai al kitab, haram hukumnya.”<br />Dan Imam Ahmad mengatakan: “Setahu saya, tidak ada seorangpun yang berpendapat selain demikian, kecuali orang-orang ahli bid’ah.”<br /><br /><br /><br />5- Tidak boleh dishalatkan jenazahnya dan tidak boleh dimintakan ampunan dan rahmat untuknya.<br />Berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala:<br /> • <br />“Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburannya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam keadaan fasik”. (QS. At Taubah: 84).<br />Dan firman-Nya:<br /> • • • • • • • •• <br /> “Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang- orang musyrik, walaupun mereka itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahim, dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu, tetapi ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka berlepas diri darinya, sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At Taubah: 113-114).<br />Do'a seseorang untuk memintakan ampun dan rahmat bagi orang yang mati dalam keadaan kafir, apapun sebab kekafirannya, adalah pelanggaran dalam do'a, dan merupakan suatu bentuk penghinaan kepada Allah, dan penyimpangan terhadap tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang beriman.<br />Bagaimana mungkin orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat mau mendo'akan orang yang mati dalam keadaan kafir, agar diberi ampunan dan rahmat, padahal dia adalah musuh Allah? Sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’aala:<br /> <br />“Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, Malaikat malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuhnya orang-orang kafir”. (QS. Al Baqarah: 98).<br />Dalam ayat ini, Allah telah menjelaskan bahwa Dia adalah musuh orang-orang yang kafir. Yang wajib bagi orang mu’min ialah melepaskan diri dari setiap orang kafir, karena firman Allah subhaanahu wa ta’aala:<br /> • <br />“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, kecuali Tuhan yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” (QS. Az Zukhruf: 26 –27).<br />Dan firman-Nya:<br /> • • • <br />“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja …” (QS. Al Mumtahanah: 4).<br />Untuk mencapai derajat demikian adalah dengan mutaba’ah (meneladani) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:<br /> • •• • <br />“Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik”. (QS. At Taubah: 3).<br />6- Dilarang menikah dengan wanita muslimah.<br />Karena dia kafir, dan orang kafir tidak boleh menikahi wanita muslimah, berdasarkan nash dan ijma’.<br />Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:<br /> • <br />“Hai orang-orang yang beriman, apabila perempuan perempuan yang beriman datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka, Allah lebih mengetahui tentang mereka, jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir, mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka …” (QS. Al Mumtahanah: 10).<br />Dikatakan dalam kitab Al Mughni, jilid 6, hal 592: “Semua orang kafir, selain Ahli kitab, tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama, bahwa wanita-wanita dan sembelihan-sembelihan mereka haram bagi orang Islam …, dan wanita-wanita yang murtad (keluar dari Islam) ke agama apapun haram untuk dinikahi, karena dia tidak diakui sebagai pemeluk agama baru yang dianutnya itu, sebab kalau diakui sejak semula sebagai pemeluk agama itu, maka kemungkinan bisa dihalalkan.” (Seperti; wanita yang berpindah dari agama Islam ke agama ahli kitab, maka diharamkan untuk dinikahi, tetapi bila wanita itu sejak semula telah memeluk agama ahli kitab ini, maka dihalalkan untuk dinikahi, pent).<br />Dan disebutkan dalam bab “orang murtad”, jilid 8, hal 130: “Jika dia kawin, tidak sah perkawinannya, karena tidak ditetapkan secara hukum untuk menikah, dan selama tidak ada ketetapan hukum untuk pernikahannya, dilarang pula pelaksanaan pernikahannya, seperti pernikahan orang kafir dengan wanita muslimah.”<br />Sebagaimana diketahui, telah dikemukakan dengan jelas, bahwa dilarang menikah dengan wanita yang murtad, dan tidak sah kawin dengan laki-laki yang murtad.<br />Dikatakan pula dalam kitab Al-Mughni, jilid 6, hal 298: “Apabila salah seorang dari suami istri murtad sebelum si istri digauli, maka batallah pernikahan mereka seketika itu, dan masing-masing pihak tidak berhak untuk mewarisi yang lain, namun, jika ia murtad setelah digauli maka dalam hal ini ada dua riwayat: pertama: segera dipisahkan, kedua: ditunggu sampai habis masa iddah.”<br />Dan disebutkan dalam Al-Mughni, jilid 6, hal 639: “Batalnya pernikahan karena riddah sebelum si istri digauli adalah pendapat yang dianut oleh mayoritas para ulama, berdasarkan banyak dalil, adapun bila terjadi riddah setelah digauli, maka batallah pernikahan seketika itu juga, menurut pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah, dan menurut pendapat Imam Syafi'i: ditunggu sampai habis masa iddahnya, dan menurut Imam Ahmad ada dua riwayat seperti kedua madzhab tersebut.”<br />Kemudian disebutkan pula pada halaman 640: “Apabila suami istri itu sama-sama murtad, maka hukumnya adalah seperti halnya apabila salah satu dari keduanya murtad, jika terjadi sebelum digauli, segera diceraikan antara keduanya. Dan jika terjadi sesudahnya, apakah segera diceraikan atau menunggu sampai habis masa iddah? Ada dua riwayat, dan inilah madzhab Syafi’i.<br />Selanjutnya disebutkan bahwa menurut Imam Abu Hanifah, pernikahannya tidaklah batal berdasarkan istihsan (kebijaksanaan yang diambil berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, tanpa mengacu kepada nash secara khusus, pent), karena dengan demikian, agama mereka berbeda, sehingga ibaratnya seperti kalau mereka sama-sama beragama Islam. Kemudian analogi yang digunakan itu disanggah oleh pengarang Al Mughni dari segala segi dan aspeknya.<br />Apabila telah jelas dan nyata bahwa pernikahan orang murtad dengan laki-laki atau perempuan yang beragama Islam itu tidak sah, berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah, dan orang yang meninggalkan shalat adalah kafir berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah serta pendapat para sahabat, maka jelaslah bagi kita bahwa seseorang apabila tidak melaksanakan shalat, dan mengawini seorang wanita muslimah, maka pernikahannya tidak sah, dan tidak halal baginya wanita itu dengan akad nikah ini, begitu pula hukumnya apabila pihak wanita yang tidak shalat.<br />Hal ini berbeda dengan pernikahan orang-orang kafir, ketika masih dalam keadaan kafir, seperti seorang laki-laki kafir kawin dengan wanita kafir, kemudian si istri masuk Islam, jika ia masuk Islam sebelum digauli, maka batallah pernikahan tadi, tapi jika masuk Islam sesudah digauli, belum batal pernikahannya, namun ditunggu: apabila si suami masuk Islam sebelum habis masa iddah, maka wanita tersebut tetap menjadi istrinya, tetapi apabila telah habis masa iddahnya si suami belum masuk Islam, maka tidak ada hak baginya terhadap istrinya, karena dengan demikian nyatalah bahwa pernikahannya telah batal, sejak si istri masuk Islam.<br />Pada zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ada sejumlah orang kafir yang masuk Islam bersama istri mereka, dan pernikahan mereka tetap diakui oleh Nabi, kecuali jika terdapat sebab yang mengharamkan dilangsungkannya pernikahan tersebut, seperti apabila suami istri itu berasal dari agama Majusi dan terdapat hubungan kekeluargaan yang melarang dilangsungkannya pernikahan di antara keduanya, maka kalau keduanya masuk Islam, diceraikan seketika itu juga antara mereka berdua, karena adanya sebab yang mengharamkan tadi.<br />Masalah ini tidak seperti halnya orang muslim, yang menjadi kafir karena meninggalkan shalat, kemudian kawin dengan seorang wanita muslimah, wanita muslimah itu tidak halal bagi orang kafir berdasarkan nash dan ijma’, sebagaimana telah diuraikan di atas, sekalipun orang itu awalnya kafir bukan karena murtad.<br />Untuk itu, jika ada seorang laki-laki kafir kawin dengan wanita muslimah, maka pernikahannya batal, dan wajib diceraikan antara keduanya. Apabila laki-laki itu masuk Islam dan ingin kembali kepada wanita tersebut, maka harus dengan akad nikah yang baru.<br /><br />7- Hukum anak orang yang meninggalkan shalat dari perkawinannya dengan wanita muslimah.<br />Bagi pihak istri, menurut pendapat orang yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, maka anak itu adalah anaknya, dan bagaimanapun tetap dinasabkan kepadanya, karena pernikahannya adalah sah.<br />Sedang menurut pendapat yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, dan pendapat ini yang benar sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pada bahasan pertama, maka kita tinjau terlebih dahulu:<br />• Jika si suami tidak mengetahui bahwa pernikahannya batal, atau tidak meyakini yang demikian itu, maka anak itu adalah anaknya, dan dinasabkan kepadanya, karena hubungan suami istri yang dilakukannya dalam keadaan seperti ini adalah boleh menurut keyakinannya, sehingga hubungan tersebut dihukumi sebagai hubungan syubhat (yang meragukan), dan karenanya anak tadi tetap diikutkan kepadanya dalam nasab.<br />• Namun jika si suami mengetahui serta meyakini bahwa pernikahannya batal, maka anak itu tidak dinasabkan kepadanya, karena tercipta dari sperma orang yang berpendapat bahwa hubungan yang dilakukannya adalah haram, karena terjadi pada wanita yang tidak dihalalkan baginya.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Kedua: Konsekwensi Hukum Yang Bersifat Ukhrawi:<br /><br />1- Dicaci dan dihardik oleh para malaikat.<br />Bahkan para malaikat memukuli seluruh tubuhnya, dari bagian depan dan belakangnya.<br />Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:<br /> • <br />“Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut nyawa orang-orang yang kafir, seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata): “Rasakanlah olehmu siksa nereka yang membakar”, (tentulah kamu akan merasa ngeri). Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-Nya”. (QS. Al Anfal: 50–51).<br /><br />2- Pada hari kiamat ia akan dikumpulkan bersama orang orang kafir dan musyrik, karena ia termasuk dalam golongan mereka.<br /><br /><br />Firman Allah subhaanahu wa ta’aala:<br /> • • <br />“(Kepada para malaikat diperintahkan): “Kumpulkanlah orang-orang yang dzalim beserta orang-orang yang sejenis mereka dan apa-apa yang menjadi sesembahan mereka, selain Allah, lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka.” (QS.Ash Shaffat: 22–23).<br />Kata “ أَزْوَاج ” bentuk jama’ dari “ زَوْج ” yang berarti: jenis, macam. Yakni: “Kumpulkanlah orang-orang yang musyrik dan orang-orang yang sejenis mereka, seperti orang-orang kafir dan yang dzalim lainnya.”<br /><br />3- Kekal untuk selama-lamanya di dalam neraka.<br />Berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala:<br /> • • <br />“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka), mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak (pula) seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata:"Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah, dan taat (pula) kepada Rasul ”. (QS. Al Ahzab: 64 – 66).<br /><br /> <br /><br />PENUTUP<br /><br />Demikianlah apa yang ingin penulis sampaikan, tentang permasalahan yang besar ini, yang telah melanda banyak umat manusia.<br />Pintu taubat masih terbuka bagi siapapun yang hendak bertaubat, karena itu, saudaraku se-Islam, segeralah bertaubat kepada Allah ta'ala, dengan ikhlas semata-mata karena-Nya, menyesali apa yang telah diperbuat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, serta memperbanyak amal keta'atan.<br />Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:<br /> <br />“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka kejahatan mereka diganti dengan kebajikan, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shaleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (QS. Al Furqan: 70– 71).<br />Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada kita dalam urusan ini, menunjukkan kepada kita semua jalan-Nya yang lurus, jalan orang-orang yang dikaruniai ni’mat oleh Allah, yaitu para Nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin, Bukan jalan orang-orang yang dimurkai atau orang-orang yang tersesat. <br /><br />Selesai ditulis oleh:<br />Al faqir Ilallahi ta’ala<br /><br />Muhammad bin Shaleh Al Utsaimain<br />(Rahimahullah)<br />Pada tanggal 23 Shafar 1407 H.<br /><br /></span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-7584858901120373972009-09-08T02:04:00.002+07:002009-09-08T02:07:58.170+07:00Fatwah - Fatwah Penting Tentang Sholat<span style="font-weight:bold;">SYARAT-SYARAT SHALAT<br /></span><br /><br /> 1. Pada sebagian wilayah terdapat siang atau malam yang berlalu dalam waktu sangat lama, ada juga yang berlalu sangat singkat sekali sehingga tidak cukup waktu untuk melakukan shalat lima waktu, bagaimana penduduk wilayah tersebut melakukan shalatnya ?<br /><br /><span class="fullpost"><br /> Jawab: Merupakan kewajiban bagi penduduk suatu daerah yang siang atau malamnya sangat panjang untuk melakukan shalat lima waktu berdasarkan perkiraan, jika disana tidak terdapat tergelincir atau terbenamnya matahari dalam jangka waktu dua puluh empat jam. Terdapat riwayat yang shahih dari Rasulullah berdasarkan hadits Nawwas bin Sam’an dalam shahih Muslim tentang hari pada saat datangnya Dajjal yang digambarkan bagaikan setahun, sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang hal tersebut, maka beliau bersabda: “Perkirakanlah ukuran (waktunya)” demikian pula dengan hari yang keduanya, yaitu sehari bagaikan sebulan. Demikian pula yang seharinya bagaikan seminggu. Adapun wilayah yang siangnya sangat pendek atau siangnya sangat panjang atau sebaliknya maka hukumnya jelas, yaitu mereka shalat sebagaimana pada hari-hari umumnya meskipun siang atau malamnya sangat pendek berdasarkan umumnya dalil. <br /><br /> 2. Sebagian orang ada yang shalat fardhu dalam keadaan terbuka kedua bahunya, khususnya pada saat pelaksanaan ibadah haji, yaitu saat mengenakan pakaian ihram. Apakah hukumnya?<br /> jawab: jika dia tidak mampu menghindarinya, maka tidak mengapa baginya hal yang demikian itu berdasarkan firman Allah ta’ala:<br /> <br /> “Bertakwalah kalian semampu kalian” (At-Taghabun 16 )<br />Dan juga berdasarkan hadits Rasulullah , dari Jabir bin Abdullah :<br />(( إِنْ كَانَ الثَّوْبُ وَاسِعاً فَالْتَحِفْ بِهِ وَإِنْ كَانَ ضَيِّقاً فَأتَّزِرْ بِهِ )) متفق عليه.<br />“Jika bajunya lebar maka berselimutlah dengannya dan jika bajunya sempit maka jadikanlah sebagai kain sarung” (Muttafaq Alaih)<br />Adapun jika dia mampu untuk menutup kedua bahunya atau salah satu diantara keduanya, maka wajib baginya untuk menutup keduanya atau salah satu diantara keduanya menurut salah satu pendapat ulama yang lebih kuat, jika hal tersebut dia abaikan maka shalatnya tidak sah, berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( لاَ يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِيْ الثَّوْبِ الوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقِهِ مِنْهُ شَيْءٌ )) متفق عليه.<br />“Janganlah salah seorang diantara kalian shalat dengan mengenakan satu baju yang tidak terdapat diatas bahunya sesuatu apapun “ (Muttafaq alaih)<br />3. Sebagian orang ada yang terlambat shalat Fajar (Shubuh) hingga waktu Isfar (mendekati terbitnya matahari) dengan alasan bahwa hal tersebut berdasarkan hadits: <br />أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلأَجْرِ <br />“Lakukanlah (shalat) Fajar pada saat mendekati terbitnya matahari, karena sesungguhnya hal tersebut sangat besar pahalanya "Apakah hadits tersebut shahih? dan bagaimana menggabungkannya dengan hadits: “(Amal yang paling utama adalah shalat pada waktunya) “?<br />Jawab: Hadits yang disebutkan adalah hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahlussunan dengan sanad yang shahih dari Rafi’ bin Khudaij , dan hal tersebut tidak bertentangan dengan hadits shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah shalat Shubuh pada saat hari masih gelap, begitu juga tidak bertentangan dengan hadits “(amal yang paling utama adalah) shalat pada waktunya” , akan tetapi makna yang dimaksud menurut jumhur ulama adalah, menunda shalat fajar sampai jelas datangnya waktu fajar, kemudian dilaksanakan sebelum hilangnya kegelapan sebagaimana dahulu Rasulullah melakukannya, cuma saja saat di Muzdalifah (saat melaksanakan ibadah haji) diutamakan untuk melakukannya lebih cepat, yaitu saat terbitnya fajar, sebagaimana perbuatan Rasulullah pada saat haji Wada’.<br />Dengan demikian hadits-hadits yang shahih tersebut dapat digabungkan tentang saat pelaksanakan shalat Fajar, akan tetapi semua itu hanyalah masalah keutamaan (afdhaliah).<br />Dan boleh mengakhirkan shalat shubuh sampai sesaat sebelum terbitnya matahari, sebagaiman hadits Rasulullah :<br />(( وَقْتُ الْفَجْرِ مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ مَالَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ ))<br />“Waktu (shalat) Fajar adalah sejak terbitnya fajar selama belum terbitnya matahari" (Riwayat Muslim dalam shahihnya dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash).<br />4. Kami menyaksikan sebagian orang ada yang memendekkan bajunya (gamisnya) dan memanjangkan celananya, bagaimanakah pendapat syaikh? <br />Jawab: Berdasarkan sunnah maka hendaknya (ujung) pakaian yang dikenakan antara setengah betisnya hingga mata kakinya dan tidak boleh menurunkannya hingga kebawah mata kaki, berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فَهُوَ فِي النَّارِ ))<br />“Pakaian yang (menjulur) ke bawah mata kaki, maka dia berada dalam neraka" (Riwayat Bukhari dalam As-Shahih)<br />Tidak ada bedanya antara celana dan kain, kemeja dan gamis, Rasulullah menyebutkan kain (إزار) dalam hadits tersebut sebagai perumpamaan saja bukan sebagai pengkhususan, yang utama hendaknya pakaian yang dikenakan hanya sampai setengah betisnya, berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( إِزَارَةُ الْمُؤْمِنِ نِصْفُ سَاقِهِ ))<br />“Pakaian seorang mu’min adalah (sampai) setengah betisnya"<br />5. Apakah hukumnya jika diketahui kemudian bahwa shalat yang dilakukannya tidak menghadap kiblat setelah dia berijtihad? Apakah ada bedanya antara jika hal tersebut terjadi di negri kafir dan negri muslim atau di tengah padang pasir?<br />Jawab: Jika seorang berada dalam sebuah perjalanan atau berada di tempat yang tidak mudah baginya untuk mengetahui arah kiblat maka shalatnya sah, jika dia telah berijtihad untuk menetapkan arah kiblat, dan ternyata setelah itu tidak menghadap kearah kiblat.<br />Adapun jika dia berada di negri muslim, maka shalatnya tidak sah, karena memungkinkan baginya untuk bertanya siapa saja yang dapat menunjukinya arah kiblat, sebagaimana mungkin baginya untuk mengetahuinya dengan melihat masjid.<br />6. Kami mendengar banyak orang yang melafazkan (mengucapkan) niat saat hendak shalat, apa hukumnya? apakah perbuatan tersebut ada landasan syar’inya?<br />Jawab: Tidak terdapat dalil dalam syariat tentang mengucapkan niat, tidak juga terdapat riwayat dari Nabi dan dari para shahabat bahwa mereka mengucapkan niat saat hendak shalat. Tempat niat hanyalah di hati, berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ باِلنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ))<br />“Sesungguhnya setiap amalan berdasarkan niatnya, dan bagi setiap orang (dibalas sesuai) apa yang dia niatkan“(Muttafaq alaih, dari hadits Amirul Mukminin Umar bin Khattab ).<br />7. Kami menyaksikan sebagian orang yang berdesak-desakan di Hijir Ismail agar dapat shalat didalamnya, apa hukum melakukan shalat didalamnya? apakah terdapat keistimewaan pada perbuatan tersebut?<br />Jawab: Shalat di Hijir Ismail termasuk sunnah, karena dia bagian dari Ka’bah, dan terdapat riwayat shahih dari Nabi , bahwa beliau masuk kedalam Ka’bah pada saat terjadinya Fathu Makkah dan shalat didalamnya dua raka’at” (Muttafaq alaih ).<br />Juga terdapat riwayat dari Rasulullah bahwa dia berkata kepada Aisyah radhialluanha, saat hendak memasuki Ka’bah “Shalatlah dalam Hijir (Ismail), karena dia termasuk Ka’bah ".<br />Adapun tentang pelaksanaan shalat fardhu, maka sebagai tindakan yang lebih hati-hati (ihtiyath) tidak dilaksanakan didalam Ka’bah atau dalam Hijir Isma’il, karena Rasulullah tidak melakukan hal tersebut, bahkan sebagian ulama ada yang berkata, perbuatan tersebut tidak sah karena dia termasuk Baitullah.<br />Dengan demikian dapat diketahui bahwa pelaksanaan shalat fardhu hendaknya dilakukan di luar Ka’bah dan Hijir Ismail, sebagai tindakan mencontoh Rasulullah dan keluar dari perbedaan pendapat para ulama yang mengatakannya tidak sah. Semoga Allah memberikan taufiq-Nya. <br />8. Sebagian wanita tidak dapat membedakan antara darah haidh dan istihadhah, sebab kadang-kadang darah tersebut keluar secara terus menerus, maka dia berhenti shalat selama keluarnya darah tersebut, bagaimanakah hukum yang demikian itu?<br />Jawab: Haidh adalah darah yang Allah tetapkan untuk kaum wanita setiap bulan pada umumnya, sebagaimana riwayat yang terdapat dalam hadits shahih.<br />Adapun bagi wanita yang mendapatkan istihadhah, ada tiga kondisi:<br />Pertama: Jika dia baru pertama kali mengalami hal tersebut, maka hendaknya setiap bulan -selama darah itu ada- tidak melakukan shalat, puasa dan bersetubuh dengan suaminya sehingga datangnya masa suci, jika kondisi tersebut (keluarnya darah) berlangsung selama lima belas hari atau kurang menurut jumhur ulama. <br />Kedua: Jika keluarnya darah secara terus menerus lebih dari lima belas hari, maka hendaknya dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari dengan membandingkan wanita lain yang lebih mirip dengannya (usia atau fisiknya) dari kerabatnya jika dia tidak dapat membedakan antara darah haid atau yang lainnya, tetapi jika dia mampu membedakannya, maka dia tidak boleh shalat dan puasa serta bersetubuh dengan suaminya selama mendapati darah yang dapat dibedakannya karena warnanya yang hitam atau bau, dengan syarat, hal tersebut tidak berlangsung lebih dari lima belas hari.<br />Ketiga: Jika dia memiliki waktu haid tertentu, maka dia hitung masa haidnya selama waktu tersebut, dan setelah berakhir dia mandi dan berwudhu setiap kali masuk waktu shalat jika darahnya masih tetap keluar dan boleh bagi suaminya untuk menggaulinya sampai datang waktu haid berikutnya pada bulan kemudian. <br />Inilah ringkasan dari beberapa hadits nabi tentang wanita mustahadhah, dan telah diterangkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Bulughul Maram dan Ibnu Taimiyah rahimahumallah dalam kitab Al Muntaqa.<br /><br />9. Jika seseorang tidak melakukan shalat pada waktunya -zuhur misalnya-, kemudian dia baru ingat saat shalat Ashar sedang dilaksanakan, apakah dia ikut berjamaah dengan niat Ashar atau dengan niat Zuhur? Atau shalat Zuhur sendirian dahulu kemudian shalat Ashar?<br /> Apakah maksudnya ucapan para fuqaha' “Jika dikhawatirkan shalat yang sedang ada waktunya tidak dapat dilakukan maka gugurlah urutannya” apakah kekhawatiran tidak mendapatkan jama’ah menggugurkan urutan shalat?<br />Jawab: Yang benar menurut syariat bagi orang yang mengalami hal tersebut, hendaknya dia shalat bersama jamaah dengan niat shalat Zuhur, kemudian setelah itu shalat Ashar, karena wajibnya menjaga urutan shalat (Zuhur didahulukan dari Ashar dan seterusnya), dan hal tersebut tidak gugur hanya karena khawatir tidak mendapatkan jamaah.<br />Adapun ucapan para fuqaha' -rahimahumullah- “jika dikhawatirkan keluarnya waktu shalat yang ada maka gugurlah urutannya” maksudnya adalah: Bagi orang yang terlewat dari waktu shalat tertentu, maka (jika ingin mengqadanya), dia harus melakukannya sebelum melakukan shalat yang sedang ada waktunya, tetapi jika waktu shalat tersebut sempit maka shalat yang sedang ada waktunya tersebut dia dahulukan, misalnya: Seseorang belum melakukan shalat Isya, dan dia baru ingat sesaat sebelum terbitnya matahari padahal saat itu dia belum shalat Shubuh, maka dia shalat Shubuh dahulu sebelum hilang waktunya, karena waktu tersebut telah ditetapkan untuk shalat Shubuh, setelah itu dia mengqadha shalatnya.<br />10. Banyak wanita yang menganggap remeh saat melakukan shalat, ada yang tampak pergelangan tangannya atau sedikit darinya, begitu juga dengan kakinya, bahkan kadang sebagian betisnya, apakah shalat seperti itu sah?<br />Jawab: Wajib bagi seorang wanita merdeka dan baligh untuk menutup seluruh badannya dalam shalat, kecuali wajah dan telapak tangannya, sebab semua itu adalah aurat, jika seorang wanita shalat sementara ada yang tampak sedikit dari auratnya, seperti betisnya, kakinya atau sebagian kepalanya maka shalatnya tidak sah, berdasarkan hadits nabi :<br />(( لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ ))<br />“Allah tidak menerima shalatnya wanita yang sudah haidh (baligh) kecuali dengan khimar (penutup kepala/jilbab)” (Riwayat Ahmad dan ahlussunan kecuali An-Nasai dengan sanad yang shahih). Yang dimaksud wanita yang sudah haidh (حائض) adalah wanita baligh.<br />Juga berdasarkan hadits Rasulullah <br />(( الْـمَرْأَةُ عَوْرَةٌ ))<br />“Wanita adalah aurat "<br />Juga berdasarkan riwayat Abu Daud rahimahullah dari Ummu Salamah radhiyallahuanha, dari Rasulullah , dia (Ummu Salamah) bertanya kepada Rasulullah tentang wanita yang shalat dengan mengenakan baju dan kerudung tanpa mengenakan kain, maka beliau bersabda: “jika bajunya lebar dan menutup kedua kakinya (maka shalatnya sah)”, Al Hafiz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Bulughul Maram, para imam menshahihkan mauqufnya hadits ini kepada Ummu Salamah. Jika terdapat orang yang bukan mahram didekatnya maka dia wajib juga menutup wajah dan kedua telapak tangannya.<br />11. Jika seorang wanita suci dari haidh pada waktu Ashar atau Isya, apakah dia juga harus shalat Zuhur (bersama shalat Ashar) dan shalat Maghrib (bersama shalat Isya), dengan dasar bahwa masing-masing shalat tersebut dapat dijama’?<br />Jawab: Jika seorang wanita suci dari haidh atau nifas pada waktu Ashar maka dia wajib melakukan shalat Zuhur dan Ashar sekalian menurut pendapat yang paling shahih dari dua pendapat ulama, karena waktu kedua shalat tersebut pada saat ada halangan adalah satu seperti bagi musafir atau orang sakit dan si wanita tersebut ma’zur (berhalangan) karena belum datangnya masa suci, demikian juga jika dia suci pada waktu Isya maka wajib baginya shalat maghrib dan Isya dengan jama’ sebagaimana yang terdahulu, dan untuk hal ini sejumlah sahabat telah memfatwakannya.<br /><br />12. Apa hukumnya shalat di masjid jika didalamnya terdapat kuburan atau di halamannya atau di kiblatnya?<br />Jawab: Jika didalam masjid terdapat kuburan, maka shalat didalamnya tidak sah, sama saja apakah kuburannya berada dibelakang orang yang shalat atau didepannya atau disebelah kanannya atau kirinya, berdasarkan hadits nabi :<br />(( لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ )) متفق عليه.<br />“Allah melaknat orang Yahudi dan Nasrani, karena mereka menjadikan kuburan para Nabinya sebagai masjid " (Muttafaq alaih).<br />Juga berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوْا اْلقُبُوْرَ مَسَاجِدَ فَإِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ )) <br />“Ketahuilah bahwa orang-orang sebelum kamu telah menjadikan kuburan para nabinya dan orang-orang shaleh sebagai masjid, ketahuilah, janganlah kalian menjadikan masjid sebagai kuburan, sesungguhnya aku melarang yang demikian itu" (Riwayat Muslim dalam Ash-Shahih).<br />Dan karena shalat di masjid yang terdapat kuburannya akan menjadi sarana kesyirikan dan ghuluw (pemujaan yang berlebih-lebihan terhadap seseorang -pent) maka wajib mencegah hal seperti itu berdasarkan kedua hadits yang telah disebutkan dan riwayat yang lainnya yang senada serta sadduzzari’ah (menutup celah terjadinya kemunkaran/ syirik).<br />13. Banyak pekerja yang mengakhirkan shalat Zuhur dan Ashar hingga malam hari dengan alasan mereka sibuk dengan pekerjaannya atau baju mereka najis atau tidak bersih, bagaimana pendapat Syaikh?<br />Jawab: Tidak boleh bagi setiap muslim dan muslimah mengabaikan shalat fardhu dari waktunya, justru wajib bagi mereka melaksanakannya sesuai dengan waktunya berdasarkan kemampuannya.<br />Dan pekerjaan bukanlah halangan untuk meninggalkan shalat, begitu juga baju yang najis atau kotor juga bukan halangan.<br />Waktu-waktu (pelaksanaan) shalat hendaklah disisihkan dari pekerjaan, bagi seorang pekerja pada waktu tersebut dapat mencuci bajunya yang kena najis atau menggantinya dengan baju yang suci. Adapun pakaian yang kotor tidak mengapa dipakai untuk shalat jika kotornya itu bukan terdiri dari najis atau terdapat bau yang tidak sedap sehingga mengganggu orang lain yang sedang shalat. Jika kotorannya itu mengganggu orang yang shalat baik karena dirinya atau karena baunya, maka wajib baginya untuk mencucinya sebelum shalat atau menggantinya dengan baju yang bersih sehingga dia dapat melakukan shalat berjamaah.<br />Boleh bagi orang yang berhalangan secara syar’i -seperti orang sakit atau musafir- untuk menggabung (jama’) shalat Zuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya disalah satu waktu keduanya. Sebagaimana terdapat riwayat yang shahih mengenai hal tersebut dari Rasulullah , demikian juga boleh menjama’ pada saat hujan dan berlumpur yang memberatkan manusia. <br />14. Jika seseorang mendapatkan najis pada bajunya setelah mengucapkan salam dari shalatnya, apakah dia harus mengulanginya?<br />Jawab: Siapa yang shalat sementara di badannya atau bajunya terdapat najis sedangkan dia tidak mengetahuinya kecuali setelah shalat, maka shalatnya shahih menurut salah satu pendapat terkuat diantara dua pendapat para ulama, begitu juga jika dia telah mengetahuinya terlebih dahulu kemudian lupa saat pelaksanaan shalat dan baru ingat setelah selesai melaksanakan shalat, maka shalatnya sah, berdasarkan firman Allah ta’ala:<br /> <br /> “Ya Tuhan kami janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah " (Al-Baqarah: 286 ).<br />Begitu juga terdapat riwayat yang shahih dari Rasulullah , bahwa saat beliau shalat suatu hari terdapat pada terompahnya kotoran, kemudian malaikat Jibril memberitahunya akan hal tersebut, maka beliau melepas terompah tersebut lalu meneruskan shalatnya dan tidak mengulanginya dari awal. Dan hal ini termasuk kemudahan dan rahmat dari Allah ta’ala kepada hamba-Nya. <br />Adapun jika seseorang shalat sedangkan dia lupa bahwa dirinya memiliki hadats, maka dia harus mengulangi shalatnya berdasarkan kesepakatan para ulama. Sebagaimana hadits Rasulullah :<br />(( لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طَهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ )) أخرجه مسلم في صحيحه.<br />“Tidak diterima shalat seseorang tanpa bersuci dan sedekah yang berasal dari barang (hasil)tipuan" (Riwayat Muslim dalam Shahihnya)<br />Begitu juga berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ )) متفق على صحته.<br />“Tidak diterima shalat salah seorang diantara kamu jika dia memiliki hadats sampai dia berwudhu” (Muttafaq alaih).<br />15. Banyak orang yang melalaikan shalat, bahkan sebagian dari mereka telah meninggalkan shalat secara total, apakah hukum terhadap mereka itu ? Dan apakah kewajiban seorang muslim terhadap mereka, terutama kerabat, seperti; orang tua, anak, istri, dan yang semisalnya ?<br />Jawab: Melalaikan shalat merupakan kemungkaran yang besar dan termasuk sifat orang-orang munafik, sebagaimana firman Allah ta’ala:<br /> <br />“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas, Mereka mermaksud riya (dengan shalat) dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah keculali sedikit sekali" (An-Nisaa': 142).<br />Allah juga berfirman tatkala menerangkan sifat-sifat mereka:<br /> <br />“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakam sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan" (At-Taubah: 54).<br />Rasulullah bersabda:<br />(( أَثْقَلُ الصَّلاَةَ عَلَى المُنَافِقِيْنَ صَلاَةُ العِشَاءِ وَصَلاَةُ الفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِيْهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْواً )) متفق على صحته. <br />“Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat ‘Isya dan shalat Fajar (Shubuh), dan seandainya mereka mengetahui apa yang terkandung didalamnya niscaya mereka akan mendatanginya (untuk melakukan kedua shalat tersebut) walaupun dalam keadaan merangkak" (Muttafaq alaih).<br />Maka merupakan kewajiban setiap muslim baik laki-laki ataupun perempuan untuk menjaga shalatnya yang lima waktu dan melakukannya dengan thuma’ninah (tenang), bersegera kepadanya dan khusyu' saat melaksanakannya. Allah berfirman:<br /> <br />“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman: (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya" (Al-Mu’minun: 1-2).<br />Begitu juga terdapat riwayat yang kuat dari Rasulullah bahwa dia memerintahkan seseorang untuk mengulangi shalatnya, karena tidak thuma’ninah. Khusus bagi kaum laki-laki agar memelihara shalat berjamaah, bersama saudara-saudaranya di rumah-rumah Allah yaitu masjid, berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ )) أخرجه ابن ماجه و الدارقطنى وابن حبان والحاكم بإسناد صحيح. <br />"Siapa yang mendengar azan kemudian dia tidak datang (untuk shalat berjamaah) maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada halangan" (Riwayat Ibnu Majah, Daruquthni, Ibnu Hibban dan Hakim dengan sanad yang shahih).<br />Ibnu Abbas radiallahu'anhuma ditanya tentang halangan apa yang dimaksud, dia menjawab:” takut dan sakit”.<br />Dan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah , dari Rasulullah , bahwa datang kepadanya seorang laki-laki yang buta seraya berkata: “Wahai Rasulullah, tidak ada yang menuntunku ke masjid, apakah ada keringanan bagiku untuk shalat di rumahku? maka Rasulullah memberinya keringanan, tapi kemudian beliau memanggilnya dan bertanya: “Apakah engkau mendengarkan seruan untuk shalat (azan)? dia menjawab, “Ya”, beliau bersabda:”Sambutlah (dengan pergi ke masjid untuk shalat berjamaah -pent).”<br />Dalam As-Shahihain dari Abu Hurairah , dari Rasulullah , beliau bersabda: “Aku sungguh sangat ingin sekali memerintahkan agar shalat dilaksanakan, kemudian ada seseorang yang menjadi imam, sementara aku bersama beberapa orang berangkat dengan membawa seikat kayu bakar dan mendatangi sekelompok kaum yang tidak menghadiri shalat (berjamaah) lalu aku membakar rumah-rumah mereka ".<br />Beberapa hadits yang shahih tersebut menunjukkan bahwa shalat berjamaah bagi kaum laki-laki merupakan kewajiban yang paling besar dan bagi yang meninggalkannya layak untuk mendapatkan hukuman yang berat. Semoga Allah selalu memperbaiki keadaan kaum muslimin seluruhnya dan memberi mereka taufiq atas segala apa yang diridhai-Nya.<br />Adapun meninggalkannya sama sekali atau sebagian waktunya saja, maka menurut pendapat yang terkuat diantara dua pendapat ulama, hal tersebut merupakan kekufuran yang besar baik pria maupun wanita, walaupun pelakunya tidak mengingkari kewajibannya, berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالشِّرْكِ تَرْكُ الصَّلاَةِ ))<br />“Antara seseorang dan kekufuran serta kemusyrikan adalah meninggalkan shalat”. (Riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya).<br />(( العَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ )) <br />“Janji antara kita dengan mereka (orang kafir) adalah shalat, siapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir". (Riwayat Imam Ahmad dan Ahlussunan yang empat dengan sanad yang shahih) dan masih banyak lagi hadits yang semakna dengannya.<br />Adapun orang yang mengingkari kewajibannya baik laki-laki maupun wanita, maka sesungguhnya dia telah kafir dengan kekufuran yang besar berdasarkan kesepakatan para ulama, walaupun dia melakukan shalat. Semoga Allah melindungi kita dan semua kaum muslimin dari hal tersebut, sesungguhnya Dia adalah sebaik-baik pelindung. <br />Merupakan kewajiban kaum muslimin seluruhnya untuk saling menasihati dan memberi wasiat dalam kebenaran dan saling tolong- menolong dalam kebaikan dan takwa, diantaranya adalah menasihati orang yang tidak shalat berjamaah atau menyepelekannya bahkan sewaktu-waktu meninggalkannya. Mengingatkan mereka akan kemurkaan dan hukuman-Nya. Dan kewajiban kedua orang tua, saudara-saudara dan kaum kerabatnya untuk menasihatinya secara terus menerus sehingga dia mendapatkan hidayah dari Allah dan istiqamah di jalan-Nya. Demikian juga halnya bagi wanita yang menyepelekan shalat atau meninggalkannya, wajib untuk dinasihati secara terus menerus dan mengingatkannya akan kemurkaan Allah serta hukuman-Nya dan mengucilkannya jika dia tidak mengindahkannya padahal dia mampu melakukannya, dan menghukumnya dengan cara yang layak. Karena semua itu adalah termasuk tolong menolong dalam kebaikan dan takwa dan Amar ma’ruf nahi munkar yang Allah wajibkan bagi semua hamba-Nya, baik pria ataupun wanita, berdasarkan firman Allah :<br /> • • <br />“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberikan rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha Bijaksana. " (At-Taubah: 71).<br />Juga berdasrkan hadits Rasulullah :<br />(( مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِيْ المَضَاجِعِ ))<br />“Perintahkanlah anak kalian untuk shalat saat berusia tujuh tahun dan pukullah mereka (jika tidak melakukan shalat) pada usia sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka."<br />Jika anak-anak pada usia tujuh tahun sudah diperintahkan shalat, dan boleh dipukul jika tidak melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, maka orang yang sudah baligh lebih utama untuk diperintahkan shalat dan dipukul jika tidak melaksanakannya setelah dinasihati secara terus menerus.<br />Adapun saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, adalah berdasarkan firman Allah :<br /> • <br />“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan yang saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan saling nasihat menasihati dalam kesabaran. " ( Al-‘Ashr: 1-3).<br />Dan siapa yang meninggalkan shalat setelah masa baligh serta tidak menerima nasihat, maka perkaranya dibawa ke pengadilan syar’i, agar diperintahkan untuk bertaubat, jika tidak bertaubat maka dihukum mati. Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan memberikan kepada mereka pemahaman terhadap agamanya dan menuntun mereka untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa serta amar ma’ruf nahi munkar dan saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, sesungguhnya Dia Maha Pemberi lagi Mulia. <br />16. Seseorang mengalami kecelakaan kendaraan atau semisalnya sehingga ia mengalami pendarahan di otak atau tidak sadarkan diri dalam beberapa hari, apakah wajib bagi orang tersebut meng-qadha shalatnya jika telah sadar?<br />Jawab: Jika masanya sebentar seperti tiga hari atau lebih wajib baginya meng-qadha shalatnya, karena pingsan dalam masa seperti itu menyerupai tidur yang tidak menggugurkan qadha, dan telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat -radiyallahuanhum- bahwa mereka mengalami pingsan kurang dari tiga hari, maka mereka mengqadha (shalatnya).<br />Adapun jika masanya melebihi tiga hari, maka tidak wajib baginya meng-qadha, berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ: عَن النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَالصَّغِيْرِ حَتَّى يَبْلُغَ وَالمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ ))<br />“Al-Qalam di angkat atas tiga perkara: Dari orang yang tertidur hingga dia bangun, anak kecil hingga baligh, dan orang gila hingga sadar." <br />Adapun orang yang pingsan dalam waktu yang lama menyerupai orang gila dalam hal hilang akalnya. Wallahu waliyyuttaufiq.<br />17. Banyak orang yang sakit menganggap remeh terhadap shalatnya dan berkata: Jika aku sembuh aku akan mengqadha shalat, sementara sebagian lagi berkata: Bagaimana saya dapat shalat sedangkan saya tidak dapat bersuci dan membersihkan diri dari najis. Bagaimana sebaiknya kita mengarahkan mereka?<br />Jawab: Selama akal masih berfungsi, sakit bukan halangan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat hanya karena alasan tidak dapat bersuci. Maka tetap merupakan kewajiban bagi orang sakit untuk shalat sesuai dengan kemampuannya dan bersuci dengan air jika dia mampu untuk itu, jika dia tidak mampu menggunakan air maka hendaknya dia tayammum dan shalat. Dia juga harus menghilangkan najis yang terdapat di bajunya atau badannya dan mengganti baju yang terdapat najis dengan baju yang suci dari najis pada saat melaksanakan shalat, jika dia tidak mampu untuk membersihkan najis atau mengganti baju yang terkena najis dengan baju yang suci, maka gugur baginya semua kewajiban-kewajiban itu, maka dia dapat melakukan shalat sebagaimana adanya, berdasarkan firman Allah :<br /> <br />“Bertakwalah kamu semampu kamu” (At-Taghabun: 15).<br />Dan berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَاتَّقُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ )) متفق عليه <br />“Jika aku memerintahkan sesuatu perkara, maka patuhilah semampu kalian” (Muttafaq Alaih).<br />Juga hadits Rasulullah kepada ‘Imran bin Husain –radiyallahu'anhuma- tatkala dia mengadukan tentang penyakitnya:<br />(( صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ )) رواه البخاري في صحيحه ورواه النسائي بإسناد صحيح وزاد: (( فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَمُسْتَلْقِيًا ))<br />“Shalatlah kamu dengan berdiri, jika tidak mampu, maka duduklah, jika tidak mampu, maka hendaknya berbaring (dengan posisi miring bertumpu pada sisi tubuh sebelah kanan)." (Riwayat Bukhari dalam Shahihnya dan riwayat An-Nasai dengan sanad yang shahih dan dengan tambahan: “ Jika tidak mampu maka terlentanglah". <br /><br />18. Orang yang meninggalkan shalatnya dengan sengaja, baik untuk satu waktu atau lebih, kemudian mendapatkan taufiq dari Allah dan bertaubat, apakah dia mengqada shalat yang ditinggalkannya tersebut?<br />Jawab: Dia tidak diharuskan mengqadha apa yang dia tinggalkan dengan sengaja menurut pendapat yang paling kuat diantara dua pendapat ulama, karena meninggalkannya dengan sengaja membuatnya keluar dari wilayah Islam dan menjadikannya kelompok orang-orang kafir. Dan orang kafir tidak diwajibkan meng-qadha shalat yang dia tinggalkan saat dia kufur, berdasarkan hadis Rasulullah :<br />(( بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالشِّرْكِ تَرْكُ الصَّلاَةِ )) رواه مسلم في الصحيح عن جابر بن عبد الله <br />“Antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat." (Riwayat Muslim dalam Shahihnya dari Jabir bin Abdullah )<br />Dan juga berdasarkan hadits Rasulullah :<br /> (( العَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ )) أخرجه الإمام أحمد وأهل السنن بإسناد صحيح عن بريدة بن الحصيب .<br />“Janji antara kita dengan mereka adalah shalat, maka siapa yang meninggalkannya dia telah kafir” (Riwayat Imam Ahmad dan Ahlussunan dengan sanad yang shahih dari Buraidah bin Al-Hushaib ).<br />Begitu juga Rasulullah tidak memerintahkan orang-orang kafir yang masuk Islam untuk mengqadha shalatnya yang mereka tinggalkan, begitu juga halnya dengan para sahabat radiallahuanhum, mereka tidak memerintahkan orang-orang murtad yang kembali masuk Islam untuk mengqadha shalatnya. Akan tetapi jika seseorang mengqadha shalat yang dia tinggalkan dengan sengaja tetapi dia tidak mengingkari wajibnya shalat, maka tidaklah mengapa sebagai langkah kehati-hatian (ihtiyath) dan untuk keluar dari khilaf dengan mereka yang berkata: ” tidak kufur karena meninggalkan shalat dengan sengaja jika tidak mengingkari kewajibannya ” dan mereka adalah mayoritas para ulama. Wallahu waliyyuttaufiq.<br /> <br /> <br /> <br /><br />AZAN<br /><br />19. Sebagian orang ada yang berkata, "jika azan tidak dilaksanakan pada awal waktu, maka tidak perlu lagi azan, karena fungsi azan adalah untuk memberitahu akan masuknya waktu shalat, bagaimanakah pendapat tuan yang mulia dalam masalah ini, dan apakah azan tetap disyariatkan bagi orang yang sendirian ditengah padang pasir?<br />Jawab: Jika azan tidak dilakukan pada awal waktu, maka tidak disyariatkan untuk azan lagi sesudahnya jika di daerah tersebut ada mu’azzin lainnya yang telah melakukannya, adapun jika terlambatnya sebentar saja, maka tidak mengapa untuk melakukan azan.<br />Adapun jika dalam suatu daerah tidak ada mu’azzin selainnya, maka dia harus melakukan azan meskipun sudah terlambat beberapa saat. Karena hukum azan adalah fardhu kifayah, sementara tidak ada selainnya yang melakukannya, maka wajib baginya untuk melakukannya dan dia bertanggung jawab untuk itu, karena orang-orang kebanyakan menantinya.<br />Sedangkan bagi orang yang bepergian, maka disyariatkan baginya azan meskipun cuma sendirian. Sebagaimana terdapat dalam hadits shahih dari Abu Sa’id , saat dia berkata kepada seseorang: “Jika engkau berada saat mengembala kambing atau di tempat sepi, maka angkatlah suara kalian untuk melakukan azan, karena siapa saja yang mendengar suara mu’azzin baik jin maupun manusia atau apa saja, mereka akan menjadi saksi baginya pada hari qiamat”. Ucapan tersebut maushul kepada Rasulullah . Begitu juga halnya dengan hadits-hadits yang lainnya yang secara umum berbicara tentang disyari’atkannya azan dan keutamaan-keutamaannya. <br />20. Apakah wajib bagi wanita untuk melakukan azan dan iqomat, baik dalam keadaan tidak bepergian seorang diri atau di tanah lapang atau bersama-sama?<br />Jawab: Tidak disyari’atkan bagi wanita untuk melakukan azan dan iqamat, baik dalam keadaan menetap atau bepergian, sesungguhnya azan dan iqamat hanyalah untuk kaum laki-laki. Hal tersebut telah dinyatakan dalam beberapa hadits shahih dari Rasulullah .<br />21. Jika seseorang lupa untuk melakukan iqamat dan kemudian melakukan shalat, apakah hal tersebut akan berpengaruh pada hukum shalatnya, baik dia dalam keadaan sendiri atau bersama jamaah?<br />Jawab: Jika seseorang shalat sendirian atau berjamaah tanpa melakukan iqamat (sebelumnya), maka shalatnya tetap sah, dan bagi mereka yang melakukan hal tersebut hendaknya bertaubat kepada Allah .<br />Begitu juga halnya jika mereka shalat tanpa melakukan azan, maka shalatnya sah, karena azan dan iqamat termasuk fardhu kifayah dan keduanya diluar syarat sah shalat.<br />Dan bagi siapa yang meninggalkan azan dan iqamat hendaknya bertaubat kepada Allah atas perbuatannya itu, karena fardhu kifayah jika semua orang meninggalkannya maka seluruhnya akan berdosa, akan tetapi jika sebagian melaksanakannya maka gugurlah kewajiban dan dosa bagi yang lainnya, baik dalam keadaan menetap atau sedang bepergian, baik di desa atau kota atau pedalaman. Semoga Allah memberi taufiq kepada seluruh kaum muslimin atas apa saja yang diridhai-Nya.<br />22. Apa dalilnya ucapan azan dalam shalat fajar:<br />الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِن النَّوْمِ<br />dan apakah pendapat tuan syaikh terhadap mereka yang mengucapkan:<br />حَيَّ عَلَى خَيْرِ العَمَل <br /> apakah ada dalilnya?<br />Jawab: Terdapat riwayat yang kuat dari Rasulullah , bahwa beliau memerintahkan Bilal dan Abu Mahzurah tentang hal tersebut (yaitu ucapan الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِن النَّوْمِ dalam shalat shubuh), sebagaimana terdapat dalam riwayat Anas , bahwa beliau berkata: “Merupakan sunnah dalam azan shalat fajar, seorang mu’azin mengucapkan الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِن النَّوْمِ “. Kalimat ini diucapkan dalam azan yang dikumandangkan saat terbitnya fajar menurut pendapat yang paling shahih diantara dua pendapat para ulama dan dinamakan azan pertama jika dikaitkan dengan iqamat, karena iqamat disebut juga azan kedua, sebagaimana hadits Rasulullah , بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ الصَّلاَةُ (Diantara dua azan terdapat shalat), dan terdapat riwayat yang shahih diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah radiallahuanha yang menunjukkan hal tersebut.<br />Adapun ucapan sebagian kalangan Syi’ah dalam azan:<br /> حَيَّ عَلَى خَيْرِ العَمَل , itu adalah bid’ah dan tidak terdapat dalilnya dalam hadits-hadits yang shahih, semoga Allah memberikan petunjuk kepada mereka dan kepada seluruh kaum muslimin untuk mengikuti sunnahnya dan menggenggamnya erat-erat, karena itu merupakan jalan keselamatan dan kebahagiaan bagi seluruh ummat.<br />23. Terdapat riwayat bahwa Rasulullah , mengumandangkan dalam shalat Kusuf (shalat gerhana)<br /> " الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ ", apakah hal tersebut diucapkan sekali saja atau disyari’atkan berulang-ulang, berapakah batasan untuk mengulanginya?<br /><br />Jawab: Terdapat riwayat dari Rasulullah , bahwa beliau memerintahkan untuk mengumandangkan dalam shalat Kusuf ucapan " الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ ", Disunnahkan bagi yang mengumandangkannya untuk mengulang-ulangnya sampai dia meyakini bahwa orang-orang telah mendengarnya, dan tidak terdapat batasan jumlahnya sebagaimana yang kami ketahui. Semoga Allah memberikan taufiq-Nya.<br /> <br /><br />TATA CARA SHALAT<br /><br />24. Banyak saudara-saudara kita yang sangat ketat dalam masalah sutrah (pembatas shalat), sampai mereka menunggu adanya sutrah jika tidak didapatkannya tiang lowong (dari orang yang shalat) yang terdapat dalam masjid. Mereka juga menyalahkan orang-orang yang shalat tanpa sutrah. Sementara sebagian yang lainnya menganggap remeh perkara ini. Manakah yang benar dalam masalah ini, dan apakah garis dapat dijadikan sutrah jika tidak terdapat yang lain? adakah dalilnya?<br />Jawab: Sutrah dalam shalat merupakan sunnah mu’akkadah dan bukan kewajiban dan jika tidak terdapat sesuatu yang tegak, maka garis dapat menjadi penggantinya. Dalil dari apa yang kami ucapkan adalah hadits Rasulullah :<br />(( إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا )) رواه أبو داود بإسناد صحيح.<br />“Jika salah seorang diantara kalian shalat, maka hendaklah ia shalat dengan sutrah dan mendekat kepadanya.“ (Riwayat Abu Daud dengan sanad yang shahih).<br />Dan terdapat juga riwayat dari Rasulullah:<br />(( يَقْطَعُ صَلاَةَ المَرْءِ المُسْلِمِ إِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ مُؤَخَّرِ الرَّحَلِ: المَرْأَةُ وَالحِمَارُ وَالكَلْبُ الأَسْوَدُ )) رواه مسلم في صحيحه.<br />“Jika dihadapan seseorang tidak terdapat seumpama ujung pelana (sebagai sutrah), maka shalatnya akan terputus oleh: wanita, keledai dan anjing hitam. “ (Riwayat Muslim dalam Shahihnya).<br />Juga hadits Rasulullah :<br />(( إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصَا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَخُطَّ خَطًّا ثُمَّ لاَ يَضُرُّهُ مَنْ مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ )) رواه الإمام أحمد وابن ماجه بإسناد حسن.<br />“Jika salah seorang diantara kalian shalat, maka hendaklah menjadikan sesuatu berada dihadapannya, jika tidak ada maka tancapkanlah tongkat, jika tidak ada maka buatlah garis, kemudian setelah itu tidak akan merusak (shalatnya) jika ada yang lewat didepannya.“ (Riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih).<br />Berkata Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam kitabnya Bulughul Maram: Terdapat riwayat dari Rasulullah bahwa beliau shalat kadang-kadang tidak menggunakan sutrah, maka hal tersebut menunjukkan bahwa masalah ini bukanlah merupakan kewajiban. Dikecualikan dalam masalah ini jika shalat di Masjidil Haram, maka bagi yang shalat tidak perlu menggunakan sutrah, sebagaimana riwayat Ibnu Zubair , bahwa dia shalat di Masjidil Haram tanpa menggunakan sutrah, sedangkan orang-orang thawaf berada didepannya, begitu juga terdapat riwayat yang disandarkan kepada Rasulullah yang menunjukkan hal tersebut akan tetapi dengan sanad yang lemah.<br />Alasan lainnya adalah karena Masjidil Haram merupakan tempat yang selalu penuh sesak dan tidak mungkin menghindari lalu lalangnya orang didepan orang yang shalat, maka gugurlah syari’at sutrah sebagaimana yang telah disebutkan, hal serupa juga berlaku bagi Masjid Nabawi pada saat penuh sesak, demikian juga tempat yang lainnya jika penuh sesak berdasarkan firman Allah :<br /> <br />“Maka bertakwalah kalian semampu kalian.“ (At-Taghabun: 16).<br />Juga berdasarkan hadits Rasulullah : <br />(( إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ )) متفق على صحته.<br />“Jika aku memerintahkan kalian, maka lakukanlah semampu kalian.“ (Muttafaq alaih).<br /><br />25. Kami menyaksikan banyak orang yang meletakkan tangannya dibawah pusarnya dan sebagian yang lainnya diatas dadanya dan mereka mengingkarinya dengan sangat bagi orang yang meletakkan tangannya dibawah pusarnya. Sementara yang lainnya meletakkan dibawah janggutnya, dan sebagian yang lainnya menjulurkan tangannya. Manakah yang benar?<br />Jawab: Sunnah yang shahih menunjukkan bahwa yang paling utama bagi orang shalat saat dia berdiri meletakkan telapak tangan kanannya diatas telapak tangan kirinya diatas dadanya sebelum ruku’ dan sesudahnya. Terdapat riwayat dalam hadits Wa’il bin Hujr dan Qubaishah bin Halab Ath-Tha’i dari bapaknya, begitu juga terdapat riwayat dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy . Adapun meletakkan kedua tangan dibawah pusar terdapat dalam hadits dha’if dari Ali , sedangkan menjulurkannya atau meletakkannya dibawah janggut bertentangan dengan sunnah. Wallahu waliyyuttaufiq.<br />26. Banyak saudara-saudara kita yang sangat mengutamakan “Jalsah Istirahah” (duduk istirahat antara bangun dari sujud dan berdiri) dan menentang siapa saja yang meninggalkannya. Apakah disyariatkan bagi imam dan ma’mum juga bagi yang shalat sendirian?<br />Jawab: Duduk istirahat disunnahkan bagi imam dan ma’mum dan bagi yang shalat sendiri, bentuknya seperti duduk diantara dua sujud, yaitu duduk dengan sebentar dan tidak terdapat didalamnya zikir dan do’a dan siapa yang meninggalkannya tidaklah mengapa.<br />Hadits-hadits yang berbicara dalam masalah ini shahih dari Rasulullah , seperti hadits Malik bin Huwairits dan hadits Abi Humaid As-Sa’idy dan beberapa orang sahabat . Wallahu waliyyuttaufiq.<br />27. Bagaimana seorang muslim melakukan shalat dalam pesawat, apakah lebih utama baginya untuk shalat di pesawat pada awal waktu? Atau menunggu sampai pesawat mendarat pada akhir waktu?<br />Jawab: Wajib bagi setiap muslim dan muslimah yang berada dalam pesawat untuk melakukan shalat semampunya, jika mungkin baginya untuk shalat dalam keadaan berdiri dan dapat melakukan ruku’ dan sujud maka dia harus melakukannya, jika tidak dapat berdiri dia dapat melakukannya sambil duduk dan memberi isyarat untuk ruku’ dan sujud, jika dia mendapatkan tempat untuk shalat dengan berdiri daripada memberikan isyarat, maka wajib baginya untuk shalat dalam keadaan berdiri, berdasarkan firman Allah :<br /> <br />”Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.“ (At-Taghabun: 16)<br />Dan berdasarkan hadits Rasulullah kepada Imran bin Husain yang sedang sakit: “Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu duduklah, jika tidak mampu maka berbaringlah” (Riwayat Bukhari dalam Shahihnya dan An-Nasai dengan sanad yang shahih dan dengan tambahan:”Jika tidak mampu maka berbaringlah“. Yang paling utama baginya adalah shalat diawal waktu, jika dia tunda hingga akhir waktu supaya dapat shalat setelah mendarat, maka tidaklah mengapa berdasarkan umumnya dalil.<br />Dan hukum (shalat) dalam kendaraan, kereta dan kapal laut sama seperti pesawat.<br />28. Banyak orang yang melakukan gerakan dan perbuatan yang tidak berguna dalam shalat. Apakah ada batas tertentu bagi gerakan yang membatalkan shalat? Apakah batasan tiga kali gerakan berturut-turut ada dalilnya? Apa nasehat syaikh kepada mereka yang banyak melakukan gerakan dan perbuatan tak berguna tersebut?<br />Jawab: Wajib bagi seorang mu’min dan mu’minah untuk tenang dalam shalatnya dan meninggalkan perbuatan yang sia-sia, karena thuma’ninah (tenang dalam shalat) merupakan rukun dalam shalat sebagaimana terdapat riwayat dari Rasulullah , bahwa beliau memerintahkan orang yang tidak thuma’ninah dalam shalatnya untuk mengulanginya. Disyari’atkan bagi muslim dan muslimah untuk khusyu’ dalam shalatnya dan menghadirkan hati di hadapan Allah , berdasarkan firman-Nya:<br /> <br />“Beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu mereka yang khusyu’ dalam shalatnya.“ (Al-Mu’minun: 1-2).<br />Dimakruhkan untuk melakukan perbuatan tak berguna, baik dengan bajunya, janggutnya atau yang lainnya, dan jika gerakannya banyak dan berturut-turut maka -berdasarkan yang kami ketahui dari syari’at yang suci- hal tersebut diharamkan dan membatalkan shalat.<br />Tidak terdapat batasan tertentu dalam masalah ini, dan adanya pendapat yang membatasinya hanya tiga kali gerakan saja adalah pendapat yang lemah dan tidak memiliki dalil. Sebuah gerakan dapat dikatakan banyak dan sia-sia adalah berdasarkan keyakinan orang yang shalat, jika seorang yang shalat berkeyakinan bahwa dia melakukan gerakan yang banyak dan sia-sia secara terus menerus, maka dia harus mengulangi shalatnya jika shalatnya tersebut shalat fardhu, dan dia harus bertaubat dari perbuatannya itu. Dan bagi setiap muslim dan muslimah hendaknya memperhatikan shalatnya agar khusyu’ didalamnya serta meninggalkan perbuatan yang sia-sia walaupun cuma sedikit karena shalat merupakan perkara yang besar dan merupakan tiang Islam serta rukunnya yang paling besar setelah syahadatain dan merupakan perbuatan yang pertama kali dihisab bagi seorang hamba pada hari kiamat. Semoga Allah memberikan petunjuk bagi seluruh kaum muslimin agar dapat melaksanakan shalat sebagaimana yang diridhai-Nya.<br /><br />29. Apakah yang lebih utama meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan saat hendak melakukan sujud ataukah sebaliknya yang utama? Bagaimanakah menggabungkan antara kedua hadits yang berkaitan dengan masalah tersebut?<br />Jawab: Sunnah bagi orang yang shalat jika hendak sujud -menurut pendapat yang lebih kuat diantara dua pendapat para ulama- meletakkan terlebih dahulu kedua lututnya sebelum kedua tangannya jika dia mampu untuk itu, dan itu pendapat jumhur, berdasarkan hadits Wa’il bin Hujr , dan hadits-hadits semakna lainnya.<br />Sedangkan hadits Abu Hurairah , pada hakekatnya tidaklah bertentangan dengan hadits diatas bahkan mendukungnya karena Nabi dalam hadits tersebut melarang orang yang shalat untuk sujud sebagaimana unta yang hendak duduk, dan umum diketahui bahwa siapa yang sujud dengan mendahulukan tangannya maka dia menyerupai unta. Adapun ucapannya diakhir: “Hendaklah dia meletakkan kedua tangannnya sebelum kedua lututnya”, maka pemahaman yang paling dekat adalah terjadinya inqilab (terbalik) dalam riwayat hadits dikalangan para perawi, yang benar adalah: “Hendaklah dia meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya”, dengan demikian hadits-hadits yang ada dapat dikompromikan dan pertentangan dapat dihilangkan. Masalah ini telah disinggung oleh Ibnu Al-Qayyim rahimahullah dalam kitabnya "Zaadul Ma’ad".<br />Sedangkan orang yang lemah untuk mendahulukan kedua lututnya karena sakit atau sudah lanjut usia, maka tidak mengapa baginya untuk mendahulukan kedua tangannya dari kedua lututnya berdasarkan firman Allah :<br /> <br />“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian” (At-Taghabun: 16) dan berdasarkan hadits Rasulullah : “Apa yang aku larang maka jauhilah dan apa yang aku perintahkan maka lakukanlah semampu kalian “ (Muttafaq alaih).<br />30. Apa pendapat syaikh tentang berdehem dalam shalat, meniup dan menangis, apakah membatalkan shalat?<br />Jawab: Berdehem, meniup dan menangis tidak membatalkan shalat dan tidaklah mengapa dilakukan jika ada tuntutan untuk itu, karena Rasulullah berdehem ketika Ali datang meminta izin saat beliau sedang shalat.<br />Adapun menangis disyari’atkan dalam shalat begitu juga dalam hal lainnya jika sebabnya adalah khusyu' dan mengingat Allah tanpa dilebih-lebihkan. Terdapat riwayat shahih dari Rasulullah bahwa dia menangis dalam shalatnya, begitu juga halnya Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar Al-Faruq serta sahabat yang lainnya dan para tabiin sesudahnya.<br />31. Apa hukumnya lewat didepan orang yang shalat, dan apakah Masjidil Haram berbeda dari yang lainnya dalam masalah ini dan apa maksudnya orang yang lewat didepan orang shalat disebut memotong shalat? Apakah dia harus mengulanginya jika misalnya lewat didepannya anjing hitam atau wanita atau keledai?<br />Jawab: Hukum lewat didepan orang shalat atau antara orang shalat dan sutrahnya adalah haram berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( لَوْ يَعْلَمُ المَارُّ بَيْنَ يَدَي المُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَي المُصَلِّي )) متفق عليه.<br />“Seandainya orang yang lewat didepan orang shalat mengetahui apa hukumannya, niscaya lebih baik baginya menunggu selama empat puluh (masa) daripada melewati orang yang shalat.“(Muttafaq alaih).<br />Hal tersebut juga dapat memotong shalat, yaitu membatalkannya jika yang lewat didepannya wanita baligh atau keledai atau anjing hitam.<br />Sedangkan jika yang lewat bukan tiga kelompok tadi maka tidaklah memotong shalat akan tetapi hanya berkurang pahalanya berdasarkan hadits Rasulullah : <br />(( يَقْطَعُ صَلاَةَ المَرْءِ المُسْلِمِ إِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ مُؤَخَّرِ الرَّحَلِ: المَرْأَةُ وَالحِمَارُ وَالكَلْبُ الأَسْوَدُ )) رواه مسلم في صحيحه من حديث أبي ذر .<br />“Shalat seorang muslim akan terpotong jika didepannya tidak terdapat sejenis ujung pelana (sutrah) oleh: wanita, keledai dan anjing hitam.“(Riwayat Muslim dalam Shahihnya dari Hadits Abi Zar ).<br />Terdapat juga hadits semakna yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah , akan tetapi dengan menentukan anjing hitam. Maka yang mutlak (tidak ditentukan) diarahkan kepada muqayyad (yang ditentukan) menurut para ulama.<br />Sedangkan di Masjidil Haram tidak diharamkan untuk lewat didepan orang shalat, dan shalat seseorang tidak akan terpotong jika terlewati ketiga hal diatas atau yang lainnya. Karena didalamnya merupakan tempat yang selalu penuh sesak, sulit bagi seseorang untuk menghindar dari melewati didepan orang shalat. Terdapat riwayat hadits yang jelas dalam masalah ini yang walaupun dha’if akan tetapi dikuatkan oleh atsar dari Ibnu Zubair dan yang lainnya, begitu juga halnya dengan masjid An-Nabawi dan tempat lainnya jika selalu penuh sesak dan sulit untuk menghindari agar tidak lewat didepan orang shalat berdasarkan firman Allah :<br /> <br />“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian” (At-Taghabun: 16).<br />Dan firman Allah :<br /> <br /> “Allah tidak membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya” (Al-Baqarah: 186).<br />Dan juga berdasarkan hadits Rasulullah : “Apa yang aku larang maka hendaknya kalian menjauhinya dan apa yang aku perintahkan kepada kalian maka lakukanlah semampu kalian “ (Muttafaq alaih).<br />32. Bagaimana pendapat syaikh tentang mengangkat tangan dalam berdo’a setelah shalat? Apakah ada bedanya antara shalat fardhu dan shalat sunat?<br />Jawab: Mengangkat kedua tangan dalam berdoa merupakan sunnah dan merupakan sebab dikabulkannya do’a berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( إِنَّ رَبَّكُمْ حَيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا )) أخرجه أبو داود والترمذي وابن ماجه وصححه الحاكم من حديث سلمان الفارسي.<br />“Sesungguhnya Tuhan-mu Maha Pemurah. Dia malu terhadap hambanya yang (berdoa) mengangkat kedua tangannya kemudian dibalasnya dengan hampa.“ (Riwayat Abu Daud, Turmuzi, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Hakim dari hadits Salman Al Farisi).<br />Dan berdasarkan hadits Rasulullah :<br />“Sesungguhnya Allah ta’ala itu baik, tidak menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mu’min sebagaimana dia memerintahkan kepada para Rasul, sebagaimana firmannya: <br /> <br />“Wahai orang-orang beriman makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami berikan rizki kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah jika kalian hanya beribadah kepada-Nya” (Al-Baqarah:172), dan Allah berfirman:<br /> <br />“Wahai para Rasul, makanlah yang baik-baik dan berbuatlah dengan perbuatan yang shaleh, sesungguhnya Aku terhadap apa yang kalian lakukan Maha Mengetahui”.(Al-Mu’minun: 51). Kemudian dia (Rasulullah) menyebutkan seseorang yang tengah menempuh perjalanan dengan rambut kusut dan dekil mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berkata: “Ya Rabbi, Ya Rabbi” sementara makanannya berasal dari barang yang haram dan minumannya berasal dari barang yang haram, pakaiannya dari barang yang haram dan dia diberi makan dari barang yang haram, maka bagaimana akan dikabulkan hal yang demikian itu? (Riwayat Muslim).<br />Akan tetapi mengangkat kedua tangan tidak disyari’atkan pada tempat-tempat yang pada zaman Nabi beliau tidak mengangkat kedua tangannya. Maka mengangkat tangan tidak disyari’atkan setelah shalat lima waktu dan antara dua sujud dan sebelum salam dari shalat dan saat khutbah Jum’at serta pada dua shalat ‘Ied karena Rasulullah tidak mengangkat tangan pada tempat-tempat tersebut, sedangkan dia adalah teladan yang paling baik atas apa yang dia lakukan dan dia tinggalkan, akan tetapi jika seseorang meminta turun hujan (istisqa') pada khutbah Jum’at atau khutbah kedua hari raya maka disyariatkan baginya untuk mengangkat kedua tangan sebagaimana yang dilakukan nabi .<br />Adapun pada shalat sunnah, saya tidak mengetahui adanya larangan untuk mengangkat kedua tangan setelahnya untuk berdoa sebagai pengamalan atas umumnya dalil akan tetapi yang utama tidak melakukannya secara terus menerus, karena hal tersebut tidak terdapat riwayatnya dari Rasulullah , seandainya dia melakukannya setiap selesai shalat sunnah niscaya akan sampai kepada kita riwayatnya, karena para shahabat telah meriwayatkan semua perkataan dan perbuatannya baik dalam keadaan musafir atau menetap dan semua keadaan Rasulullah -semoga Allah meridhai mereka semuanya.<br />Adapun hadits yang masyhur dari Nabi , yaitu sabdanya: “Shalat adalah merendahkan diri dan menjaga kekhusyu’an serta mengangkat kedua tangan sambil berkata: Ya Rabbi, Ya Rabbi..” , itu adalah hadits dha’if sebagaimana yang dijelaskan oleh Al Hafiz Ibnu Rajab dan lainnya.<br />33. Kami mendengar ada yang berkata: Makruh mengusap debu yang ada di kening setelah shalat. Apakah hal tersebut ada dalilnya?<br />Jawab: Tidak terdapat dalil dalam masalah itu -sebagaimana yang kami ketahui-. Akan tetapi yang dimakruhkan adalah melakukan hal tersebut sebelum salam; karena terdapat riwayat dari Rasulullah bahwa beliau dalam beberapa kali shalatnya melakukan salam dalam shalat Shubuh yang pada malamnya turun hujan dan tampak di wajahnya bekas air dan tanah, maka hal tersebut menunjukkan bahwa yang utama adalah tidak mengusapnya sebelum selesai salam.<br />34. Apakah hukumnya saling berjabat tangan setelah selesai shalat, apakah ada bedanya antara shalat fardhu dan shalat sunnah?<br />Jawab: Saling berjabat tangan pada dasarnya disyariatkan antara kaum muslimin saat saling berjumpa, dan Rasulullah menjabat tangan para shahabatnya jika berjumpa dengan mereka, dan mereka jika saling berjumpa saling berjabat tangan. Anas dan Asy-Sya’bi rahimahullah berkata: “Adalah para shahabat Rasulullah jika mereka saling berjumpa mereka berjabat tangan dan jika mereka datang dari safar (bepergian) mereka saling berpelukan”, dan terdapat dalam Ash-Shahihain bahwa Thalhah bin Ubaidillah - salah seorang yang mendapat khabar gembira masuk syurga - berdiri dari halaqah (perkumpulan) bersama nabi untuk menemui Ka’ab bin Malik tatkala taubatnya diterima Allah (dalam kisah tertinggalnya dia dalam perang Tabuk -pent.) maka dia menyalaminya serta mengucapkan selamat atas diterima taubatnya, itu adalah riwayat yang masyhur dikalangan kaum muslimin pada zaman nabi dan sesudahnya, begitu juga terdapat riwayat dari Rasulullah bahwa dia bersabda:<br />(( مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقَيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ تَحَاتَّتْ عَنْهُمَا ذُنُوْبُهُمَا كَمَا يَتَحَاتُّ عَن الشَّجَرَةِ وَرَقُهَا ))<br />“Tidaklah dua orang muslim yang saling berjumpa dan berjabat tangan kecuali dosa keduanya gugur sebagaimana dedaunan yang berguguran dari pohonnya."<br />Disunnahkan untuk saling berjabat tangan saat berjumpa di masjid atau dalam barisan (shalat), jika tidak sempat berjabat tangan sebelumnya (sebelum shalat) maka dapat berjabat tangan setelahnya sebagai realisasi sunnah yang agung ini juga sebagai upaya untuk menumbuhkan kasih sayang dan menghalau percekcokan.<br />Akan tetapi jika tidak sempat melakukannya sebelum shalat maka disyariatkan melakukannya sesudah shalat setelah selesai melakukan zikir yang disyariatkan. Adapun yang dilakukan sebagian orang dengan segera berjabat tangan setelah salam dari shalat fardhu maka saya tidak mengetahui adanya dalil dalam masalah tersebut, justru yang lebih jelas adalah makruhnya perbuatan tersebut karena tidak adanya dalil atas masalah tersebut dan karena orang yang shalat pada saat itu disyariatkan untuk segera berzikir yang telah disyariatkan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah selesai shalat fardhu.<br />Adapun dalam shalat sunnah maka disyariatkan untuk saling berjabat tangan setelah salam jika belum sempat berjabat tangan sebelumnya, jika sudah melakukannya sebelumnya maka tidak perlu lagi melakukannya. <br />35. Apakah terdapat riwayat yang menunjukkan anjuran berpindah tempat untuk melakukan shalat sunat setelah selesai shalat fardhu?<br />Jawab: Sejauh yang saya ketahui tidak terdapat hadits shahih tentang hal tersebut, akan tetapi Ibnu Umar radiallahuanhuma dan banyak para salaf yang melakukannya. Dalam hal ini masalahya luwes -Alhamdulillah-. Terdapat hadits dha’if pada Abu Daud rahimahullah yang dikuatkan oleh perbuatan Ibnu Umar radiallahuanhuma dan salafusshalih lain yang mengerjakannya.<br /><br />36. Terdapat anjuran untuk mengucapkan:<br /> (( لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ))<br />Sebanyak sepuluh kali setelah shalat fajar dan shalat maghrib, apakah terdapat riwayat shahih tentang masalah tersebut?<br />Jawab: Terdapat beberapa hadits shahih dalam masalah ini, semuanya menunjukkan disyari’atkannya zikir diatas setelah shalat maghrib dan shalat shubuh.<br /> Yaitu dengan mengucapkan: <br />(( لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ))<br />Sebanyak sepuluh kali. Maka disyariatkan bagi setiap mu’min dan mu’minah untuk membiasakannya setiap selesai dari kedua shalat tersebut. Membacanya setelah selesai membaca wirid yang biasa dibaca setelah selesai shalat lima waktu, yaitu:<br />أَسْتَـغْـفِـرُ الله َ .( 3 kali )<br />اَللَّــهُمَّ أَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا اْلجَلالِ وَاْلإكْرَامِ <br />لاَ إِلَهَ إِلا الله ُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ وَ لَهُ اْلحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِالله.لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ. لَهُ النِّعْمَةُ وَ لَهُ اْلفَضْلُ وَ لَهُ الثَّنَاءُ اْلحَسَنُ. لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ مُخْلِصِـيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ اْلكَافِرُوْنَ. اَللَّــهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا اْلجَدِّ مِنْكَ اْلجَدُّ.<br />Adapun jika dirinya menjadi imam maka disyari’atkan untuk berbalik menghadapkan mukanya kepada jamaah setelah mengucapkan:<br /> أَسْتَـغْـفِـرُ الله َ .( 3 kali )<br />اَللَّــهُمَّ أَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا اْلجَلالِ وَاْلإكْرَامِ <br />Untuk meneladani Nabi dan bagi imam saat berbalik boleh kekiri dan kekanan, karena Rasulullah melakukan keduanya.<br />Disunnahkan juga setelah shalat dan setelah melakukan zikir diatas untuk membaca: <br />(( سُبْحَانَ الله )) (( الحَمْدُ لله )) (( الله أَكْبَرُ ))<br />Sebanyak tiga puluh tiga kali, sehingga berjumlah sembilan puluh sembilan kali, maka dilengkapi hingga seratus dengan membaca:<br /> (( لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ))<br />Karena terdapat riwayat yang shahih dari Nabi anjuran untuk masalah tersebut dengan penjelasan bahwa hal tersebut merupakan salah satu sebab turunnya ampunan.<br />Disyariatkan juga bagi orang yang shalat setelah selesai shalat lima waktu untuk membaca ayat kursi setelah zikir-zikir yang disebutkan diatas dan juga membaca surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas, dan disunnahkan untuk membaca ketiga surat ini sebanyak tiga kali berdasarkan riwayat yang shahih dalam masalah tersebut.<br /> <br /><br />SHALAT BERJAMAAH DAN PERSOALAN <br />IMAM DAN MA’MUM<br /><br />37. Banyak kalangan muslim saat ini dan bahkan kalangan terpelajarnya yang meremehkan shalat berjamaah dengan alasan bahwa ada sebagian ulama yang tidak mewajibkannya. Apakah hukumnya shalat berjamaah dan apa nasehat anda terhadap mereka?<br />Jawab: Shalat berjamaah bersama kaum muslimin di masjid bagi setiap kaum laki-laki yang mampu (menghadirinya) dan mendengarkan azan tidak diragukan lagi wajib hukumnya menurut pendapat yang paling shahih diantara beberapa pendapat para ulama. Berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ )) <br />“Siapa yang mendengar azan dan tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya kecuali karena ada uzur.“ (Riwayat Ibnu Majah, Daruqutni, Ibnu Hibban dan Hakim dengan sanad yang shahih).<br />Ibnu Abbas saat ditanya tentang uzur apa yang dimaksud, maka dia berkata: “ketakutan dan sakit”. Dan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radiallahuanhu dari Rasulullah , bahwa datang kepadanya (Rasulullah ) seorang buta, lalu berkata : “ Wahai Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku ke masjid, apakah bagiku terdapat keringanan untuk shalat di rumahku? Maka Rasulullah berkata kepadanya: “Apakah engkau mendengar azan?” dia berkata: “Ya”, beliau bersabda: “Maka sambutlah (dengan mendatanginya shalat berjamaah di masjid)”.<br />Terdapat juga dalam Ash-Shahihain dari Abu Hurairah , dari Rasulullah , dia bersabda:<br />(( لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ النَّاسَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامُ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمُّ النَّاسَ ثُمَّ أَنْطَلِقَ بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حَزْمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُوْنَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَهُمْ ))<br />“Sungguh aku ingin sekali memerintahkan orang-orang untuk shalat, kemudian shalat dilaksanakan dan ada orang lain yang menjadi imam, kemudian aku pergi bersama sejumlah orang dengan membawa seikat kayu bakar kepada satu kaum yang tidak menghadiri shalat (berjamaah) maka aku bakar rumah-rumah mereka “<br />Semua hadits-hadits diatas dan hadits lainnya yang senada menunjukkan wajibnya shalat berjamaah di masjid bagi orang laki dan adanya hukuman berat bagi orang yang meninggalkannya, seandainya tidak wajib niscaya tidak akan mendapat hukuman seberat itu. Begitu juga halnya shalat di masjid merupakan syi’ar Islam yang paling agung dan juga sarana untuk saling kenal sesama muslim dan menumbuhkan rasa kasih sayang dan menghilangkan permusuhan sementara meninggalkannya menyerupai perbuatan orang munafiq, maka hendaknya hal ini menjadi perhatian kita. Adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini bukanlah alasan untuk meninggalkan jamaah, karena setiap ucapan yang bertentangan dengan dalil syar’i wajib untuk disingkirkan dan tidak dijadikan pegangan, berdasarkan firman Allah :<br /> <br /> “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul-Nya (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya “ (An-Nisa: 59)<br />Allah juga berfirman:<br /> <br />“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah” (Asy-Syuura: 10)<br />Terdapat riwayat dalam Sahih Muslim dari Abdullah bin Mas’ud , dia berkata: “Kami menyaksikan sendiri bahwa tidak ada yang meninggalkannya (shalat berjamaah) kecuali munafik atau orang sakit, dan bahkan kadang-kadang orang sakit tersebut tetap dibawa berjamaah dan dipapah oleh dua orang hingga dapat berdiri dalam barisan”<br />Tidak diragukan lagi bahwa riwayat diatas menunjukkan besarnya perhatian para sahabat terhadap shalat berjamaah di masjid hingga kadang-kadang mereka membawa orang yang sakit dan kemudian dipapah oleh dua orang hingga dapat berdiri dalam barisan, hal tersebut menunjukkan perhatian mereka yang sangat terhadap shalat berjamaah -semoga Allah meridhai mereka semua-<br />38. Terdapat perbedaan pendapat ulama dalam hal bacaan ma’mum yang berada dibelakang imam, manakah yang benar? Apakah membaca Al-Fatihah wajib bagi ma’mum? Kapan ma’mum membacanya jika imam tidak melakukan saktah (berdiam sesaat) yang memungkinkan ma’mum untuk membacanya? Apakah disyariatkan bagi imam untuk berdiam sejenak setelah membaca Al-Fatihah untuk memungkinkan bagi ma’mum membaca Al-Fatihah?<br />Jawab: Yang benar, wajib membaca Al-Fatihah bagi ma’mum dalam semua shalat, baik yang bacaannya dikeraskan atau tidak berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ ))<br />“Tidak ada shalat bagi siapa yang tidak membaca pembuka Al-Kitab (Al-Fatihah)” (Muttafaq alaih).<br />Dan juga berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( لَعَلَّكُمْ تَقْرَؤُوْنَ خَلْفَ إِمَامِكُمْ ؟" قُلْنَا: نَعَمْ . قَالَ: (( لاَ تَفْعَلُوْا إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. فَإِنَّهُ لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِهَا )) أخرجه الإمام أحمد بإسناد صحيح.<br />“Tampaknya kalian membaca sesuatu dibelakang imam kalian?” kami berkata:”Ya”, beliau bersabda:” Jangan lakukan hal itu kecuali dengan (membaca) Al-Fatihah, karena tidak ada shalat bagi yang tidak membacanya“ (Riwayat Imam Ahmad dengan sanad yang shahih ).<br />Seharusnya dibaca pada saat imam terdiam sejenak (saktah), jika hal tersebut tidak dilakukan imam dia harus tetap membacanya walaupun imam sedang membaca (surat), setelah itu dia mendengarkan imam.<br />Hal ini (membaca Al-Fatihah saat imam sedang membaca surat) merupakan bentuk pengecualian dari umumnya dalil yang mewajibkan untuk diam dan mendengarkan bacaan imam, akan tetapi jika ma’mum lupa membacanya atau meninggalkannya karena tidak tahu atau berpendapat tidak wajib, maka tidaklah mengapa baginya dan cukup baginya bacaan imam menurut jumhur ulama. Begitu juga seandainya imam dalam keadaan ruku’ maka dia dapat langsung ruku’ bersamanya dan mendapatkan satu rakaat serta gugur kewajibannya membaca Al-Fatihah karena tidak ada kesempatan baginya. Berdasarkan riwayat dari hadits Abi Bakrah Ats-Tsaqofy, bahwa dia datang kepada Rasulullah yang sedang dalam keadaan ruku’, maka serta merta dia ikut ruku’ tanpa masuk ke dalam barisan, maka tatkala Rasullah salam, dia bersabda: “Semoga Allah menambahkan kesungguhanmu, akan tetapi jangan ulangi“ (Riwayat Bukhari dalam Shahihnya) dan beliau tidak memerintahkannya untuk mengganti rakaat tersebut. Sedangkan makna hadits “Jangan ulangi” maksudnya jangan mengulangi untuk melakukan ruku’ sebelum masuk kedalam barisan shalat, dengan demikian dapat dipahami bahwa bagi siapa yang masuk masjid sedangkan imam dalam keadaan ruku’, maka hendaknya dia tidak ruku’ kecuali setelah masuk kedalam barisan meskipun resikonya dia tidak mendapatkan ruku’, berdasarkan hadts Rasulullah :<br />(( إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَامْشُوْا وَعَلَيْكُمُ السَّكِيْنَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا )) متفق عليه. <br />“Jika kalian mendatangi shalat maka jalanlah kalian dengan tenang, apa yang kalian dapati maka shalatlah dan yang tertinggal maka sempurnakanlah “ (Muttafq alaih).<br />Adapun hadits:<br />(( مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَتُهُ لَهُ قِرَاءَةٌ )) <br />“Siapa yang memiliki imam maka bacaannya (imam) adalah bacaan dia (ma’mum) “<br />Itu adalah hadits dha’if (lemah) yang tidak dapat dijadikan dalil dikalangan ulama, seandainyapun shahih maka (membaca) Al-Fatihah merupakan pengecualian sebagai kompromi antara beberapa hadits. <br />Adapun saktah (berhenti sejenak) setelah Al-Fatihah, tidak terdapat riwayat shahih tentang hal tersebut sedikitpun sebagaimana yang saya pahami, akan tetapi masalahnya fleksibel insya Allah dan siapa yang melakukannya tidaklah mengapa, karena tidak terdapat sedikitpun riwayat tentang hal tersebut dari Rasulullah , yang ada hanyalah dua saktah: pertama saktah setelah Takbiratul Ihram yang disyari’atkan didalamnya membaca istiftah, dan yang kedua setelah selesai membaca surat dan sebelum ruku’ yaitu berdiam sebentar sebagai penyela antara membaca surat dan takbir. Wallahu waliyuttaufiq.<br />39. Terdapat hadits shahih yang melarang untuk mendatangi masjid bagi siapa yang memakan bawang merah dan bawang putih atau daun bawang. Apakah termasuk didalamnya apa saja yang menyebabkan bau tak sedap seperti rokok? Apakah itu artinya bahwa bagi siapa saja yang menkonsumsinya, memiliki alasan untuk tidak shalat berjamaah dan tidak berdosa karenanya?<br /> Jawab: Terdapat riwayat yang tsabit dari Rasulullah , beliau bersabda:<br />(( مَنْ أَكَلَ ثَوْمًا أًوْ بَصَلاً فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا وَلْيُصَلِّ فِيْ بَيْتِهِ )) <br />“Siapa yang memakan bawang merah atau bawang putih maka hendaknya jangan mendekati masjid kami, hendaklah dia shalat di rumahnya “<br />Beliau juga bersabda: <br />(( إِنَّ المَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُوْ الإِنْسَانِ )) <br />“Sesungguhnya malaikat merasa terganggu sebagaimana manusia merasa terganggu “<br />Apa saja yang mendatangkan bau yang tak sedap, maka hukumnya seperti hukum bawang, seperti menghisap rokok, begitu juga bagi siapa yang memiliki bau tak sedap pada ketiaknya atau yang lainnya yang dapat mengganggu orang disekelilingnya, maka dimakruhkan baginya shalat berjamaah hingga dia menggunakan sesuatu yang dapat menghilangkan bau tersebut, dan wajib baginya untuk menghilangkan bau tersebut selagi dia mampu agar dapat menunaikan apa yang Allah wajibkan kepadanya berupa shalat berjamaah.<br />Adapun rokok, maka hukumnya haram secara mutlak wajib baginya untuk meninggalkannya dalam semua kesempatan karena banyaknya mudharat yang terdapat didalamnya, baik terhadap agama, fisik dan harta. Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan menunjukkannya kepada setiap kebaikan.<br />40. Apakah shaf (barisan) dimulai dari kanan atau dari belakang imam? Dan apakah disyariatkan untuk menyeimbangkan sisi kanan dan kiri, sehingga banyak imam yang mengatakan: seimbangkanlah barisan? <br />Jawab: Barisan dimulai dari tengah setelah imam dan sisi kanan imam lebih utama dari kirinya, seharusnya tidak memulai shaf baru kecuali setelah shaf terdepan telah penuh dan tidak mengapa jika dalam barisan sisi kanannya lebih banyak. Tidak perlu disamakan (sisi kanan dan kirinya) bahkan memerintahkan hal tersebut tidak sesuai dengan sunnah, akan tetapi jangan membuat barisan kedua kecuali setelah barisan pertama telah penuh dan barisan ketiga kecuali barisan kedua telah penuh, begitu seterusnya barisan berikutnya, karena terdapat riwayat Rasulullah bahwa beliau memerintahkan hal tersebut.<br />41. Apa pendapat Syaikh tentang orang yang shalat fardlu dibelakang orang yang shalat sunat? <br />Jawab: Tidak mengapa orang yang shalat fardhu mengikuti orang yang shalat sunat, karena terdapat riwayat dari Rasulullah bahwa beliau diantara beberapa macam shalat Khauf ikut shalat bersama satu kelompok dua rakaat kemudian salam, kemudian ikut shalat lagi bersama kelompok yang lain dua rakaat dan kemudian salam. Maka shalat yang pertama adalah fardhu sedangkan yang kedua adalah sunat sedangkan orang-orang dibelakangnya melakukan shalat fardhu. Terdapat riwayat yang shahih dari Mu’az bin Jabal , bahwa dia shalat Isya bersama Rasulullah , kemudian dia kembali kepada kaumnya dan ikut melakukan shalat bersama mereka, maka itu baginya shalat sunat dan bagi mereka adalah shalat fardhu, dan yang semisalnya jika seseorang datang pada bulan Ramadhan sedang mereka sedang melaksanakan shalat tarawih sedangkan dia belum melakukan shalat Isya, maka dia dapat melakukan shalat Isya bersama mereka agar dapat meraih keutamaan shalat berjamaah dan jika imam salam dia berdiri dan meneruskan shalatnya.<br />42. Apa hukumnya orang yang shalat sendirian dibelakang shaf? Dan jika seseorang masuk ke masjid dan dia tidak mendapatkan tempat yang lowong dalam barisan, apa yang dia lakukan? Dan jika dia dapati anak kecil yang belum baligh apakah dapat dia ikutkan dalam barisan?<br />Jawab: Shalatnya orang yang sendirian di belakan shaf adalah batal, berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( لاَ صَلاَةَ لِمُنْفَرِدٍ خَلْفَ الصَّفِّ )) <br />“Tidak ada shalat bagi orang yang shalat sendirian dibelakang shaf“<br />Begitu juga terdapat riwayat dari Rasulullah bahwa beliau memerintahkan seseorang yang shalat sendirian dibelakang shaf untuk mengulangi shalatnya dan dia tidak bertanya kepadanya apakah terdapat tempat yang lowong atau tidak? Maka hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada bedanya antara orang yang tidak mendapat tempat yang lowong dengan orang yang mendapatkannya sebagai upaya untuk menghindari sikap memudahkan dalam masalah shalat sendirian dibelakang shaf.<br />Akan tetapi jika seorang yang masbuk (ketinggalan shalat berjamaah), sedangkan imam dalam keadaan ruku’ dan ia ikut segera ruku’ sebelum masuk kedalam shaf dan kemudian setelah itu baru masuk ke dalam shaf, maka shalatnya menjadi sah, berdasarkan riwayat dari Rasulullah dalam shahih Bukhari dari Abu Bakrah Ats-Tsaqofi , seseorang datang untuk shalat sedangkan Rasulullah sedang ruku’, maka dia segera ruku’ baru kemudian masuk ke dalam shaf, maka bersabda Rasulullah setelah salam: “Semoga Allah menambahkan kesungguhan kepadamu dan jangan ulangi lagi “ beliau tidak menyuruhnya untuk mengganti rakaat tersebut. Adapun yang datang saat imam sedang shalat sedang dia tidak mendapatkan tempat yang lowong maka hendaknya dia menunggu hingga ada orang yang dengannya dia dapat membuat shaf meskipun cuma seorang anak kecil yang berusia tujuh tahun keatas, atau dia maju kesisi kanan imam menjadi barisannya, sebagai pengamalan dari seluruh hadits yang ada.<br />43. Apakah diharuskan bagi imam untuk melakukan niat menjadi imam. Dan jika seseorang masuk masjid kemudian didapatinya ada seseorang yang shalat, apakah dia boleh bermakmum kepadanya? Apakah dibolehkan bermakmum kepada orang yang masbuk?<br />Jawab: Disyaratkan bagi imam untuk niat menjadi imam, berdasarkan hadits Rasulullah <br />(( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى )) <br />“Sesungguhnya setiap perbuatan harus dengan niat, dan bagi setiap orang tergantung apa yang diniatkannya “<br />Jika seseorang masuk masjid dan ketinggalan shalat berjamaah kemudian dia mendapati ada orang yang shalat sendirian, maka tidak mengapa baginya untuk ikut shalat bersamanya menjadi makmum, bahkan hal tersebut lebih utama berdasarkan hadits Rasulullah tatkala melihat seseorang yang masuk masjid sedangkan shalat telah seselai “Adakah seseorang yang hendak bersedekah dengan melakukan shalat bersamanya“. Dengan demikian semuanya akan mendapatkan keutamaan berjamaah. Hal tersebut jika shalat telah dilaksanakan. Adalah sahabat Mu’az shalat ‘Isya bersama Rasulullah , kemudian ketika kembali kepada kaumnya dia ikut melakukan shalat yang sama, maka baginya hal itu adalah shalat sunat dan bagi mereka shalat fardhu dan Rasulullah telah menyetujui hal tersebut.<br />Adapun terhadap makmum masbuq, maka tidak mengapa ikut shalat bersamanya bagi yang ketinggalan jamaah dengan harapan mendapatkan keutamaan jamaah dan jika makmum masbuq itu menyelesaikan shalatnya, maka makmumnya berdiri dan meneruskan shalat hingga selesai. Hal tersebut berdasarkan umumnya dalil-dalil yang ada dan hukum ini berlaku umum untuk semua shalat yang lima waktu, berdasarkan hadits Rasulullah terhadap Abu Zar tatkala diberitakan kepadanya tentang kedatangan beberapa orang pemimpin yang menunda shalatnya, maka beliau bersabda: “Shalatlah pada waktunya, jika dapati mereka maka shalatlah bersama mereka, maka bagimu hal itu adalah nafilah (sunat) dan jangan engkau mengatakan: aku telah shalat maka aku tidak shalat “<br />44. Apakah yang didapati makmum masbuq dari rakaat imam termasuk awal shalatnya atau akhir shalatnya. Misalnya jika dia tertinggal dua rakaat dari shalat yang empat rakaat, apakah dia harus membaca surat setelah Al-Fatihah?<br />Jawab: Yang benar apa yang didapati makmum masbuq dari rakaat imamnya adalah awal shalatnya dan apa yang disempurnakannya adalah akhir shalatnya. Itu semua berlaku bagi semua shalat, berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَامْشُوْا وَعَلَيْكُم السَّكِيْنَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا )) متفق على صحته.<br />“Jika shalat dilaksanakan berjalanlah kalian (ke tempat shalat) dengan tenang, apa yang kalian dapatkan ikutlah shalat bersamanya sedang yang tertinggal maka sempurnakanlah “ (Muttafaq alaih).<br />Dengan demikan maka disunnahkan untuk hanya membaca surat Al-Fatihah saja pada rakaat ketiga dan keempat pada shalat yang empat rakaat, pada rakaat ketiga pada shalat maghrib, berdasarkan riwayat yang terdapat dalam Ash-Shahihain dari Abi Qatadah , dia berkata : “ Adalah Rasullullah pada shalat Zuhur dan Ashar membaca surat Al-Fatihah dan surat lainnya pada dua rakaat pertama dan pada dua rakaat terakhir membaca Al-Fatihah “<br />Dan jika seseorang kadang-kadang membaca surat lain setelah Al-Fatihah pada rakaat ketiga dan keempat maka hal tersebut baik, berdasarkan riwayat Muslim dari Abu Said , dia berkata : “Adalah Rasulullah pada dua rakaat pertama pada shalat Zuhur membaca surat sekadar surat As-Sajadah, sedangkan pada dua rakaat terakhir sekadar setengahnya dari itu. Adapun pada dua rakaat pertama shalat Ashar bacaannya sekadar dua rakaat terakhir shalat Zuhur sedang dua rakaat terakhir setengahnya” maka untuk dapat mengkompromikan kedua hadits ini, dapatlah dikatakan bahwa Rasulullah melakukan hal tersebut (membaca surat setelah Al-Fatihah pada dua rakaat terakhir shalat Zuhur) hanya kadang-kadang saja.<br />45. Karena banyaknya jamaah shalat Jum’at disebagian masjid, maka ketika masjid telah penuh sebagian orang shalat di jalan-jalan dan gang-gang dengan tetap mengikuti imam, apa pendapat syaikh tentang masalah ini? Apakah ada bedanya antara jalan yang langsung berhubungan dengan masjid dengan jalan yang terdapat pemisah antara orang yang shalat dengan masjid?<br />Jawab: Jika barisannya bersambung maka tidak mengapa (shalat di jalan-jalan), begitu juga jika makmum yang diluar masjid melihat adanya barisan yang ada di depan mereka atau mendengar takbir meskipun antara mereka dipisahkan jalan tidaklah mengapa karena mereka mampu untuk melihat atau mendengar dan karena wajibnya shalat berjamaah. Akan tetapi tidak boleh ada yang shalat didepan imam karena itu bukan tempatnya makmum.<br />46. Jika makmum mendapatkan imam dalam keadaan ruku’, apakah yang seharusnya dilakukan makmum saat itu? Apakah disyaratkan untuk dapat dikatakan mendapatkan satu rakaat dengan mengatakan “سبحان ربي العظيم” sebelum imam bangun dari ruku’?<br />Jawab: Jika makmum mendapatkan imam dalam keadaan ruku’, maka dia mendapatkan satu rakaat walaupun tidak sempat membaca tasbih, kecuali jika imam sudah terlanjur berdiri, berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ )) أخرجه مسلم في صحيحه.<br />“Siapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat maka dia telah mendapatkan shalat“ (Riwayat Muslim dalam Shahihnya)<br />Umum diketahui bahwa rakaat didapatkan dengan mendapatkan ruku’, berdasarkan hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dari Abu Bakrah Ats-Tsaqofi , bahwa suatu hari beliau datang ke masjid saat nabi dalam keadaan ruku’, maka dia segera ruku’ sebelum masuk kedalam shaf (barisan), maka setelah selesai salam, Rasulullah bersabda: “Semoga Allah menambahkan kesungguhan kepadamu dan jangan ulangi lagi”. Beliau tidak memerintahkan untuk mengqadha rakaat tersebut, tetapi cuma melarang untuk mengulangi perbuatannya yaitu ruku’ sebelum masuk shaf, maka hendaknya bagi makmum masbuq jangan tergesa-gesa untuk ruku’ sebelum memasuki barisan.<br />47. Sebagian imam ada yang menunggu orang yang masuk masjid untuk mendapatkan ruku’, sebagian lainnya mengatakan: tidak disyariatkan untuk menunggu? Manakah yang benar?<br />Jawab: Yang benar adalah disyariatkannya menunggu sebentar supaya orang yang masuk tersebut dapat ikut dalam barisan untuk meneladani apa yang dilakukan Rasulullah dalam masalah ini. <br />48. Jika seseorang mengimami dua anak kecil atau lebih, apakah mereka ditempatkan di belakangnya atau di samping kanannya? Apakah usia baligh merupakan syarat untuk menempatkan seorang anak dalam barisan?<br />Jawab: Yang benar adalah menempatkan mereka di belakang sebagaimana orang mukallaf jika usianya telah mencapai tujuh tahun atau lebih. Begitu juga ditempatkan di belakang jika mereka terdiri dari seorang anak kecil dan seorang mukallaf, karena Rasulullah tatkala mengunjungi kakek Anas, beliau shalat bersama Anas dan seorang anak yatim dan menempatkan mereka di belakang. Begitu juga halnya tatkala shalat bersamanya Jabir dan Jabbar dari kalangan Anshar, dia menempatkan mereka di belakang.<br />Adapun jika makmumnya cuma seorang, maka ditempatkan disisi kanannya, baik orang dewasa maupun anak kecil, karena Rasulullah tatkala Ibnu Abbas ikut shalat malam bersamanya dan berada disisi kirinya maka beliau memutarnya hingga berada disisi kanannya. Begitu juga halnya Anas shalat bersama Nabi dalam sebagian shalat sunat dan ditempatkannya disisi kanannya. Sedangkan wanita seorang atau lebih, maka tempatnya debelakang laki-laki dan tidak boleh sebaris dengan imam juga dengan laki-laki, karena Rasulullah tatkala shalat bersama Anas dan seorang yatim menempatkan Ummu Sulaim di belakang mereka, padahal dia ibunya Anas.<br />49. Sebagian orang ada yang berkata: Tidak boleh mendirikan jama’ah yang lain dalam satu masjid setelah selesainya jamaah shalat (yang pertama). Apakah hal tersebut ada dalilnya? Mana yang benar?<br />Jawab: Pendapat tersebut tidaklah benar dan tidak memiliki dalil syara’ yang suci ini sebagaimana yang saya ketahui, bahkan sunnah yang shahih menunjukkan sebaliknya, yaitu hadits Rasulullah yang berbunyi:<br />(( صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الفَذِّ بِسَبْعِ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً))<br />“Shalat jamaah lebih utama dua puluh derajat daripada shalat sendirian “<br />Begitu juga hadits yang lainnya:<br />(( صَلاَةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلاَتِهِ وَحْدَهُ ))<br />“Shalatnya seseorang bersama seseorang (berjamaah) lebih suci daripada shalatnya seorang diri “<br />Juga hadits Rasulullah saat melihat seseorang yang masuk masjid tatkala shalat berjamaah telah selesai dilaksanakan:<br />(( مَنْ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّي مَعَهُ ))<br />“Siapa yang hendak bersedekah kepadanya maka shalatlah bersamanya “<br />Akan tetapi tidak boleh bagi setiap muslim untuk menyengaja meninggalkan shalat berjamaah, justru yang wajib baginya adalah segera berangkat untuk shalat berjamaah tatkala mendengarkan azan.<br />50. Jika sang imam batal wudhunya saat shalat, apakah dia harus menunjuk seseorang untuk menggantikannya menjadi imam shalat atau apakah semua jamaah batal shalatnya dan kemudian dia memerintahkan seseorang untuk mengimami shalat dari awal?<br />Jawab: Yang benar, bagi imam untuk menunjuk seseorang agar menggantikannya menjadi imam untuk meneruskan shalat yang tersisa, sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab tatkala dirinya ditikam saat mengimami shalat, maka dia menunjuk Abdurrahman bin ‘Auf untuk meneruskan shalat Fajar. Jika imam tidak menunjuk seseorang, maka salah seorang ada yang maju dan meneruskan shalat. Jika mereka memulai shalat dari awal juga tidak mengapa karena hal ini adalah masalah khilafiyah antara para ulama, akan tetapi yang lebih kuat adalah imam menunjuk seseorang untuk meneruskan shalat sebagaimana yang kami sebutkan berdasarkan perbuatan Umar . Jika mereka memulai dari pertama juga tidak mengapa. Wallahu a’lam.<br />51. Apakah jamaah didapatkan dengan mendapatkan salamnya imam atau ruku’nya imam, jika seseorang mendapatkan imam dalam keadaan tasyahud akhir, apakah lebih utama baginya untuk ikut bersama imam atau menunggu imam selesai salam dan dia shalat bersama jamaah (yang baru)?<br />Jawab: Jamaah tidak didapatkan kecuali dengan mendapatkan rakaat, berdasarkan hadits Rasulullah: “Siapa yang mendapatkan rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat“ (Riwayat Muslim dalam Shahihnya) Akan tetapi siapa yang memiliki uzur (halangan) syar’i, maka dia tetap mendapatkan keutamaan jamaah meskipun dia tidak shalat bersama imam, berdasarkan hadits Rasulullah:<br />(( إِذَا مَرَضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ كَتَبَ اللهُ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُهُ وَهُوَ صَحِيْحٌ مُقِيْمٌ)) رواه البخاري في الصحيح.<br />“Jika seseorang sakit atau bepergian, maka Allah menetapkan baginya balasan sebagaimana yang dia lakukan dalam keadaan sehat atau menetap “ (Riwayat Bukhari dalam Shahihnya)<br />Juga berdasarkan hadits Rasulullah dalam perang Tabuk: <br />(( إِنَّ فِيْ الْمَدِيْنَةِ أَقْوَامًا مَا سِرْتُمْ مَسِيْرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلاَّ وَهُمْ مَعَكُمْ حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ )) وفي رواية (( إِلاَّ شَرَكُوْكُمْ فِيْ الأَجْرِ ))<br />“Sesungguhnya di Madinah terdapat sejumlah orang yang tidak ikut dalam perjalanan dan tidak menelusuri lembah, kecuali mereka bersama kalian, mereka terhalang oleh uzur (halangan) yang ada pada mereka” dalam sebuah riwayat “ Kecuali mereka ikut mendapatkan pahala seperti kalian “ (Muttafaq alaih)<br />Jika seseorang imam sedang tasyahhud akhir maka ikut bersamanya lebih utama berdasarkan hadits Rasulullah:<br />(( إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَأْتُوْهَا وَعَلَيْكُمُ السَّكِيْنَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا )) متفق عليه. <br />“Jika kalian mendatangi shalat maka datanglah dengan tenang. Apa yang kalian dapati maka shalatlah dan yang tertinggal maka sempurnakanlah” (Muttafaq alaih). Seandainya mereka membuat jamaah lagi juga tidak mengapa insya Allah.<br />52. Kami memperhatikan sebagian orang saat masuk masjid untuk shalat fajar dan iqamat telah dilakukan, dia tetap shalat sunat fajar dua rakaat, setelah itu ikut imam, apakah hukumnya hal tersebut? Manakah yang utama antara shalat sunat fajar setelah shalat subuh langsung atau menunggu hingga terbitnya matahari?<br />Jawab: Tidak boleh bagi yang masjid sementara iqamat sudah dilakukan untuk melakukan shalat rawatib atau tahiyyatul masjid, justru yang wajib baginya adalah ikut shalat bersama imam berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلَّا الْمَكْتُوْبَةُ )) أخرجه مسلم في صحيحه. <br />“Jika iqamat telah dilaksanakan, maka tidak ada shalat kecuali shalat fardhu “ (Riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya)<br />Hadits ini berlaku umum, untuk shalat Fajar dan yang lainnya, kemudian setelah itu dia boleh memilih, apakah shalat sunat rawatib langsung setelah selesai shalat fardhu atau menundanya hingga matahari meninggi dan itulah yang lebih utama, karena terdapat riwayat yang shahih dari Rasulullah yang menunjukkan keduanya.<br /><br />53. Seseorang menjadi imam kami dalam shalat, kemudian dia melakukan salam sekali saja. Apakah boleh melakukan salam sekali saja? Adakah riwayat dalam sunnah berkaitan dengan hal tersebut?<br />Jawab: Jumhur ulama berpendapat bahwa satu salam cukup sebagai sahnya shalat, karena terdapat beberapa riwayat yang menunjukkah hal tersebut, dan sejumlah ulama ada yang berpendapat bahwa salam harus dilakukan dua kali karena adanya hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah berkaitan dengan hal tersebut, dan berdasarkan hadits Rasulullah: <br />(( صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي )) رواه البخاري في صحيحه.<br />“ Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat “ (Riwayat Bukhari dalam Shahihnya).<br />Dan inilah pendapat yang lebih benar.<br />Pendapat yang mengatakan bahwa satu kali salam telah cukup adalah pendapat yang lemah, karena lemahnya hadits-hadits dalam masalah ini dan tidak adanya kejelasan maksudnya. Seandainyapun hadits ini shahih, maka hukumnya adalah syaz (tidak terpakai) karena bertentangan dengan hadits yang lebih shahih dan lebih jelas. Akan tetapi siapa yang melakukan hal pertama (sekali salam) karena tidak tahu atau berkeyakinan dengan shahihnya hadits tentang hal tersebut, maka shalatnya sah.<br /><br />54. Jika makmum masbuq ikut bersama imam dan shalat bersamanya dua rakaat, kemudian setelah itu ternyata imam shalat dengan lima rakaat, apakah satu rakaat tambahan itu dapat dihitung menjadi rakaatnya sehingga dia hanya perlu menambah dua rakaat saja atau tidak dihitung sehingga dia harus menambah tiga rakaat?<br />Jawab: Yang benar adalah bahwa rakaat (tambahan) tersebut tidak dihitung, karena tidak berlaku dalam hukum syar’i, maka seharusnya tidak perlu mengikuti imam pada rakaat tersebut bagi siapa yang tahu bahwa rakaat tersebut adalah tambahan dan bagi makmum untuk tidak menjadikannya sebagai rakaatnya.<br />Berkaitan dengan masalah yang ditanyakan, maka wajib baginya untuk mengqadha tiga rakaat, karena pada hakikatnya dia hanya mendapatkan satu rakaat saja.<br />55. Seorang imam shalat dengan jamaahnya tanpa wudhu karena lupa. Apa hukum shalat tersebut pada tiga perkara ini:<br />1. Jika dia ingat dipertengahan shalat.<br />2. Jika dia ingat setelah salam dan sebelum bubarnya jamaah.<br />3. Jika dia ingat setelah bubarnya jamaah.<br /><br />Jawab: Jika dia tidak ingat kecuali setelah salam, maka shalat bagi jamaahnya sah dan mereka tidak perlu mengulanginya, sedangkan imam, dia harus mengulanginya.<br />Adapun jika ingatnya dipertengahan shalat maka hendaknya dia menunjuk seseorang untuk menjadi imam meneruskan shalat menurut salah satu pendapat yang paling kuat diantara dua pendapat ulama berdasarkan kisah Umar tatkala dirinya ditikam maka dia menunjuk Abdurrahman bin Auf yang kemudian menjadi imam meneruskan shalat dan tidak mengulanginya dari awal.<br />56. Apa hukumnya jika imam ternyata adalah orang yang suka berbuat maksiat seperti merokok atau mencukur janggut atau menjulurkan pakaiannya hingga ke bawah tumitnya (isbal) atau yang semacamnya?<br />Jawab: Shalatnya sah jika dia melakukannya sebagaimana yang Allah syari’atkan berdasarkan kesepakatan para ulama, demikian juga halnya bagi orang yang shalat di belakangnya menurut pendapat yang lebih kuat diantara dua pendapat para ulama.<br />Sedangkan orang kafir maka tidaklah sah shalatnya dan shalat orang yang ada dibelakangnya karena tidak adanya syarat yang ada padanya yaitu Islam.<br />57. Sebagaimana umum diketahui bahwa tempat makmum jika dia sendirian adalah dibelakang imam. Apakah disyariatkan baginya untuk mundur sedikit sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang?<br />Jawab: Disyariatkan bagi makmum jika dia seorang diri untuk berada disisi kanan imam dalam posisi sejajar dan tidak terdapat dalil syar’i yang menunjukkan selain itu.<br /> <br /><br />SUJUD SAHWI<br /><br />58. Jika seorang yang shalat ragu: Apakah dia shalat tiga rakaat atau empat rakaat, apa yang harus dia lakukan?<br />Jawab: Yang wajib baginya saat ragu adalah berpedoman kepada yang diyakininya yaitu yang lebih sedikit. Jika masalahnya seperti contoh di atas maka dia memilih yang ketiga dan kemudian menyempurnakan rakaat yang keempatnya dan kemudian melakukan sujud sahwi setelah itu salam, berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( إِذَا شَكّض أَحَدُكُمْ فِيْ صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ لْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْساً شَفَّعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى تَمَاماً كَانَتَا تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ )) خرجه الإمام مسلم في صحيحه من حديث أبي سعيد الخدري .<br />“ Jika salah seorang di antara kalian ragu dan tidak tahu berapa rakaat dia telah melakukan shalat, apakah tiga rakaat atau empat rakaat, maka hendaklah dia membuang keraguannya dan berpedoman dengan yang diyakininya kemudian sujud dua kali sebelum salam, jika (ternyata) dia shalat lima rakaat maka dia menggenapkannya dan jika (ternyata) rakaatnya tepat maka itu adalah pukulan bagi syaitan “ (Riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya dari Hadits Abi Said Al-Khudri ).<br />Adapun jika dia memiliki dugaan kuat terhadap salah satu diantara keduanya (kurang rakaatnya atau sudah benar) maka dia dapat berpedoman terhadap dugaannya yang lebih kuat dan kemudian sujud sahwi setelah salam berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِيْ صَلاَتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عَلَيْهِ ثُمَّ يُسَلِّم ثُمَّ يَسْجُد سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ السَلاَمِ )) خرجه البخاري في الصحيح من حديث بن مسعود .<br />“Jika salah seorang diantara kalian ragu dalam shalatnya, maka pilihlah yang benar dan kemudian sempurnakan kemudian salam, kemudian sujud dua kali setelah salam “ (Riwayat Bukhari dalam Shahihnya dari hadits Ibnu Masud ).<br />59. Sebagian imam melakukan sujud sahwi setelah salam, dan sebagian lainnya sujud sebelum salam dan sebagian lainnya sujud sekali sebelum salam dan sekali lagi setelah salam. Kapankah waktu pelaksanaan sujud sahwi yang sebenarnya? Dan kapan dibolehkan untuk dilakukan sesudahnya? Dan apakah penentuan sujud sebelum salam atau sesudahnya sebagai sesuatu yang sunnah atau wajib?<br /><br />Jawab: Dalam hal ini permasalahannya luas, kedua cara tersebut dapat digunakan baik yang sebelum salam atau sesudahnya karena hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah menunjukkan hal tersebut, akan tetapi yang lebih utama melakukan sujud sahwi sebelum salam, kecuali dalam dua kondisi:<br />a. Jika dia melakukan salam dan ternyata masih kurang serakaat atau lebih. Maka lebih utama baginya jika melakukan sujud sahwi setelah menyempurnakan shalat dan mengucapkan salam, untuk mengikuti jejak Rasulullah dalam masalah tersebut. Karena Rasulullah tatkala selesai salam dan ternyata shalatnya masih kurang dua rakaat dalam hadits Abi Hurairah dan serakaat dalam hadits Imran bin Hushain, maka dia melakukan sujud sahwi setelah menyempurnakan shalatnya dan melakukan salam.<br />b. Jika dia ragu dalam shalatnya dan tidak tahu berapa rakaat shalatnya, tiga atau empat dalam shalat empat rakaat atau dua dan tiga dalam shalat Maghrib atau satu dan dua dalam shalat Fajar, akan tetapi perkiraannya lebih kuat kepada salah satu diantara keduanya yaitu kurang atau sempurna, maka dia dapat berpedoman kepada yang lebih kuat perkiraannya dan sujud sahwi lebih utama dilakukan setelah salam berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud yang telah disebutkan pada jawaban no: 58.<br />60. Jika makmum masbuq lupa apakah dia melakukan sujud sahwi? Dan kapan sujud tersebut dilakukan? Dan apakah bagi makmum melakukan sujud sahwi jika dia lupa?<br />Jawab: Makmum tidak perlu melakukan sujud sahwi jika dia lupa, cukup baginya mengikuti imamnya jika dia ikut bersamanya sejak awal shalat, adapun makmum masbuq jika lupa maka dia harus sujud sahwi, bersama imam atau seorang diri saat dia meneruskan shalat sesuai keterangan terdahulu dalam dua jawaban no: 58 dan 59.<br />61. Apa ada syari’atnya melakukan sujud sahwi dalam kondisi berikut:<br />a. Jika dia membaca surat setelah Al-Fatihah dalam dua rakaat terakhir pada shalat empat rakaat?<br />b. Jika dia membaca surat dalam sujud atau membaca سبحان ربي العظيم diantara dua sujud?<br />c. Jika dia membaca keras dalam shalat sirriah dan membaca pelan dalam shalat jahriah?<br />Jawab: Jika seseorang membaca surat dalam dua rakaat terakhir pada shalat yang empat rakaat karena lupa, maka tidak disyariatkan baginya untuk melakukan sujud sahwi, karena terdapat riwayat yang shahih dari Rasulullah yang menunjukkan bahwa dia membaca surat setelah Al-Fatihah sebagai tambahan dalam rakaat ketiga dan keempat pada shalat Zuhur. Dan juga terdapat riwayat bahwa beliau memuji Amir yang membaca surat setelah membaca Al-Fatihah pada semua rakaat shalatnya. Akan tetapi yang umum diketahui dari Rasulullah adalah bahwa beliau hanya membaca Al-Fatihah pada rakaat ketiga dan keempat sebagaimana yang terdapat dalam riwayat Bukhari-Muslim dari Abi Qatadah .<br />Dan terdapat riwayat dari Abu Bakar Ash-Shiddiq bahwa dia pada rakaat ketiga shalat maghrib setelah Al-Fatihah membaca:<br /> <br />Semua itu menunjukkan bahwa masalah ini bersifat luwes.<br />Adapun orang yang membaca surat pada saat ruku’ atau sujud karena lupa maka dia sujud sahwi, karena dilarang baginya untuk menyengaja membaca surat pada saat ruku’ dan sujud karena Nabi melarang hal tersebut, maka jika dia membacanya karena lupa dalam ruku’ dan sujud maka wajib baginya untuk sujud sahwi. Begitu juga halnya bagi siapa yang lupa saat ruku’ membaca “سبحان ربي الأعلى” dan bukan “سبحان ربي العظيم” atau lupa saat sujud dengan membaca “سبحان ربي العظيم” dan bukan “سبحان ربي الأعلى” maka wajib baginya untuk melakukan sujud sahwi, karena dia meninggalkan perkara wajib karena lupa, adapun jika dia menggabungkan keduanya dalam ruku’ maupun sujud karena lupa maka dia tidak wajib untuk sujud sahwi, kalaupun dia sujud juga tidak mengapa berdasarkan umumnya dalil dan masalah ini berlaku bagi imam, orang yang shalat seorang diri (munfarid) dan makmum masbuq.<br />Sedangkan makmum yang ikut bersama imam sejak awal shalat, maka dia tidak perlu melakukan sujud sahwi dalam masalah ini, justru dia harus mengikuti imamnya, begitu juga jika dia mengeraskan bacaan dalam shalat sirriyyah dan membaca pelan dalam shalat jahriyyah, tidak harus baginya untuk sujud sahwi, karena Rasulullah kadang-kadang memperdengarkan ayat (yang dibacanya) dalam shalat sirriyyah.<br /> <br /><br />JAMA’ DAN QASHAR SHALAT<br /><br />62. Sebagian orang ada yang menyangka bahwa jama’ dan qashar shalat merupakan dua hal yang harus selalu beriringan. Tidak boleh qashar kalau tidak jama’ dan tidak boleh jama’ kalau tidak qashar, apa pendapat syaikh tentang masalah ini?<br />Apakah yang lebih utama bagi seorang musafir untuk melakukan qashar tanpa jama’, atau qashar dan jama’?<br />Jawab: Bagi siapa yang dibolehkan baginya untuk mengqashar shalatnya yaitu musafir, maka boleh baginya untuk menjama’, akan tetapi tidak harus selalu dilakukan keduanya, maka boleh baginya untuk mengqashar shalat tanpa jama’. Dan meninggalkan jama’ lebih utama jika dia menetap dan tidak bergerak sebagaimana yang dilakukan Rasulullah di Mina saat menunaikan haji wada’, dia melakukan qashar shalat tapi tidak jama’, sedangkan saat perang Tabuk beliau mengqashar shalat dan menjama’. Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah ini luwes. Maka Rasulullah melakukan qashar dan jama’ jika sedang dalam perjalanan dan tidak menetap di satu tempat.<br />Adapun jama’, perkaranya lebih luas lagi, karena boleh dilakukan oleh orang sakit, boleh juga bagi kaum muslimin yang sedang berada didalam masjid saat turunnya hujan antara maghrib dan Isya dan antara Zuhur dan Ashar tetapi tidak boleh bagi mereka untuk mengqashar shalatnya, karena qashar shalat hanya berlaku bagi musafir.<br />63. Jika masuk satu waktu sedang dia masih berada di tempatnya, kemudian berangkat safar sebelum melaksanakan shalat apakah boleh baginya untuk melakukan qashar dan jama’ atau tidak? Begitu juga halnya jika seseorang -misalnya- shalat Zuhur dan Ashar dengan qashar dan jama’ kemudian sampai ke kampungnya dalam waktu Ashar apakah tindakannya tersebut dibenarkan sedangkan dia tahu saat melakukan qashar dan jama tersebut, bahwa dia akan tiba di kampungnya pada waktu Ashar?<br />Jawab: Bagi seorang musafir yang masih berada di kampungnya sendiri sedangkan waktu shalat sudah masuk, kemudian dia berangkat sebelum shalat, maka disyariatkan baginya untuk melakukan qashar shalat jika dia telah meninggalkan perkampungan tersebut menurut pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama dan itu adalah pendapat jumhur.<br />Dan jika dia melakukan jama’ dan qashar shalat dalam perjalanan kemudian tiba di kampungnya sebelum masuknya waktu yang kedua atau saat waktu yang kedua, tidak diharuskan baginya untuk mengulanginya karena dia telah melaksanakan shalat berdasarkan tuntunan syar’i, dan jika dia ikut shalat bersama orang lain maka shalatnya bernilai sunat.<br /><br />64. Apa pendapat syaikh tentang perjalanan yang dibolehkan untuk mengqashar shalat, apakah ditentukan berdasarkan jarak tertentu? Dan apa pendapat syaikh tentang orang yang niat untuk menetap dalam perjalanannya lebih dari empat hari, apakah ada keringanan baginya untuk mengqashar shalatnya? <br />Jawab: Jumhur ulama berpendapat bahwa shalat yang karenanya boleh mengqashar shalat ditentukan, yaitu sehari semalam perjalanan unta dan perjalanan kaki dalam sebuah perjalanan normal atau sekitar 80 km, karena umum diketahui bahwa (orang yang menempuh) jarak tersebut disebut safar dan tidak demikian halnya jika kurang dari itu. Jumhur juga berpendapat bahwa siapa yang berniat untuk menetap lebih dari empat hari maka wajib baginya untuk menyempurnakan shalatnya dan melakukan puasa pada bulan Ramadhan. Sedangkan jika jarak yang ditempuh lebih pendek dari itu maka boleh baginya untuk melakukan jama’ dan qashar shalat dan tidak berpuasa karena asal hukum bagi orang yang menetap adalah menyempurnakan shalat, sedang qashar shalat disyariatkan jika dia benar-benar menempuh perjalanan. Terdapat riwayat dari Rasulullah : “Bahwa dia menetap dalam haji Wada’ empat hari lamanya, mengqashar shalat, kemudian berangkat ke Mina dan Arafat”, hal tersebut menunjukkan bolehnya qashar shalat bagi orang yang berniat untuk menetap selama empat hari atau kurang. Adapun menetapnya Rasulullah selama sembilan belas hari pada ‘Aamul Fath (tahun terjadinya penaklukan kota Makkah) di Makkah dan dua puluh hari di Tabuk, diperkirakan bahwa beliau tidak menetap sekaligus, akan tetapi beliau menetap karena sebab yang tidak diketahui kapan berakhir. Begitulah jumhur ulama memperkirakan masalah ini saat Rasulullah di Makkah pada saat hari penaklukannya (‘Aamul Fath) dan di Tabuk saat perang Tabuk sebagai kehati-hatian dalam beragama dan mengamalkan hukum asal, yaitu wajibnya shalat empat rakaat bagi mukimin (orang yang menetap) pada shalat Zuhur, Ashar dan ‘Isya . <br />Adapun jika dia tidak menetap sekaligus dan tidak tahu kapan akan berangkat, maka boleh baginya untuk mengqashar dan menjama’ shalatnya serta tidak berpuasa hingga dia dapat menetap empat hari sekaligus atau lebih atau pulang ke kampungnya.<br />65. Apa pendapat syaikh tentang masalah menjama’ shalat pada saat turunnya hujan antara maghrib dan Isya pada waktu sekarang ini di kota-kota yang jalan-jalannya beraspal dan keras serta diberi cahaya lampu, sehingga tidak ada lagi kesulitan dan gangguan lumpur hujan?<br />Jawab: Tidak mengapa untuk melakukan jama’ shalat antara Maghrib dan Isya atau Zuhur dan Ashar -menurut pendapat yang lebih kuat di antara dua pendapat ulama- disebabkan hujan yang membuat orang kesulitan untuk datang ke masjid, begitu juga karena kondisi jalan yang licin atau banjir yang memberatkan.<br />Dalil dari masalah tersebut adalah hadits Rasulullah yang terdapat dalam Ash-Shahihain dari Ibnu Abbas radiallahuanhuma, sesungguhnya Rasulullah menjama’ antara(shalat) Zuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya” Muslim menambahkan dalam riwayatnya “bukan karena takut, hujan dan safar (dalam perjalanan)”.<br />Maka hal tersebut menunjukkan bahwa telah tetap dikalangan para shahabat radiallahuanhum, bahwa takut dan hujan merupakan alasan bagi seseorang untuk menjama’ shalatnya sebagaimana dalam perjalanan jauh, akan tetapi tidak boleh mengqashar shalat dalam kondisi tersebut, yang dibolehkan hanya menjama’ saja sebab mereka sedang menetap tidak dalam bepergian sedangkan qashar khusus merupakan keringanan dalam perjalanan.<br />66. Apakah niat merupakan syarat bagi bolehnya menjama’ shalat? Banyak yang shalat Maghrib tanpa niat jama’ dan setelah shalat mereka bermusyawarah dan memutuskan untuk melakukan jama’ shalat kemudian shalat Isya?<br />Jawab: Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini dan yang rajih (lebih kuat) adalah bahwa niat bukan merupakan syarat saat memulai shalat pertama, maka itu boleh menjama’ shalat setelah selesai shalat yang pertama jika terdapat syaratnya, yaitu: Takut, sakit dan hujan.<br />67. Mengenai masalah muwalat (bersambung), kadang-kadang ada yang melaksanakan dengan menunda shalat yang kedua hingga terdapat jeda beberapa saat lalu mereka melakukan jama’. Apakah hukumnya hal tersebut?<br />Jawab: Muwalat merupakan hal yang wajib dalam jama’ taqdim (menjama shalat pada waktu shalat yang pertama), diantara dua shalat harus dilaksanakan secara beriringan, jika waktu jeda hanya sekedarnya dan tidak beberapa lama maka tidak mengapa, sebagaiman riwayat dari Rasulullah dalam masalah ini. Dan telah bersabda Rasulullah : “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”. Yang benar bahwa niat bukanlah syarat sebagaimana yang telah diterangkan dalam jawaban no: 66.<br />Sedangkan jama’ ta’khir (menjama’ shalat pada waktu shalat yang ke dua), maka masalahnya luwes. karena shalat yang kedua dilaksanakan pada waktunya, akan tetapi yang utama adalah dengan melaksanakannya secara beriringan untuk meneladani Rasulullah dalam masalah ini.<br />68. Jika kita dalam perjalanan dan melewati masjid saat masuk waktu Zuhur -misalnya-, apakah disunnahkan bagi kita untuk shalat Zuhur bersama jamaah kemudian kita shalat Ashar dengan qashar atau kita shalat sendiri?<br />Apakah jika kita shalat bersama jamaah dan kemudian kita hendak shalat Ashar, kita langsung bangun setelah salam agar tercapai muwalat (beriringan), apa kita melakukan zikir dahulu baru kemudian shalat Ashar?<br />Jawab: Yang lebih utama adalah shalat sendiri dengan cara qashar, karena sunnah bagi seorang musafir adalah mengqashar shalat. Jika anda ikut shalat bersama jamaah maka wajib shalat dengan sempurna berdasarkan riwayat shahih dari Rasulullah . Dan jika anda hendak menjama’ shalat maka harus segera dilaksanakan sebagai pengamalan terhadap sunnah sebagaimana jawaban yang telah lalu dalam soal no: 67, setelah membaca istighfar sebanyak tiga kali dan membaca:<br />اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَاذَا الجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ <br />Akan tetapi jika musafir hanya seorang diri maka wajib baginya untuk shalat bersama jamaah yang ada dan menyempurnakan shalatnya karena shalat berjamaah merupakan kewajiban sedangkan qashar shalat adalah sunnah, maka yang wajib harus didahulukan dari yang sunnah.<br />69. Apa hukumnya jika orang yang menetap shalat dibelakang orang yang safar atau sebaliknya, apakah pada saat tersebut seorang musafir boleh mengqashar shalatnya, baik jika dia menjadi makmum atau imam?<br />Jawab: Shalatnya seorang musafir dibelakang orang yang mukim dan shalatnya orang yang mukim dibelakang musafir keduanya tidak mengapa, akan tetapi jika makmumnya musafir dan imamnya adalah orang yang mukim (menetap) maka shalatnya wajib dilakukam dengan sempurna karena harus mengikuti imam, sebagaimana riwayat yang terdapat dalam musnad imam Ahmad dan Shahih Muslim dari Ibnu Abbas radiallahuanhuma bahwa beliau ditanya tentang shalat musafir di belakang orang yang menetap sebanyak empat rakaat, maka dia menjawab bahwa itulah sunnah.<br />Adapun jika seorang yang menetap shalat dibelakang musafir pada shalat yang empat rakaat maka dia harus menyempurnakan shalatnya jika imamnya memberi salam.<br />70. Dalam masalah jama' antara shalat Maghrib dan Isya karena hujan, mungkin ada terjadi satu kondisi dimana sebagian jamaah dan imam shalat Isya kemudian ada sebagian orang yang masuk ikut shalat bersama imam dengan dugaan bahwaa dia (imam) shalat Maghrib, maka bagaimanakah kedudukan shalat mereka?<br />Jawab: Mereka harus tetap duduk setelah rakaat yang ke tiga dan membaca tasyahhud dan berdoa serta melakukan salam bersamanya. Kemudian setelah itu shalat Isya untuk mendapatkan keutamaan jamaah dan melakukannya dengan urut. Yang wajib jika telah ketinggalan satu rakat maka shalatlah bersamanya dari rakat sisanya dengan niat Maghrib dan sah shalat Maghribnya. Dan jika ketinggalan lebih dari itu maka shalatlah bersamanya kemudian melengkapi rakaat yang tersisa pada mereka. Demikian juga halnya seandainya dia mengetahui bahwa shalat yang berlangsung adalah shalat Isya, maka ikutlah bersamanya dengan niat Maghrib dan melakukan sebagaimana yang telah kami sebutkan kemudian setelah itu shalat Isya, menurut pendapat yang lebih kuat diantara dua pendapat ulama.<br /><br />71. Terjadi perbedaan pendapat dalam masalah keutamaan melakukan sunat rawatib, ada yang mengatakan bahwa melakukannya termasuk sunat dan ada juga yang mengatakan bukan merupakan sunat karena shalat fardunya telah diqashar, apa pendapat syaikh dalam masalah ini? Demikian juga dengan masalah shalat sunat mutlak seperti shalat lail?<br />Jawab: Sunnah bagi seorang musafir meninggalkan shalat rawatib Zuhur, Maghrib dan Isya dan tetap melakukan sunat Fajar, untuk mencontoh Rasulullah dalam masalah ini. Demikian juga halnya dengan masalah tahajjud pada waktu malam dan shalat witir, dalam perjalanan keduanya tetap disyariatkan, karena Rasulullah melakukan hal yang demikian itu, begitu juga seluruh shalat mutlak dan shalat yang memiliki sebab seperti shalat Dhuha, shalat sunat wudhu dan shalat Kusuf (shalat gerhana), disyariatkan juga baginya sujud tilawah dan shalat Tahiyatul masjid jika dia masuk masjid untuk shalat atau untuk tujuan lain.<br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />MASALAH-MASALAH UMUM<br /><br />72. Apakah taharah merupakan syarat bagi sujud tilawah? Apakah dia harus bertakbir jika hendak sujud atau bangun dari sujud, baik dalam shalat ataupun di luar shalat? Apa yang dibaca saat sujud? Apakah terdapat doa yang ada dalam masalah ini shahih? Apakah disyariatkan salam pada sujud ini jika dilakukan di luar shalat?<br />Jawab: Sujud tilawah tidak disyaratkan baginya untuk bersuci menurut pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama dan tidak terdapat padanya salam dan takbir saat bangun darinya menurut pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama. Dan disyariatkan bertakbir saat bersujud, karena terdapat hadits Ibnu Umar radiallahuanhuma yang menunjukkan hal tersebut.<br />Sedangkan jika sujud tilawah dilakukan saat shalat, maka wajib baginya bertakbir saat hendak sujud dan saat bangun, karena Rasulullah melakukan hal tersebut dalam shalatnya saat hendak sujud dan saat hendak bangun. Terdapat riwayat shahih dari Rasulullah bahwa beliau bersabda: “Shalatlah kamu semua sebagaimana kalian melihat aku shalat “Disyariatkan dalam sujud tersebut untuk membaca zikir dan doa sebagaimana yang dibaca pada sujud waktu shalat berdasarkan umumnya hadits, diantaranya adalah: <br />اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الخَالِقِيْن <br />“Ya Allah, kepada-Mu aku bersujud dan kepada-Mu aku berserah diri, aku bersujud kepada yang menciptakan (ku) menggambar (membentuk) tubuhku, dan memecahkan (memberikan) pendengaran dan penglihatannya dengan daya dan kekuatan-Nya, maha suci Allah sebaik-baik pencipta “<br />Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari hadits Ali , bahwa Rasulullah mengucapkan zikir ini dalam sujud waktu shalat, dan telah dikemukakan sebelumnya bahwa apa yang disyariatkan dalam sujud waktu shalat juga disyariatkan dalam sujud tilawah dan terdapat riwayat dari Rasulullah bahwa beliau berdoa saat sujud tilawah sebagai berikut:<br /> اللَّهُمَّ اكْتُبْ لِيْ بِهَا عِندَكَ أَجْرًا وَامْحُ عَنِّي بِهَا وِزْرًا وَاجْعَلْهَا لِيْ عِنْدَكَ ذُخْرًا وَتَقَبَّلْهَا مِنِّي كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُد عَلَيْهِ السَّلاَم <br />“ Ya Allah tetapkanlah bagiku dari sisi-Mu pahala, dan hapuskanlah dariku dengannya dosa dan jadikanlah bagiku dari sisi-Mu simpanan dan terimalah dariku sebagaimana Engkau menerima dari hamba-Mu Daud alaihissalam “ <br />Yang wajib dalam masalah ini adalah membaca:<br />سُبْحَانَ رَبِّيَ الأَعْلَى <br />Sebagaimana yang wajib dibaca saat sujud waktu shalat, sedangkan yang lebih dari itu berupa zikir dan doa adalah sunnah. Sedangkan sujud tilawah sendiri baik dalam shalat ataupun diluar shalat adalah sunnah, sebagaimana terdapat riwayat dalam hadits Zaid bin Tsabit yang menunjukkan hal tersebut dan riwayat dari Umar yang juga menunjukkan hal tersebut. <br />73. Ada kemungkinan gerhana matahari terjadi setelah waktu Ashar, apakah shalat gerhana dapat dilaksanakan dalam waktu yang terlarang? Begitu juga halnya dengan shalat tahiyyatul masjid?<br />Jawab: Dalam kedua masalah tersebut terdapat perbedaan di antara para ulama, dan yang benar adalah boleh melakukan hal tersebut bahkan disyariatkan, karena shalat gerhana dan tahiyyatul masjid adalah shalat yang memiliki sebab. Oleh karena itu disyariatkan meskipun pada waktu yang terlarang seperti setelah Ashar dan setelah Subuh sebagaimana waktu-waktu yang lainnya berdasarkan umumnya hadits Rasulullah :<br />(( إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَصَلُّوْا وَادْعُوْا حَتَّى يَنْكَشِفَ مَا بِكُمْ )) متفق عليه.<br />“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua diantara tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya tidak terjadi gerhana karena kematian seseorang atau kehidupannya, jika kalian menyaksikannya maka shalatlah dan berdoalah hingga gerhana berlalu” (Muttafaq alaih).<br />Dan juga berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ )) متفق على صحته. <br />“ Jika salah seorang diantara kalian memasuki masjid, maka janganlah duduk hingga dia shalat dua rakaat” (Muttafaq alaih).<br />Begitu juga shalat sunat thawaf dua rakaat, seandainya seorang muslim thawaf setelah Subuh atau setelah Ashar, berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( يَا بنَيِ عَبْدِ مَنَاف لاَ تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا البَيْتِ وَصَلَّى أيّةِ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أو نَهَارٍ )) رواه الإمام أحمد وأهل السنن الأربع بإسناد صحيح عن جبير بن مطعم .<br />“Wahai Bani Abdi Manaf, janganlah kalian mencegah seseorang untuk melakukan thawaf di Baitullah dan melakukan shalat kapan saja dia suka baik siang maupun malam” (Muttafaq alaih).<br /> <br />74. Apa yang dimaksud dengan akhir shalat (دُبر الصَّلاة) dalam hadits yang menganjurkan untuk membaca doa atau zikir setiap akhir shalat, apakah yang dimaksud adalah akhir shalat atau setelah salam?<br />Jawab: Akhir shalat bisa dipahami akhirnya sebelum salam atau setelah salam langsung, dan terdapat banyak hadits shahih tentang hal tersebut dan mayoritas menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah akhir shalat sebelum salam jika berkaitan dengan doa, berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud, tatkala beliau diajarkan Rasulullah tentang tasyahhud kemudian beliau bersabda:<br />(( ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ فَيَدْعُو )) وفي لفظ: (( ثُمَّ لِيَخْتَرْ مِنَ المَسْأَلَةِ مَا شَاءَ )) متفق عليه.<br />“Kemudian hendaklah dia memilih doa yang diingininya lalu berdoa" dan dalam lafadz yang lain “Kemudian dia memilih permohonan yang dia sukai” (Muttafaq alaih).<br />Diantaranya juga adalah hadits Mu’az, bahwa Rasulullah bersabda:<br />(( لاَ تَدَعَنَّ دُبرَ كُلِّ صَلاَةٍ أَنْ تَقُوْلَ: اللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ )) أخرجه أبو داود والترمذي والنسائي بإسناد صحيح.<br />“Janganlah engkau tinggalkan disetiap akhir shalat untuk membaca“: <br />" اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ "<br /> “ Ya Allah tolonglah aku untuk berzikir kepada-Mu dan bersyukur kepada-Mu dan beribadah dengan baik kepada-Mu “ (Diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmuzi dan Nasai dengan sanad yang shahih).<br />Diantaranya juga adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Saad bin Abi Waqas dia berkata: Adalah Rasulullah disetiap akhir shalat membaca: <br />(( اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ البُخْلِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ الجُبْنِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ العُمْرِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا وَمِنْ عَذَابِ القَبْرِ )) <br />“ Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir dan aku berlindung kepada-Mu dari rasa takut dan aku berlindung kepada-Mu untuk tidak dikembalikan kepada umur yang sia-sia (pikun) dan aku berlindung kepad-Mu dari fitnah dunia dan dari azab kubur “<br />Adapun zikir-zikir yang terdapat dalam masalah ini, maka beberapa hadits yang shahih menunjukkan bahwa hal tersebut dibaca setelah salam, diantaranya adalah dengan membaca saat selesai salam:<br />أَسْتَغْفِرُ اللهَ أسْتَغْفِرُ الله أستغفر الله, الَّلهُمَّ أنت السَّلام ومِنْكَ السَّلام تَبَارَكْتَ يَا ذَا الجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ <br />Baik dia menjadi imam ataupun ma’mum, atau dia shalat sendirian. Adapun jika dia menjadi imam, maka hendaknya dia berbalik menghadapkan mukanya kepada ma’mum, dan setelah membaca zikir yang di atas, maka baik imam, ma’mum atau yang shalat seorang diri hendaknya membaca:<br />لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَـيْءٍ قَدِيْرٌ, لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الحَسَنُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنُ وَلَوْ كَرِهَ الكَافِرُوْنَ, اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الجَدُّ مِنْكَ الجَدُّ <br />Sunnah bagi setiap muslim dan muslimah untuk membaca zikir ini setelah selesai shalat lima waktu dan kemudian membaca tasbih, hamdalah dan takbir sebanyak tiga puluh tiga kali dan untuk melengkapi hingga seratus, maka bacalah:<br />لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَـيْءٍ قَدِيْرٌ <br />Demikianlah semuanya terdapat riwayatnya dari Rasulullah , dan setelah itu hendaklah membaca ayat kursi sekali dan membaca surat Al-Ikhlas serta mu’awwizatain (Al-Falaq dan An-Nas) setiap habis shalat sekali dengan bacaan pelan, kecuali pada shalat Maghrib dan Subuh maka disunnahkan baginya untuk mengulangi bacaan ketiga surat tersebut sebanyak tiga kali, disunnahkan pula bagi muslim dan muslimah setelah shalat Fajar dan Maghrib untuk membaca:<br />لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ يُحْيِ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَـيْءٍ قَدِيْرٌ <br />Sebanyak sepuluh kali, sebagai tambahan atas bacaan sebelumnya dan sebelum membaca ayat Kursi dan ketiga surat yang telah disebutkan, sebagai pengamalan atas hadits-hadits shahih yang berkaitan dengan masalah ini.<br />75. Apa hukumnya zikir yang dilakukan secara berbarengan sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang, Apakah sunnahnya dalam masalah ini mengeraskan suara atau menyembunyikannya?<br />Jawab: Yang disunnahkan adalah mengeraskan bacaan zikir setelah shalat lima waktu dan setelah shalat Jum’at setelah salam, sebagaimana terdapat riwayat dalam Ash-Shahihain dari Ibnu Abbas radiallahuanhuma, bahwa beliau mengeraskan suaranya saat zikir dan setelah melaksanakan shalat fardhu, hal tersebut dilakukan pada zaman Rasulullah , Ibnu Abbas berkata: “Aku mengetahui mereka shalat jika aku mendengarnya“<br />Adapun melakukan secara berbarengan dimana satu sama lain saling memadukan suaranya dari awal hingga akhir dan saling mengikuti, hal tersebut tidak terdapat dasarnya, justru itu adalah bid’ah, yang disyari’atkan adalah melakukan zikrullah semuanya tanpa satu sama lain saling mengikuti suaranya, dari awal hingga akhir.<br />76. Jika seseorang berbicara saat shalat karena lupa apakah shalatnya batal?<br />Jawab: Jika seorang muslim berbicara saat shalat karena lupa atau tidak tahu maka shalatnya tidaklah batal karenanya, baik itu shalat fardhu atau shalat sunat, berdasarkan firman Allah : <br /> <br />“ Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah “ ( Al Baqarah: 286).<br />Terdapat riwayat shahih dari Rasulullah bahwa Allah berfirman: “Aku telah melakukannya (tidak menghukum orang yang lupa dan tersalah)”<br />Terdapat dalam Shahih Muslim dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Silmi bahwa dia menjawab orang yang batuk saat shalat karena tidak tahu atas hukum syar’i, maka orang-orang yang berada di sekelilingnya mengingkarinya dengan memberikan isyarat, maka dia bertanya kepada Nabi tentang hal tersebut dan nabi tidak menyuruhnya untuk mengulanginya, sedangkan orang yang lupa seperti orang yang tidak tahu bahkan justru lebih utama, karena Rasulullah berbicara saat shalat karena lupa dan dia tidak mengulanginya bahkan justru meneruskan shalatnya sebagaimana yang terdapat dalam Ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah dalam kisah Dzul Yadain dan juga sebagaimana yang terdapat dalam Shahih Muslim dari hadits Ibnu Mas’ud dan Imran bin Hushain radiallahuanhum. <br />Sedangkan memberi isyarat dalam shalat tidaklah mengapa jika terdapat keperluan di dalamnya.<br /><br />Jawaban ini didiktekan <br />oleh orang yang mengharap ampunan Rabb-nya:<br /><br />Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz<br /><br />Semoga Allah memberi ampunan kepadanya,<br />Shalawat serta salam kepada nabi Muhammad ,<br />Makkah Al-Mukarramah - <br />Dzul Hijjah tahun 1412 H<br /> <br /><br />TATA CARA SHALAT NABI <br /><br />Segala puji bagi Allah semata, shalawat serta salam kepada hamba dan rasul-Nya Muhammad dan keluarganya serta shahabatnya.<br />Ini adalah uraian singkat yang menerangkan tentang sifat shalat Nabi , saya sampaikan kepada seluruh muslim dan muslimah, agar setiap orang yang membacanya berusaha untuk mengikuti Rasulullah dalam masalah ini, sebagaimana haditsnya: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” Riwayat Bukhari.<br />Berikut penjelasannya:<br />1. Melakukan wudhu dengan sempurna, yaitu sebagaimana yang Allah perintahkan dalam firman-Nya:<br /> <br />“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…” (Al Maidah: 6).<br />Hadits Rasulullah:<br />(( لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ )) رواه مسلم في صحيحه.<br />“Tidak diterima shalat tanpa thaharah dan shadaqah dari harta yang tidak halal” (Riwayat Muslim dalam Shahihnya)<br />2. Menghadap Kiblat -yaitu Ka’bah- dimana saja dia berada dengan seluruh badannya seraya menghadirkan hatinya (niat) untuk melakukan shalat yang diinginkannya (fardhu atau sunnah), lisannya tidak melafazkan niat, karena melafazkan niat dengan lisan tidak disyariatkan bahkan perbuatan tersebut adalah bid’ah karena Rasulullah tidak melafazkan niat begitu juga halnya dengan para shahabat , dan disunnahkan baginya untuk membuat sutrah (pembatas) didepannya jika dia menjadi imam atau shalat sendirian berdasarkan perintah Rasulullah dalam masalah ini.<br />3. Melakukan Takbiratul Ihram, seraya berkata: “ الله أكبر " sementara pandangannya diarahkan ke tempat sujud.<br />4. Mengangkat kedua tangan saat takbir hingga sejajar dengan pundak atau kedua ujung telinga.<br />5. Meletakkan kedua tangan di dada, tangan kanan diatas telapak tangan kiri, pergelangan tangan. Berdasarkan hadits Wa’il Ibnu Hujr dan Qubaishah bin Halb Ath-Tho’i dari bapaknya radiallahuanhuma.<br />6. Disunnahkan untuk membaca Doa Istiftah, yaitu:<br />(( اللَّهَمَّ بَاعِدْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطَايَاي كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَاي بِالمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ )) متفق على صحته من حديث أبي هريرة عن النبي .<br />Jika ingin dia dapat menggantinya dengan bacaan yang lain, misalnya:<br />سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ <br />Karena ada riwayat tersebut dari Nabi , dan jika dia membaca selain keduanya dari doa Istiftah yang shahih dari Rasulullah tidaklah mengapa, akan tetapi yang lebih utama membacanya secara bergantian agar dapat mengamalkan semuanya, kemudian setelah itu membaca:<br />أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ . بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. <br />Lalu membaca surat Al-Fatihah, berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ )) <br />“Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (surat Al-Fatihah) “<br />Setelah selesai membaca: “آمِـــــــيْن “ dengan suara keras pada shalat yang bacaannya keras (jahriyah) dan membaca pelan pada shalat yang bacaannya pelan (sirriyah), setelah itu membaca surat dari Al-Quran, dan yang lebih utama pada shalat Zuhur, Ashar dan Isya membaca surat yang sedang (أوْسَاط المفَصَّل) sedangkan dalam shalat Fajar membaca surat yang panjang dan pada shalat Maghrib membaca surat-surat pendek, kadang pada shalat Maghrib membaca surat yang panjang dan yang sedang, sebagaimana riwayat yang terdapat dari Rasulullah , disyariatkan pada shalat Ashar untuk lebih cepat pelaksanaannya dari shalat Zuhur.<br />7. Melakukan ruku’ seraya bertakbir dan mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan pundak atau kedua telinga dan menjadikan kepala sejajar dengan punggung, tangan diletakkan pada kedua lutut dengan membuka jemari serta thuma’ninah dalam ruku’seraya mengucapkan: <br />سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ<br />Lebih utama jika diulang sebanyak tiga kali atau lebih, disunnahkan pula membaca:<br /> سُبْحَانَكَ الَّلهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْلِي <br />8. Mengangkat kepala dari ruku’ sambil mengangkat kedua tangan sejajar dengan pundak atau telinga seraya membaca:<br /> سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ <br />Hal tersebut dilakukan jika dia menjadi imam atau shalat seorang diri. Dan setelah berdiri, membaca:<br /> رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْداً كَثِيْراً طَيِّباً مُبَارَكًا فِيْهِ مِلْءُ السَّمَوَاتِ وَمِلْءُ الأَرْضِ وَمِلْءُ مَا بَيْنَهُمَا وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ <br />Dapat ditambah dengan bacaan berikut:<br /> أَهْلُ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ, أَحَقُّ مَا قَالَ العَبْدُ وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ, اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ <br />Jika ditambah dengan bacaan tersebut bagus, sebab terdapat riwayat mengenai hal tersebut dalam beberapa hadits yang shahih.<br />Adapun jika dia menjadi makmum, maka saat berdiri dia membaca:<br /> رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ<br />Hingga seterusnya sebagaimana yang telah disebutkan diatas.<br />Dan disunnahkan bagi semuanya -saat I’tidal- untuk meletakkan kedua tangan di atas dada, sebagaimana yang dia lakukan saat berdiri sebelum ruku’, karena terdapat riwayat dari Rasulullah yang menunjukkan hal tersebut, dari hadits Wa’il bin Hujr dan Sahl bin Sa’ad radiallahuanhuma.<br />9. Bersujud sambil bertakbir dengan meletakkan kedua lutut terlebih dahulu sebelum kedua tangan jika mudah baginya, tetapi jika sulit maka boleh baginya untuk meletakkan kedua tangan sebelum lutut. Seluruh jari tangan dan kaki menghadap Kiblat, jari jemari tangannya dirapatkan, dan sujud diatas tujuh anggota: Kening bersama hidung, kedua tangan, kedua lutut dan jari jemari kaki. Kemudian membaca:<br />سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلىَ<br />“Maha Suci Allah yang Maha Tinggi” <br />Diulangi sebanyak tiga kali atau lebih, dan disunnahkan untuk membaca:<br /> سُبْحَانَكَ الُّلهَمَّ رَبّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْلِي <br />Memperbanyak untuk membaca doa, sebagaimana hadits Rasulullah :<br />(( أَمَّا الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوْا فِيْهِ الرَّبَّ، وَأَمَّا السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ ))<br />“Ketika ruku’ maka agungkanlah (nama) Rabbmu. Dan ketika sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a, karena do’a kalian layak untuk dikabulkan”.(HR. Muslim).<br />Dan juga berdasarkan haditsnya:<br />(( أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوْا مِنَ الدُّعَاءِ ))<br />“Kondisi dimana seorang hamba paling dekat dengan Rabbnya adalah di saat ia sedang sujud, karena itu perbanyaklah do’a”. (HR. Muslim).<br />Orang yang shalat dapat memohon kepada Rabb-nya baginya dan bagi yang lainnya dari kebaikan dunia dan akhirat, baik dalam shalat sunat atau fardhu.<br />Kedua lengannya direnggangkan dari lambungnya dan perutnya direnggangkan dari pahanya, sementara pahanya direnggangkan dari betisnya, dan pergelangan tangannya diangkat dari bumi, berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( اِعْتَدِلُوْا فِي السُّجُوْدِ, وَلاَ يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِراَعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ )) متفق عليه.<br /> “Tegaklah dalam sujud kalian, jangan ada salah seorang dari kalian yang meletakkan kedua lengannya seperti seekor anjing.”<br />10. Mengangkat kepala sambil bertakbir, Menjadikan kaki kirinya sebagai alas dan dia duduk di atasnya, sementara telapak kaki kanan ditegakkan, kedua tangan diletakkan di atas kedua paha dan kedua lutut, sambil membaca:<br /> رَبِّ اغْفِرْلِي, رَبِّ اغْفِرْلِي, رَبِّ اغْفِرْلِي, الَّلهُمَّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَارْزُقْنِي وَعَافِنِي وَاهْدِنِي وَاجْبُرْنِي<br />Thuma’ninah saat sujud hingga semua sendi tulang kembali kepada posisinya semula, sebagaimana waktu i’tidal setelah ruku’, karena Rasulullah memanjangkan waktu i’tidal setelah ruku’ dan duduk diantara dua sujud.<br />11. Melakukan sujud yang kedua sambil bertakbir, dan melakukan sebagaimana yang dilakukan pada sujud yang pertama.<br />12. Mengangkat kepala sambil bertakbir, dan duduk sesaat sebagaimana duduk diantara dua sujud, dinamakan duduk istirahat, dan hal tersebut disunnahkan menurut pendapat yang lebih kuat diantara dua pendapat para ulama, jika ditinggalkan tidaklah mengapa, tidak terdapat di dalamnya zikir ataupun do’a, kemudian berdiri untuk meneruskan rakaat kedua dengan bertopang kepada lututnya jika memungkinkan baginya, jika tidak memungkinkan baginya maka dia dapat bertopang dengan kedua tangan. Kemudian (setelah tegak berdiri) membaca Al-Fatihah dan Surat lain dari Al-Quran setelahnya sebagaimana pada rakaat pertama dan melakukan sebagaimana yang dilakukan pada rakaat pertama. Tidak dibolehkan bagi makmum untuk mendahului imam, karena Rasulullah melarang hal yang demikian itu, dan makruh jika membarenginya tanpa adanya jeda dan setelah selesai suaranya, sebagaimana hadits Rasulullah :<br />(( إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَلَا تَخْتَلِفُوْا عَلَيْهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا, وَإِذاَ قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ, فَقُوْلُوْا: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ, فَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوْا ))<br />“Imam hanya dijadikan untuk diikuti, karenanya janganlah kalian menyelisihi imam, apabila imam takbir, maka takbirlah, apabila imam mengucapkan “sami’allaahu liman hamidah” maka ucapkanlah: “Rabbanaa wa lakal hamd.” Apabila imam sujud, maka sujudlah". (HR. Bukhari dan Muslim).<br />13. Jika shalatnya terdiri dari dua rakaat, seperti shalat Fajar, shalat Jum’at dan shalat Ied, maka hendaknya dia duduk dari sujud yang kedua dengan menegakkan kaki kanannya dan menjadikan kaki kirinya sebagai alas. Meletakkan tangan kanannya diatas paha kanan dan tangan kiri diatas paha kiri. Menggenggam semua jari-jari kecuali telunjuk dan memberikan isyarat tauhid saat menyebut nama Allah dan saat berdoa. Jika jari kelingking dan jari manis digenggam, ibu jari dan jari tengah membentuk lingkaran sementara telunjuknya memberikan isyarat maka hal tersebut bagus. Karena kedua cara ini terdapat riwayatnya dari Rasulullah , yang utama adalah jika melakukan keduanya secara bergantian. Tangannya diletakkan diatas paha dan lutut kiri, kemudian saat duduk membaca tasyahhud, yaitu:<br /> التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَواتُ وَالطَّيِّبَاتُ, السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه, السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْن, أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه<br />Setelah itu membaca:<br /> اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّد, وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ, كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ, وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ, وَبَارِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ, وَآلِ مُحَمَّدٍ, كَمَا بَارَكْتَ علَىَ إِبْرَاهِيْمَ, وَآلِ إِبْرَاهِيْم إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْد <br />Dan kemudian berlindung kepada Allah dari empat perkara dengan membaca:<br />الَّلهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ, وَمِنْ عَذِابِ القَبْرِ, وَمِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالمَمَاتِ, وَمِنْ فِتْنَةِ المَسِيْحِ الدَّجَّال <br />“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari azab Jahannam dan dari azab kubur dan dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari fitnah Al-Masih Dajjal“<br />Kemudian setelah itu dia berdoa sekehendak hatinya dari kebaikan dunia dan akhirat, dan jika dia berdoa untuk kedua orang tuanya dan kaum muslimin pada umumnya tidaklah mengapa, baik pada shalat fardhu ataupun shalat sunat berdasarkan umumnya hadits Rasulullah , dan terdapat dalam hadits Ibnu Mas’ud, saat Rasulullah mengajarkannya tasyahhud (beliau bersabda):<br />(( ثُمَّ لِيَخْتَرْ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ فَيَدْعُو ))<br />“Kemudian pilihlah doa yang disukainya dan berdoa (dengannya) “<br />Dan dalam redaksi yang lain:<br />(( ثُمَّ لِيَخْتَرْ مِنَ الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ )) <br />“Kemudian pilihlah permintaan yang dikehendakinya “<br />Permintaannya dapat berupa apa saja yang memberikan manfaat bagi seorang hamba di dunia dan akhirat. Kemudian setelah itu melakukan salam ke kanan dan ke kiri sambil mengucapkan:<br />اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ ... اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ<br />14. Jika shalatnya terdiri dari tiga rakaat seperti Maghrib, atau empat rakaat seperti Zuhur, Ashar dan Isya, maka dia membaca tasyahhud yang telah disebutkan dan membaca shalawat atas Nabi, kemudian setelah itu bangun dengan bertopang pada lutut dengan mengangkat kedua tangan sejajar dengan pundak, sambil mengucapkan: "الله أكبر" dan meletakkan kedua tangan diatas dada sebagaimana yang telah lalu, kemudian membaca Al-Fatihah saja. Jika sekali-kali pada rakaat ketiga dan keempat pada shalat Zuhur dia membaca surat sebagai tambahan atas Al Fatihah maka tidaklah mengapa, karena terdapat riwayat dari Nabi yang menunjukkan hal tersebut, yaitu dari hadits Abu Said . Kemudian melakukan tasyahhud setelah rakaat ketiga pada shalat Maghrib, dan setelah rakaat keempat pada shalat Zuhur, Ashar dan Isya, lalu membaca shalawat atas Nabi dan berlindung kepada Allah dari azab Jahannam, azab kubur, fitnah kehidupan dan kematian serta fitnah Dajjal, dan memperbanyak membaca doa, di antara doa yang disyari’atkan dalam hal ini dan di kesempatan yang lain adalah:<br /> رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار<br />Sebagaimana terdapat riwayat dari Anas radiallahuta’ala anhu, dia berkata: “ Doa yang paling sering dibaca Nabi adalah:<br />رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار<br />Semua tersebut sebagaimana yang dilakukan pada shalat yang terdiri dari dua rakaat, akan tetapi duduknya dengan cara tawarruk, yaitu dengan meletakkan kaki kiri di bawah kaki kanannya, sementara dia duduk di atas lantai dengan menegakkan kaki kanannya, sebagaimana hadits Abu Humaid dalam masalah ini, kemudian setelah itu melakukan salam ke kanan dan ke kiri sambil mengucapkan:<br />اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ ... اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ<br /> (Selesai salam) hendaklah membaca istighfar sebanyak tiga kali, setelah itu mengucapkan:<br />اَللَّــهُمَّ أَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا اْلجَلالِ وَاْلإكْرَامِ, لاَ إِلَهَ إِلا الله ُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ وَ لَهُ اْلحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِالله. اَللَّــهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا اْلجَدِّ مِنْكَ اْلجَدُّ, لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِالله. وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ. لَهُ النِّعْمَةُ وَ لَهُ اْلفَضْلُ وَ لَهُ الثَّنَاءُ اْلحَسَنُ. لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ مُخْلِصِـيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ اْلكَافِرُوْنَ. <br />“Ya Allah, Engkau Maha Sejahtera, dari Engkaulah datangnya kesejahteraan, Engkau Maha Berkah, wahai yang mempunyai Keagungan dan Kemuliaan, tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya segala pujian. Dia berkuasa atas segala sesuatu. Ya Allah tidak ada yang mampu menghalangi apa yang Engkau berikan, tidak ada yang mampu memberi sesuatu yang Engkau tolak, dan tidak ada gunanya bagi Engkau kekayaan manusia, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Engkau, ya Allah. Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah. Kami tidak menyembah selain Dia. Bagi-Nya kenikmatan, bagi-Nya anugrah, dan bagi-Nya pujian yang baik. Tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah. Kami mengikhlaskan dien ini (agama ini) karena-Nya, meskipun orang-orang kafir membenci.”<br />Kemudian membaca tasbih (سبحان الله), hamdalah (الحمد لله) dan takbir (الله أكبر), masing-masing sebanyak tiga puluh tiga kali, dan disempurnakan menjadi seratus dengan membaca:<br />لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ وَلَهُ اْلحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.<br />“Tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya segala pujian. Dia berkuasa atas segala sesuatu.”<br />Setelah itu membaca Ayat Kursi, lalu surat Al-Ikhlas, Al-Mu’awwizatain (Al-Falaq dan An-Nas) setiap kali selesai shalat, dan disunnahkan untuk mengulanginya sebanyak tiga kali setiap selesai shalat Fajar dan shalat Maghrib, karena terdapat riwayat tentang hal tersebut dari Nabi. Disunnahkan juga setiap selesai shalat Fajar dan Maghrib untuk menambah zikir yang terdahulu dengan membaca:<br />لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ وَ لَهُ اْلحَمْدُ يُـحْيِيْ وَيُـمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ<br />"Tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala kerajaan dan bagi-Nyalah segala pujian, Dialah Dzat Yang Menghidupkan dan Mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu".<br />Sebanyak sepuluh kali, berdasarkan riwayat tentang hal tersebut dari Nabi.<br /> Jika dia menjadi imam, maka hendaklah berbalik dan menghadapkan wajahnya kepada jamaah setelah membaca istighfar tiga kali dan setelah membaca:<br />اَللَّــهُمَّ أَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا اْلجَلالِ وَاْلإكْرَامِ<br />"Ya Allah Engkau Maha Sejahtera, dari-Mu kesejahteraan, Maha Berkah Engkau wahai Dzat yang memiliki Keagungan dan Kemuliaan".<br />Kemudian setelah itu membaca zikir-zikir yang telah disebutkan, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh sekian banyak hadits dari Nabi , di antaranya adalah hadits Aisyah radiallahuanha dalam shahih Muslim dan semua zikir tersebut adalah sunnah dan bukan fardhu.<br />Disunnahkan bagi setiap muslim dan muslimah untuk melakukan shalat sebelum shalat Zuhur sebanyak empat rakaat dan setelahnya dua rakaat, setelah shalat Maghrib dua rakaat, setelah shalat Isya dua rakaat, sebelum shalat Subuh dua rakaat, seluruhnya dua belas rakaat, semua shalat itu dinamakan “rawatib”. Rasulullah selalu melakukannya dalam keadaan menetap, adapun jika dalam perjalanan dia meninggalkannya kecuali shalat sunat Fajar dan shalat Witir, karena Rasulullah selalu menjaganya baik saat menetap atau dalam perjalanan, maka kita harus meneladaninya, karena Allah berfirman:<br /> <br />“Sungguh bagi kalian dalam diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik “ (Al-Ahzab: 21).<br />Dan berdasarkan sabda Rasulullah :<br />(( صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي )) رواه البخاري.<br />“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat “ (HR.Bukhari).<br />Yang utama melakukan sunnah rawatib ini di rumah, jika dilakukan di masjid tidak mengapa berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( أَفْضَلُ صَلاَةِ المَرْءِ فِيْ بَيْتِهِ إِلاَّ الصَّلاَة المَكْتُوْبَة )) متفق على صحته.<br />“Shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang di rumahnya kecuali shalat fardhu “ (Muttafaq alaih).<br />Menjaga shalat rawatib merupakan salah satu sebab untuk masuk syurga, sebagaimana terdapat riwayat dalam Shahih Muslim dari Ummu Habibah radiallahuanha, bahwasanya dia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:<br />(( مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِيْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ ))<br />“Barang siapa melaksanakan shalat sunnah 12 raka'at setiap hari, maka akan disediakan untuknya rumah di surga”. (HR. Muslim).<br />Imam Turmuzi telah memberikan penafsiran dalam hadits ini sebagaimana yang telah kami sebutkan. Jika seseorang shalat empat rakaat sebelum shalat Ashar, dua rakaat sebelum shalat Maghrib dan dua rakaat sebelum shalat Isya, maka itu adalah baik, berdasarkan hadits Rasulullah :<br />(( رَحِمَ اللهُ امْرَءاً صَلَّى أَرْبَعاً قَبْلَ العَصْرِ )) رواه أحمد وأبو داود والترمذي وحسنه, وابن خزيمة وصححه وإسناده صحيح.<br />“Semoga Allah memberi rahmat kepada orang yang shalat empat rakaat sebelum Ashar “ (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Turmuzi dan Ibnu Khuzaimah).<br />Juga berdasarkan hadits Rasulullah <br />(( بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ ثُمَّ قَالَ فِيْ الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ)) رواه البخاري.<br />“Antara dua azan (terdapat) shalat, antara dua azan terdapat shalat”, kemudian kali yang ketiga beliau bersabda: “bagi siapa yang suka “ (Riwayat Bukhari).<br />Demikianlah apa yang disampaikan oleh Al-Faqir Ila Rabbihi, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Semoga Allah selalu memperkenankannya, mengampuninya dan kedua orang tuanya.<br />وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وأصحابه أجمعين وأتباعه بإحسان إلى يوم الدين.<br /><br /></span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-64595188830882677022009-09-08T01:46:00.006+07:002009-10-28T20:09:13.762+07:00Masalah Haid, istihadhah, dan nifasSegala Puji bagi Allah. Hanya kepada-Nya kita memuji, memohon pertolongan, meminta ampunan dan bertaubat. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa yang ditunjuki Allah maka tiada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka tiada yang dapat menunjukinya. Aku bersaksi bahwa tiada Sembahan yang Haq selain Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada beliau, kepada keluarga dan para shahabatnya serta siapapun yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kemudian.<br />Sungguh, masalah darah yang biasa terjadi pada kaum wanita, yaitu Haid, istihadhah, dan nifas, merupakan masalah penting yang perlu dijelaskan dan diketahui hukumnya, perlu dipilah mana yang benar dan yang salah dari pendapat para ulama dalam masalah ini. Dan hendaknya yang menjadi sandaran dalam memperkuat dan memperlemah pendapat dalam hal tersebut adalah dalil dari Kitab dan Sunnah, karena keduanya merupakan sumber utama yang menjadi landasan dalam beribadah, yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada para hamba-Nya.<br /><br /><span class="fullpost"><br />Juga, karena bersandar kepada Kitab dan Sunnah akan membawa kepada ketenangan jiwa, kebahagiaan dan kepuasan batin serta membebaskan diri dari tanggungan.<br />Sedangkan, selain Kitab dan Sunnah tidak dapat dijadikan hujjah, sebab yang sebenarnya hanyalah yang terdapat dalam firman Allah, sabda Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkataan Ahli ilmu dari para shahabat, menurut pendapat yang kuat, dengan syarat tidak menyalahi apa yang ada dalam Kitab dan Sunnah, serta tidak bertentangan dengan perkataan shahabat yang lain.<br />Andaikata menyalahi apa yang ada dalam Kitab dan Sunnah, maka wajib diambil apa yang ada dalam Kitab dan Sunnah. Dan jika bertentangan dengan perkataan shahabat yang lain, maka perlu dilakukan tarjih di antara kedua pendapat tersebut dan diambil mana pendapat yang kuat. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:<br /> <br />“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. AnNisaa:59).<br />Dan risalah ringkas ini merupakan penjelasan tentang masalah yang mendesak tersebut, yakni darah kebiasaan kaum wanita dan hukum-hukumnya, yang pembahasannya meliputi:<br />Pasal I: Makna haid dan hikmahnya.<br />Pasal II: Usia dan masa haid.<br />Pasal III: Hal hal diluar kebiasaan haid.<br />Pasal IV: Hukum-hukum haid.<br />Pasal V: Istihadhah dan hukum-hukumnya.<br />Pasal VI: Nifas dan hukum-hukumnya.<br />Pasal VII :penggunaan alat pencegah atau perangsang haid, pencegah kehamilan dan penggugur kandungan.<br /> <br /><br />PASAL I<br />MAKNA HAID DAN HIKMAHNYA<br /><br />1. MAKNA HAID<br />Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut syara’ ialah: darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena haid adalah darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.<br /><br />2. HIKMAH HAID<br />Adapun hikmahnya, karena janin yang ada di dalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana yang dimakan anak diluar kandungan, dan tidak mungkin bagi si ibu untuk menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka Allah subhanahu wa ta'ala telah menjadikan pada diri kaum wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang sampai kepada tubuh janin melalui tali pusar, di mana darah tersebut merasuk melalui plasenta dan menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta.<br />Inilah hikmah haid. Karena itu, apabila seorang wanita sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan haid lagi, kecuali jarang sekali. Demikian pula wanita yang menyusui sedikit yang haid, terutama pada awal masa menyusui.<br /><br /> <br /><br />PASAL II<br />USIA DAN MASA HAID<br /><br /> 1- USIA HAID<br />Usia haid biasanya antara 12 sampai 50 tahun. Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya.<br />Para ulama, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi usia haid, di mana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut?<br />Ad Darimi, setelah menyebutkan pendapat-pendapat dalam masalah ini, mengatakan: “hal ini semua, menurut saya keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimanapun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu”.<br />Pendapat Ad Darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.<br />Jadi kapanpun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun atau di atas 50 tahun. Sebab Allah subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut. Maka dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan pada masalah di atas tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut.<br /><br />2- MASA HAID<br />Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini.<br />Ibnu Al Mundzir mengatakan: “Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”.<br />Pendapat ini seperti pendapat Ad Darimi di atas dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al Qur’an, Sunnah dan logika.<br />Dalil pertama: <br />Firman Allah subhanahu wa ta'ala:<br /> <br />“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “haid itu adalah suatu kotoran”, oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci…” (QS. Al Baqarah: 222).<br />Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari semalam, atau tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat (alasan) hukum (larangan menjauhui istri) adalah haid, yakni ada atau tidaknya. Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci (tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.<br />Dalil kedua:<br />Diriwayatkan dalam shahih Muslim bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang haid ketika dalam keadaan Ihram untuk umrah:<br />(( افْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِي بِالبَيْت حَتَّى تَطْهُرِي ))<br />“lakukankanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci” (HR. Muslim: 4/30).<br />Kata Aisyah: “Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci”.<br />Dalam shahih Al-Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah:<br />(( انْتَظِرِيْ، فَإِذَا طَهُرْتِ فَاخْرُجِي إِلَى التَنْعِيْم ))<br />“Tunggulah, jika kamu suci, maka keluarlah ke Tan’im”.<br />Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu, ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.<br />Dalil ketiga:<br />Bahwa pembatasan dan rincian yang disebutkan para fuqaha’ dalam masalah ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal ini masalah penting, bahkan amat mendesak untuk dijelaskan. Seandainya batasan dan rincian tersebut termasuk yang wajib difahami oleh manusia dan diamalkan dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala, niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan, dan hukum lainnya. Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan tentang shalat: jumlah bilangan rakaatnya, waktu-waktunya, ruku’ dan sujudnya; tentang zakat: jenis hartanya, nisabnya, persentasenya, dan siapa yang berhak menerimanya, tentang puasa; waktu dan masanya, tentang haji dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etika makan, minum, tidur, jima’ (hubungan suami-istri), duduk, masuk dan keluar rumah, buang hajat,, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang merupakan kelengkapan agama dan kesempurnaan nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kaum mu’minin.<br />Firman Allah ta’ala:<br /> <br /> “…Kami turunkan kepadamu Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS. An Nahl: 89).<br /> <br /> “…Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu…". (QS. Yusuf: 111).<br />Oleh karena itu pembatasan dan rincian tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka nyatalah bahwa hal itu tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya dijadikan patokan adalah keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan hukum-hukum syara’ menurut ada atau tidak adanya haid.<br />Dalil ini –yakni suatu hukum tidak dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah- berguna bagi anda dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya, karena hukum syar’i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil syar’i dari kitab Allah, atau Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau ijma’ yang diketahui, atau qiyas yang shahih.<br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya mengatakan: “Di antara sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam Kitab dan Sunnah yaitu sebutan haid. Allah tidak menentukan batas minimal dan maksimalnya, ataupun masa suci di antara dua haid. Padahal umat membutuhkannya dan banyak cobaan yang menimpa mereka karenanya. Bahasapun tidak membedakan antara satu batasan dengan batasan lainnya. Maka barang siapa menentukan suatu batasan dalam masalah ini, berarti ia telah menyalahi Kitab dan Sunnah. (Risalah fil asmaa allati ‘allaqa Asy Syaari al ahkaama bihaa, hal: 35). <br />Dalil keempat:<br />Logika atau qiyas yang benar dan umum sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan illat (alasan) haid sebagai kotoran. Maka manakala haid itu ada, berarti kotoranpun ada. Tidak ada perbedaan antara hari kedua dengan hari pertama, antara hari keempat dengan hari ketiga. Juga tidak ada perbedaan antara hari ke enam belas dengan hari ke lima belas, atau hari ke delapan belas dengan hari ke tujuh belas. Haid adalah haid dan kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat illat yang sama. Jika demikian, bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum di antara kedua hari itu, padahal keduanya sama dalam illat? Bukankah menurut Qiyas yang benar bahwa kedua hari tersebut sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam illat?<br />Dalil kelima:<br />Adanya perbedaan dan silang pendapat di kalangan ulama yang memberikan batasan menunjukkan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang harus dijadikan patokan. Namun semua itu merupakan hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan juga bisa benar, tidak ada satu pendapat yang lebih patut diikuti dari pada lainnya. Dan yang menjadi acuan bila terjadi perselisihan pendapat adalah Al-Qur’an dan Sunnah.<br />Jika ternyata pendapat yang menyatakan tidak ada batas minimal atau maksimal haid adalah pendapat yang kuat dan yang rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap kali wanita melihat darah alami, bukan di sebabkan luka atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali jika keluarnya darah itu terus-menerus tanpa henti atau berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari dalam sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah. Dan akan dijelaskan Insya Allah, tentang istihadhah dan hukum-hukumnya.<br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah.”<br />Kata beliau pula: “Maka darah yang keluar adalah haid, bila tidak diketahui darah penyakit atau karena luka.”<br />Pendapat ini sebagaimana merupakan pendapat yang kuat berdasarkan dalil, juga merupakan pendapat yang paling dapat dipahami dan dimengerti serta lebih mudah diamalkan dan diterapkan dari pada pendapat mereka yang memberikan batasan. Dengan demikian, pendapat inilah yang lebih patut diterima karena sesuai dengan akidah agama Islam, yaitu mudah dan gampang.<br />Firman Allah subhanahu wa ta'ala:<br /> <br />“Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS. Al Hajj: 78).<br />Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:<br />((إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوْا))<br />“Sungguh agama (Islam) itu mudah, dan tidak seseorangpun yang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka berlakulah lurus, sederhana (tidak melampaui batas) dan sebarkan kabar gembira” (HR. Al Bukhari).<br />Dan di antara akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa jika beliau diminta memilih dua perkara, maka dipilihnya yang termudah selama tidak merupakan perbuatan dosa.<br /><br />3. HAID WANITA HAMIL <br />Pada umumnya, seorang wanita jika dalam keadaan hamil akan berhenti haid (menstruasi). Kata Imam Ahmad rahimahullah: “kaum wanita dapat mengetahui adanya kehamilan dengan berhentinya haid”.<br />Apabila wanita hamil mengeluarkan darah sesaat sebelum melahirkan (dua atau tiga hari) dengan di sertai rasa sakit, maka darah tersebut adalah darah nifas, tetapi jika terjadi jauh hari sebelum kelahiran atau mendekati kelahiran tapi tidak disertai rasa sakit, maka darah itu bukan darah nifas. Jika bukan darah nifas, apakah itu termasuk darah haid yang berlaku pula baginya hukum-hukum haid atau disebut darah kotor yang hukumnya tidak seperti hukum darah haid? ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini.<br />Dan pendapat yang benar, bahwa darah tadi adalah darah haid apabila terjadi pada wanita menurut waktu haidnya. Sebab, pada prinsipnya, darah yang keluar dari rahim wanita adalah darah haid selama tidak ada sebab yang menolaknya sebagai darah haid. Dan tidak ada keterangan dalam Al Qur’an maupun Sunnah yang menolak kemungkinan terjadinya haid pada wanita hamil.<br />Inilah pendapat Imam Malik dan As Syafi'i, juga menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Disebutkan dalam kitab Al Ikhtiyar (hal: 30): “Dan dinyatakan oeh Al Baihaqi menurut salah satu riwayat sebagai pendapat dari Imam Ahmad, bahkan dinyatakan bahwa Imam Ahmad telah kembali dari pendapat ini”.<br />Dengan demikian, terjadilah sesuatu pada wanita hamil ketika haid, sebagaimana apa yang terjadi pada wanita yang tidak hamil, kecuali dalam dua masalah:<br />1. Talak. Diharamkan mentalak (mencerai) wanita tidak hamil dalam keadaan haid, tetapi itu tidak diharamkan terhadap wanita hamil. Sebab talak (perceraian) dalam keadaan haid terhadap wanita yang tidak hamil menyalahi firman Allah subhanahu wa ta'ala:<br /> <br /> “… apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)" (QS. Ath Thalaq: 1).<br />Adapun mencerai wanita hamil dalam keadaan haid tidak menyalahi firman Allah subhanahu wa ta'ala. Sebab, siapa yang mencerai wanita hamil berarti ia menceraikannya pada saat dalam menghadapi masa iddahnya, baik dalam keadaan haid atau suci, karena masa iddahnya adalah dalam kehamilan. Untuk itu, tidak diharamkan mencerai wanita hamil, sekalipun setelah melakukan jima’ (senggama), dan berbeda hukumnya dengan wanita tidak hamil.<br />2. Iddah. Bagi wanita hamil iddahnya berakhir pada saat melahirkan, meski pernah haid ketika hamil ataupun tidak. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:<br /> <br /> “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya” (QS. Ath Thalaq: 4).<br /> <br /><br />PASAL III<br />HAL-HAL DI LUAR KEBIASAAN HAID<br /><br />Ada beberapa hal yang terjadi di luar kebiasaan haid:<br />1. Bertambah atau berkurangnya masa haid.<br />Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari, tetapi tiba-tiba haidnya berlangsung sampai tujuh hari. Atau sebaliknya, biasanya haid selama tujuh hari, tetapi tiba-tiba suci dalam masa enam hari.<br /><br />2. Maju atau mundur waktu datangnya haid.<br />Misalnya, seorang wanita biasanya haid pada akhir bulan lalu, tiba-tiba haid datang pada awal bulan. Atau biasanya haid pada awal bulan, lalu tiba-tiba haid datang pada akhir bulan.<br />Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi kedua hal di atas. Namun pendapat yang benar, bahwa seorang wanita jika mendapatkan darah (haid) maka dia dalam keadaan haid dan jika tidak mendapatkannya berarti dia dalam keadaan suci, meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari kebiasaannya. Dan telah disebutkan dalam pasal terdahulu dalil yang memperkuat pendapat ini, yaitu bahwa Allah telah mengaitkan hukum-hukum haid dengan keberadaan haid.<br />Pendapat tersebut merupakan madzhab Imam Asy Syafi'i dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pengarang kitab Al Mughni pun ikut menguatkan pendapat ini dan membelanya, ia berkata: “Andikata adat kebiasaan menjadi dasar pertimbangan, menurut yang disebutkan dalam madzhab, niscaya dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya dan tidak akan ditunda-tunda lagi penjelasannya, karena tidak mungkin beliau menunda-nunda penjelasan pada saat dibutuhkan. Istri-istri beliau dan kaum wanita lainnya pun membutuhkan penjelasan itu pada setiap saat, maka beliau tidak akan mengabaikan hal itu. Namun, ternyata tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebutkan tentang adat kebiasaan ini atau menjelaskannya kecuali yang berkenaan dengan wanita yang istihadhah saja.<br /><br />3. Darah berwarna kuning atau keruh<br />Yakni seorang wanita mendapatkan darahnya berwarna kuning seperti nanah atau keruh antara kekuning-kuningan dan kehitam-hitaman.<br />Jika hal ini terjadi pada saat haid atau bersambung dengan haid sebelum suci, maka itu adalah darah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Namun jika terjadi sesudah masa suci, maka itu bukan darah haid. Berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh ummu 'Athiyah Radhiyalluhu ‘Anha:<br />(( كُنَّا لاَ نُعِدُّ الصُّفْرَةَ وَالكُدْرَة بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا ))<br />“Kami tidak menganggap sesuatu apapun (haid) darah yang berwarna kuning atau keruh sesudah masa suci”<br />Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad shahih. Diriwayatkan pula oleh Al Bukhari tanpa kalimat “sesudah masa suci”, tetapi beliau sebutkan dalam “Bab: Darah Warna Kuning Atau Keruh Di luar Masa Haid” dan dalam fathul Baari dijelaskan: “itu merupakan isyarat Al Bukhari umtuk memadukan antara hadits Aisyah yang menyatakan, “sebelum kamu melihat lendir putih” dan hadits Ummu Athiyah yang disebutkan dalam bab ini, bahwa maksud hadits Aisyah adalah saat wanita mendapatkan darah berwarna kuning atau keruh pada masa haid. Adapun di luar masa haid, maka menurut apa yang disampaikan Ummu Athiyah”.<br />Hadits Aisyah yang dimaksud yakni hadits yang disebutkan oleh Al Bukhari pada bab sebelumnya, bahwa kaum wanita pernah mengirimkan kepadanya sehelai kain berisi kapas (yang digunakan wanita untuk mengetahui apakah masih ada sisa noda haid) yang masih terdapat padanya darah berwarna kuning, maka Aisyah berkata: “janganlah tergesa-gesa sebelum kamu melihat lendir putih” maksudnya cairan putih yang keluar dari rahim pada saat habis masa haid.<br /><br /><br />4. Darah haid keluar secara terputus-putus<br />Yakni sehari keluar darah dan sehari tidak keluar. Dalam hal ini terjadi 2 kondisi:<br />1. Jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu, maka darah itu adalah darah istihadhah.<br />2. Jika kondisi ini tidak selalu terjadi pada seorang wanita tetapi kadang kala saja datang dan dia mempunyai saat suci yang tepat. Maka para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kondisi ketika tidak keluar darah. Apakah hal ini merupakan masa suci atau termasuk dalam hukum haid?<br />Madzhab Imam Asy Syafi'i, menurut salah satu pendapatnya yang paling shahih, bahwa hal ini masih termasuk dalam hukum haid, pendapat ini pun menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan pengarang kitab Al Faiq, juga merupakan madzhab Imam Abu Hanifah. Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak didapatkan lendir putih; kalaupun dijadikan sebagai keadaan suci berarti yang sebelumnya adalah haid yang sesudahnyapun haid, dan tak ada seorangpun yang menyatakan demikian, karena jika demikian niscaya masa iddah dengan perhitungan Quru’ (haid atau suci) akan berakhir dalam masa lima hari saja. Begitu pula jika dijadikan sebagai keadaan suci, niscaya akan merepotkan dan menyulitkan karena harus mandi dan lain sebagainya setiap dua hari; padahal syariat tidaklah itu menyulitkan. Walhamdulillah.<br />Adapun yang masyhur menurut madzhab pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, jika darah keluar berarti darah haid dan jika berhenti berarti suci; kecuali apabila jumlah masanya melampaui jumlah maksimal masa haid, maka darah yang melampaui itu adalah darah Istihadhah.<br />Dikatakan dalam kitab Al Mughni: “jika berhentinya darah kurang dari sehari maka seyogyanya tidak dianggap sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat yang kami sebutkan berkenaan dengan nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang dari sehari tak perlu diperhatikan. Dan inilah yang shahih, insyaallah. Sebab, dalam keadaan keluarnya darah yang terputus-putus (sekali keluar, sekali tidak) bila diwajibkan mandi bagi wanita pada setiap saat berhenti keluarnya darah tentu hal itu menyulitkan, padahal Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:<br /> <br /> “… dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu agama suatu kesempitan …” (QS. Al Hajj: 78).<br />Atas dasar ini, berhentinya darah yang kurang dari sehari bukan merupakan keadaan suci kecuali jika si wanita mendapatkan bukti yang menunjukkan bahwa ia suci. Misalnya, berhentinya darah tersebut pada akhir masa kebiasaannya atau ia melihat lendir putih (Al Mughni, juz I, Hal: 355).<br /><br />5. Terjadi pengeringan darah.<br />Yakni, si wanita tidak mendapatkan selain merasa lembab atau basah (pada kemaluannya).<br />Jika hal ini terjadi pada saat masa haid atau bersambung dengan haid sebelum masa suci, maka dihukumi sebagai haid. Tetapi jika terjadi setelah masa suci, maka tidak termasuk haid. Sebab, keadaan seperti ini paling tidak dihukumi sama dengan keadaan darah berwarna kuning atau keruh.<br /> <br /><br />PASAL IV<br />HUKUM-HUKUM HAID<br /><br />Terdapat banyak hukum haid, ada lebih dari dua puluh hukum. Dan kami sebutkan di sini hukum-hukum yang kami anggap banyak diperlukan, antara lain:<br />1. Shalat.<br />Diharamkan bagi wanita yang sedang haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunnat, dan jika ternyata mengerjakan shalat, maka shalatnya tidak sah. Tidak wajib baginya mengerjakan shalat kecuali jika ia mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk mengerjakan satu rakaat sempurna, baik pada awal atau akhir waktunya.<br />Contoh pada awal waktu, seorang wanita haid setelah matahari terbenam tetapi ia sempat mendapatkan waktu sebanyak satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya mengqadha shalat maghrib tersebut setelah suci, karena ia telah mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat sebelum datangnya haid.<br />Adapun contoh pada akhir waktu: seorang wanita suci dari haid sebelum matahari terbit dan masih sempat mendapatkan satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya mengqadha shalat subuh tersebut setelah bersuci, karena ia masih sempat mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat.<br />Namun jika wanita yang haid mendapatkan sabagian dari waktu shalat yang tidak cukup untuk satu rakaat sempurna; seperti kedatangan haid -pada contoh pertama– sesaat setelah matahari terbenam, atau suci dari haid –pada contoh kedua– sesaat sebelum matahari terbit, maka shalat tersebut tidak wajib baginya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:<br />(( مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِن الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ ))<br />“Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu” (Hadits muttafaq ‘alaih).<br />Pengertiannya, siapa yang mendapatkan kurang dari satu rakaat berarti tidak mendapatkan shalat tersebut.<br />Jika seorang wanita haid mendapatkan satu rakaat dari waktu ashar, maka wajib baginya mengerjakan shalat dzhuhur bersama ashar, atau mendapatkan satu rakaat dari waktu Isya’ apakah wajib baginya mengerjakan shalat Maghrib bersama Isya’ ?<br />Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini. Dan yang benar, bahwa tidak wajib baginya kecuali shalat yang didapatkan sebagian waktunya saja yaitu shalat Ashar dan shalat Isya’, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: <br />((مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِن العَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ العَصْرَ))<br />“Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar” (Hadits muttafaq ‘alaih).<br />Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyatakan “maka ia telah mendapatkan shalat Dzhuhur dan Ashar” juga tidak menyebutkan kewajiban shalat Dzhuhur baginya. Dan menurut kaidah: seseorang itu pada prinsipnya bebas dari tanggungan. Inilah madzhab Imam Abi Hanifah dan Imam Malik, sebagaimana disebutkan dalam kitab "syarh Al Muhadzdzab juz III, hal. 70".<br />Adapun membaca dzikir, takbir, tasbih, tahmid, dan bismillah ketika hendak makan atau pekerjaan lainnya, membaca hadits, fiqh, do’a dan aminnya, serta mendengarkan Al Qur’an, maka tidak diharamkan bagi wanita haid, hal ini berdasarkan hadits dalam shahih Al Bukhari dan Muslim dan kitab lainnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersandar di pangkuan Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang ketika itu sedang haid, lalu beliau membaca Al Qur’an.<br />Diriwayatkan pula dalam shahih Al Bukhari dan Muslim Dari Ummu Athiyah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia mendengar nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />(( يُخْرِجُ العَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الخُدُوْرِ وَالحُيَّضَ – يعني إلى صلاة العيد - وَلْيَشْهَدْنَ الخَيْرَ وَدَعْوَةَ المُسْلِمِيْنَ وَيَعْتَزِلُ الحُيَّضُ المُصَلَّى ))<br />“ Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid- yakni ke shalat Idhul Fitri dan Adha- serta supaya mereka ikut menyaksikan kebaikan dan do’a orang-orang yang beriman. Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat”<br />Sedangkan membaca Al Qur’an bagi wanita haid itu sendiri, jika dengan mata atau dengan hati tanpa diucapkan dengan lisan maka tidak apa-apa hukumnya, misalnya mushaf atau lembaran Al Qur’an diletakkan lalu matanya menatap ayat-ayat seraya hatinya membaca. menurut An Nawawi dalam kitab "Syarh Al Muhadzdzab" Juz II, hal: 362, hal ini boleh tanpa ada perbedaan pendapat.<br />Adapun jika wanita haid itu membaca Al Qur’an dengan lisan, maka banyak ulama mengharamkannya dan tidak membolehkannya. Tetapi Al Bukhari, Ibnu Jarir At Thabari dan Ibnul Mundzir membolehkannya.<br />Juga boleh membaca ayat Al Qur’an bagi wanita haid menurut Imam Malik dan Asy syafi'i dalam pendapatnya yang terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Bari, serta menurut Ibrahim An Nakha’i sebagaimana diriwayatkan Al Bukhari.<br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa kumpulan Ibnu Qasim mengatakan: “Pada dasarnya tidak ada hadits yang melarang wanita haid membaca Al Qur’an. Sedangkan pernyataan “wanita yang sedang haid dan orang junub tidak boleh membaca Al Qur’an” adalah hadits dhaif menurut kesepakatan para ahli hadits. Seandainya wanita yang sedang haid dilarang membaca Al Qur’an, seperti halnya shalat, padahal pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum wanitapun mengalami haid, tentu hal ini termasuk yang dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya, diketahui oleh istri beliau sebagai ibu kaum mu’minin, serta disampaikan sahabat kepada orang lain. Namun, tidak ada seorangpun yang menyampaikan bahwa ada larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini. Karena itu, tidak boleh dihukumi haram selama diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya, padahal banyak pula wanita haid pada zaman beliau, berarti hal ini tidak haram hukumnya.<br />Setelah mengetahui perbedaan pendapat diantara para ulama, seyogyanya, kita katakan, lebih utama bagi wanita yang sedang haid tidak membaca Al Qur’an secara lisan, kecuali jika diperlukan. Misalnya seorang guru wanita yang perlu mengajarkan membaca Al Qur’an kepada siswi-siswinya, atau seorang siswi yang pada waktu ujian perlu diuji dalam membaca Al Qur’an, dan lain sebagainya.<br /><br />2. puasa<br />Diharamkan bagi wanita yang sedang haid berpuasa, baik puasa wajib maupun sunnat, dan tidak sah puasa yang dilakukannya. Akan tetapi ia berkewajiban mengqadha’ puasa yang wajib, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha:<br />(( كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ -تعني الحيض- فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ ))<br />“Ketika kami mengalami haid, diperintahkan kepada kami mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan mengqadha’ shalat (hadits muttafaq ‘alaih).<br />Jika seorang wanita kedatangan haid ketika berpuasa maka batallah puasanya, sekalipun hal itu terjadi sesaat menjelang Maghrib, dan wajib baginya mengqadha puasa hari itu, jika puasa tersebut puasa wajib. Namun jika ia merasakan tanda-tanda akan datangnya haid sebelumnya, tetapi darah baru keluar setelah Maghrib, maka menurut pendapat yang shahih bahwa puasanya itu sempurna dan tidak batal, alasannya, darah yang masih dalam rahim belum ada hukumnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang wanita yang bermimpi dalam tidur seperti mimpinya orang laki-laki, apakah wajib mandi? beliaupun menjawab:<br />(( نَعَمْ إِذَا هِيَ رَأَت المَاءَ ))<br />"Ya, jika wanita itu melihat adanya air”.<br />Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum dengan air, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya. Demikian pula masalah haid, tidak berlaku hukum-hukumnya kecuali dengan melihat adanya darah keluar, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya.<br />Juga pada saat terbitnya fajar seorang wanita masih dalam keadaan haid maka tidak sah berpuasa pada hari itu, sekalipun ia suci sesaat setelah fajar. Tetapi jika suci menjelang fajar, maka sah puasanya, sekalipun ia baru mandi setelah terbit fajar. Seperti halnya orang dalam keadaan junub, jika berniat puasa ketika masih dalam keadaan junub dan belum sempat mandi kecuali setelah terbit fajar, maka sah puasanya. Dasarnya, hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha:<br />((كَانَ النَّبِيُّ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلاَمٍ ثُمَّ يَصُوْمُ فِي رَمَضَانَ))<br />“Pernah suatu pagi pada bulan Ramadhan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam keadaan junub karena jima’, bukan karena mimpi, lalu beliau berpuasa". (Hadits muttafaq ‘alaih).<br /><br />3. Thawaf.<br />Diharamkan bagi wanita yang sedang haid melakukan thawaf di Ka’bah, baik yang wajib maupun sunnah, dan tidak sah thawafnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah:<br />(( افْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِيْ بِالبَيْتِ حَتَّي تَطْهُرِي ))<br />“Lakukanlah apa saja yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci.”<br />Adapun kewajiban lainnya seperti sa’i antara Shafa dan marwah, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah dan amalan haji dan umrah selain itu, tidak diharamkan. Atas dasar ini, jika seorang wanita melakukan thawaf dalam keadaan suci, kemudian keluar darah haid langsung setelah thawaf atau di tengah-tengah melakukan sa’i, maka tidak apa-apa hukumnya.<br /><br />4. Thawaf wada’<br />Jika seorang wanita mengerjakan seluruh manasik haji dan umrah, lalu datang haid sebelum keluar untuk kembali ke negerinya dan haid ini terus berlangsung sampai batas waktu pulang, maka ia boleh berangkat tanpa thawaf wada’. Dasarnya hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma:<br />(( أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُوْنَ آخِرَ عَهْدِهِمْ بِالبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الحَائِضِ ))<br />“Diperintahkan kepada jamaah haji saat-saat terakhir bagi mereka berada di baitullah (melakukan thawaf wada’), hanya saja hal ini tidak dibebankan kepada wanita yang sedang haid.” (Hadits muttafaq alaih).<br />Dan tidak disunnatkan bagi wanita yang sedang haid ketika hendak bertolak, mendatangi pintu Masjidil Haram dan berdo’a. karena hal ini tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan seluruh ibadah harus berdasarkan pada ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, menurut ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaliknya. Sebagaimana disebutkan dalam kisah Shafiyah Radhiyallahu ‘anha ketika dalam keadaan haid setelah thawaf ifadhah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “kalau demikian, hendaklah ia berangkat” (hadits muttafaq alaih ) . Dalam hadits ini, Nabi tidak menyuruhnya mendatangi pintu Masjidil Haram. Andaikata hal itu disyariatkan, tentu Nabi sudah menjelaskannya.<br />Adapun thawaf untuk haji dan umrah tetap wajib bagi wanita yang sedang haid, dan dilakukan setelah suci.<br /><br />5. Berdiam dalam masjid<br />Diharamkan bagi wanita yang sedang haid berdiam dalam masjid, bahkan diharamkan pula baginya berdiam dalam tempat shalat Ied. Berdasarkan hadits Ummu Athiyah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br />(( يُخْرِجُ العَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الخُدُوْرِ، وفيه: وَيَعْتَزِلُ الحُيَّضُ المُصَلَّى ))<br />“Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid… tetapi wanita yang sedang haid menjahui tempat shalat” (muttafaq alaih).<br /><br />6. Jima’ ( senggama)<br />Diharamkan bagi suami melakukan jima’ dengan istrinya yang sedang haid, dan diharamkan bagi istri memberi kesempatan kepada suaminya melakukan hal tersebut. Dalilnya firman Allah subhanahu wa ta'ala:<br /> <br /> “Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: “haid itu suatu kotoran: oleh sebab itu hendaklah engkau menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci…" (QS. Al Baqarah: 222).<br />Yang dimaksud dengan “المحيض " dalam ayat di atas adalah waktu haid atau tempat keluarnya darah haid, yaitu: farji (vagina).<br />Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:<br />(( اصْنِعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ ))<br />“Lakukanlah apa saja kecuali nikah (yakni: bersenggama).” (HR. Muslim).<br />Umat Islam juga telah sepakat bahwa jima’ di dalam farji istri pada masa haid adalah hal yang dilarang.<br />Oleh sebab itu, tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan perbuatan ini, yang telah dilarang oleh Kitab Allah, sunnah Rasul–Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ijma’ (kesepakatan) umat Islam. Maka barang siapa yang melanggar larangan ini, berarti ia telah memusuhi Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman.<br />An Nawawi dalam kitabnya Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, juz II, hal. 374, mengatakan: “Imam Syafi'i berpendapat bahwa orang yang melakukan hal itu telah berbuat dosa besar. Dan menurut para sahabat kami dan yang lainnya, orang yang melakukan senggama dengan istri yang sedang haid hukumnya kafir.<br />Untuk menyalurkan syahwatnya, suami diperbolehkan melakukan selain jima’ (senggama), seperti berciuman, berpelukan dan bersebadan pada selain daerah farji (vagina). Namun sebaiknya, jangan bersebadan pada daerah antara pusar dan lutut kecuali jika sang istri mengenakan kain penutup. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha:<br />(( كَانَ النَّبِيُّ يَأْمُرُنِيْ فَأَتَّزِرُ فَيُبَاشِرَنِي وَأَنَا حَائِضٌ ))<br />“Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku mengenakan kain lalu beliau mencumbuiku sedang aku dalam keadaan haid.” (muttafaq alaih).<br /> <br />7. Talak<br />Diharamkan bagi seorang suami mentalak istrinya yang sedang haid, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:<br /> <br />“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya ( yang wajar)". (QS. Ath Thalaq: 1).<br />Maksudnya, istri-istri itu ditalak dalam keadaan dapat menghadapi iddah yang jelas. Berarti mereka tidak ditalak kecuali dalam keadaan hamil atau suci sebelum digauli. Sebab jika seorang istri ditalak dalam keadaan haid, ia tidak dapat menghadapi iddahnya karena haid yang sedang dialami pada saat jatuhnya talak itu tidak dihitung termasuk iddah. Sedangkan jika ditalak dalam keadaan suci setelah digauli, berarti iddah yang dihadapinya tidak jelas karena tidak dapat diketahui apakah ia hamil karena digauli tersebut apakah tidak hamil, jika ia hamil, maka iddahnya dengan kehamilan, dan jika tidak hamil maka iddahnya dengan haid. Karena belum dapat dipastikan jenis iddahnya, maka diharamkan bagi suami mentalak istrinya sehingga jelas permasalah tersebut.<br />Jadi mentalak istri yang sedang haid haram hukumnya. Berdasarkan ayat diatas dan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam shahih Al Bukhari dan Muslim serta kitab hadits lainnya, bahwa ia telah menceraikan istrinya dalam keadaan haid, maka Umar (bapaknya) mengadukan itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maka Nabipun marah dan bersabda: <br />(( مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيْضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ، وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ، فَتِلْكَ العِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ الله أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ ))<br />“Suruh ia merujuk istrinya kemudian mempertahankannya sampai ia suci, lalu haid, lalu suci lagi, setelah itu, jika ia mau, dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli, karena itulah iddah yang diperintahkan Allah dalam mentalak istri.”<br />Dengan demikian, berdosalah seorang suami andaikata mentalak istrinya yang sedang haid. Ia harus bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan merujuk istrinya untuk kemudian mentalaknya secara syar’i sesuai dengan perintah Allah subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya. Yakni, setelah merujuk istrinya hendaklah ia membiarkannya sampai suci dari haid yang dialaminya ketika ditalak, kemudian haid lagi, setelah itu jika ia menghendaki dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli.<br />Dalam hal diharamkannya mentalak istri yang sedang haid, ada tiga masalah yang dikecualikan:<br />1. Jika talak terjadi sebelum bersenggama dengan istri atau sebelum menggaulinya (dalam keadaan pengantin baru misalnya) maka boleh mentalaknya dalam keadaan haid. Sebab dalam kasus demikian, istri tidak terkena iddah. Maka talak tersebut tidak menyalahi firman Allah subhanahu wa ta'ala:<br /> <br />“…Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar). (QS. Ath Thalaq: 1).<br />2. Jika haid terjadi dalam keadaan hamil, sebagaimana yang telah dijelaskan sebabnya pada pasal terdahulu.<br />3. Jika talak tersebut atas dasar iwadh (penggantian) maka boleh bagi suami menceraikan istrinya dalam keadaan haid.<br />Misalnya terjadi percekcokan dan hubungan yang tidak harmonis lagi antara suami dan istri. Lalu si istri meminta suami agar mentalaknya dan suami mendapat ganti rugi karenanya, maka hal itu, sekalipun istri dalam keadaan haid boleh, berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu:<br />(( أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتٍ بن قَيْسٍ بن شَمَّاسٍ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ الله إِنِّيْ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِيْ خُلُقٍ وَلاَ دِيْنٍ، وَلَكِنْ أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ، فَقَـالَ النَّبِيُّ : أَتَرُدِّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَقَالَ رَسُـوْلُ الله : اقْبَل الحَدِيْقِةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيْقَةً )) رواه البخاري.<br />“Bahwa istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “ Ya Rasulullah, sungguh aku tidak mencelanya dalam akhlak maupun agamanya, tetapi aku takut akan kekafiran dalam Islam” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “ Maukah kamu mengembalikan kebunnya kepadanya? Wanita itu menjawab: “Ya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (kepada suaminya): “Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia" ( HR.Al Bukhari ).<br />Dalam hadits tadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya apakah si istri sedang haid atau suci. Dan karena talak ini dibayar oleh pihak istri dengan tebusan atas dirinya maka hukumnya boleh dalam keadaan apapun, jika memang diperlukan.<br />Dalam kitab Al mughni disebutkan tentang alasan dibolehkannya khulu’ (cerai atas permintaan istri dengan tebusan) dalam keadaan haid: “Dilarangnya talak dalam keadaan haid karena adanya madharat (bahaya) bagi istri dengan menunggu lamanya masa iddah. Sedang khulu’ adalah untuk menghilangkan madharat (bahaya) bagi si istri disebabkan adanya hubungan yang tidak harmonis dan sudah tidak tahan tinggal bersama suami yang dibenci dan tidak disenanginya. Hal ini tentu lebih besar madharatnya bagi si istri daripada menunggu lamanya masa iddah, maka diperbolehkan menghindari madharat yang lebih besar dengan menjalani sesuatu yang lebih ringan madharatnya. Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya kepada wanita yang meminta khulu’ tentang keadaannya.<br />Dan bibolehkan melakukan akad nikah dengan wanita yang sedang haid, karena hal itu pada dasarnya adalah halal. Dan tidak ada dalil yang melarangnya, namun perlu dipertimbangkan bahwa suami tidak diperkenankan berkumpul dengan istri yang sedang dalam keadaan haid. Jika tidak dikhawatirkan akan menggauli istri yang sedang haid tidak apa-apa. Sebaliknya, jika dikhawatirkan maka tidak diperkenankan berkumpul dengannya sebelum suci untuk menghindari hal-hal yang dilarang.<br /><br />8. 'Iddah talak dihitung dengan haid.<br />Jika seorang suami menceraikan istri yang telah digauli atau berkumpul dengannya, maka si istri harus beriddah selama tiga kali haid secara sempurna apabila termasuk wanita yang masih mengalami haid dan tidak hamil, hal ini berdasarkan pada firman Allah subhanahu wa ta'ala:<br /> <br /> “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’" (QS.Al Baqarah: 228).<br />Tiga kali quru’ artinya tiga kali haid. Tetapi jika istri dalam keadaan hamil maka iddahnya ialah sampai melahirkan, baik masa iddahnya itu lama maupun sebentar. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:<br /> <br /> “…Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya...” (QS.Ath Thalaq: 4).<br />Jika si istri termasuk wanita yang tidak haid, karena masih kecil dan belum mengalami haid, atau sudah menopause, atau karena pernah dioperasi pada rahimnya, atau sebab-sebab lain sehingga tidak diharapkan dapat haid kembali, maka iddahnya adalah tiga bulan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala:<br /> <br />“Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid …"(QS. Ath Thalaq: 4).<br />Jika si istri termasuk wanita yang masih mengalami haid, tetapi terhenti haidnya karena suatu sebab yang jelas seperti sakit atau menyusui, maka ia tetap dalam iddahnya sekalipun lama masa iddahnya sampai ia kembali mendapati haid dan beriddah dengan haid itu. Namun jika sebab itu sudah tidak ada, seperti sudah sembuh dari sakit atau telah selesai dari menyusui sementara haidnya tak kunjung datang, maka iddahnya satu tahun penuh terhitung mulai dari tidak adanya sebab tersebut. Inilah pendapat yang shahih yang sesuai dengan kaidah-kaidah syar’iyah. Dengan alasan, jika sebab itu sudah tidak ada sementara haid tak kunjung datang maka wanita tersebut hukumnya seperti wanita yang terhenti haidnya karena sebab yang tak jelas; maka iddahnya yaitu satu tahun penuh dengan perhitungan, sembilan bulan sebagai sikap hati-hati untuk kemungkinan hamil (karena masa kehamilan pada umumnya 9 bulan) dan tiga bulan masa iddahnya.<br />Adapun jika talak terjadi setelah akad nikah sedang sang suami belum mencampuri dan menggauli istrinya, maka dalam hal ini tidak ada iddahnya sama sekali, baik dalam keadaan haid maupun yang lain. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:<br /> <br /> “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah yang kamu minta menyempurnakannya ..” (QS. Al Ahzaab: 49).<br /><br />9. Keputusan bebasnya rahim.<br />Yakni bahwa rahim bebas dari kandungan. Ini diperlukan, selama keputusan bebasnya rahim dianggap perlu, karena hal ini berkaitan dengan beberapa masalah. Antara lain, apabila seseorang mati dan meninggalkan wanita (istri) yang kandungannya dapat menjadi ahli waris orang tersebut, padahal si wanita setelah itu bersuami lagi. Maka suaminya yang baru itu tidak boleh menggaulinya sebelum ia haid atau jelas kehamilannya. Jika telah jelas kehamilannya, maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya mendapatkan hak warisan karena kita putuskan adanya janin tersebut pada saat bapaknya mati. Namun jika wanita itu pernah haid (sepeninggal suaminya yang pertama), maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya tidak mendapatkan hak warisan, karena kita putuskan bahwa rahim wanita tersebut bebas dari kehamilan dengan adanya haid.<br /><br />10 . Kewajiban mandi<br />Wanita yang lagi haid, jika telah suci wajib mandi dengan membersihkan seluruh badannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:<br />(( إِذَا أَقْبَلَت الحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِيْ وَصَلِّيْ ))<br />“Bila kamu kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila telah suci mandilah dan kerjakan shalat" (HR. Al Bukhari).<br />Kewajiban minimal dalam mandi yaitu membasuh seluruh anggota badan dengan air sampai bagian kulit yang ada di bawah rambut. Yang lebih utama, adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala ditanya oleh Asma' binti sahl tentang mandi haid, beliau bersabda:<br />(( تَأْخُذُ إِحْدِاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَهَا فَتُطَهِّرَ فَتُحْسِنَ الطُّهُوْرَ، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتُدَلِّكُهُ دَلْكًا شَدِيْدًا، حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِِهَا، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا المَاءَ، ثُمَّ تَأْخُذُ فُرْصَةً مُمسَكَة - أَيْ قِطْعَةَ قُمَّاشٍ فِيْهَا مِسْكٌ- فَتُطَهِّر بِهَا، فَقَالَتْ أَسْمَاءُ: كَيْفَ تُطَهِّرُ بِهَا؟ فَقَالَ: سُبْحَانَ الله، فَقَالَتْ عَائِشَـةُ لَهَا: تَتْبَعِيْنَ أَثَرَ الدَّمِ ))<br />“Hendaklah seseorang di antara kamu mengambil air dan daun bidara lalu berwudhu dengan sempurna, kemudian mengguyurkan air ke bagian atas kepala dan menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga merata ke seluruh kepalanya, selanjutnya mengguyurkan air pada anggota badannya, setelah itu, mengambil sehelai kain yang ada pengharumnya untuk bersuci dengannya. Asma’ bertanya:” bagaimana bersuci dengannya? Nabi menjawab: “Subhanallah”. Maka Aisyah menerangkan dengan berkata:” Ikutilah bekas-bekas darah”. (Hadits riwayat Muslim).<br />Tidak wajib melepas gelungan rambut, kecuali jika terikat kuat dan dikawatirkan air tidak sampai ke dasar rambut. Hal ini didasarkan pada hadits yang tersebut dalam shahih Muslim dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: <br />إِنِّيْ امْرَأَةٌ أَشُدُّ شَعْرَ رَأْسِيْ أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الجَنَابَةِ؟ وَفِي رِوَايَةٍ: لِلْحَيْضَةِ وَالجَنَابَةِ؟ فَقَالَ: (( لاَ إِنَّمَا يَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِي عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيْضِيْنَ عَلَيْكِ الماَءَ فَتَطْهُرِيْنَ ))<br />“Aku seorang wanita yang menggelung rambutku, haruskah aku melepasnya untuk mandi junub? menurut riwayat lain: untuk (mandi) haid dan junub? Nabi bersabda: “Tidak, cukup kamu siram kepalamu tiga kali siraman (dengan tanganmu) lalu kau guyurkan air ke seluruh tubuhmu, maka kamupun menjadi suci”.<br />Apabila wanita yang sedang haid mengalami suci di tengah-tengah waktu shalat, maka ia harus segera mandi agar dapat mendapatkan shalat pada waktunya. Jika ia sedang dalam perjalanan dan tidak ada air, atau ada air tapi takut membahayakan dirinya jika menggunakan air, atau dalam keadaan sakit dan berbahaya baginya jika menggunakan air, maka ia boleh bertayammum sebagai ganti dari mandi sampai hal yang menghalanginya tidak ada lagi, kemudian mandi.<br />Ada di antara kaum wanita yang suci di tengah-tengah waktu shalat tetapi menunda mandi pada waktu lain, dalihnya: “tidak mungkin dapat mandi dengan sempurna pada waktu sekarang ini”. Akan tetapi ini bukan alasan ataupun halangan, karena boleh baginya mandi sekedar untuk memenuhi yang wajib dan melaksanakan shalat pada waktunya. Apabila kemudian ada kesempatan lapang, barulah ia dapat mandi dengan sempurna.<br /><br /> <br /><br />PASAL V<br />ISTIHADHAH DAN<br />HUKUM-HUKUMNYA<br /><br />1. Makna Istihadhah.<br />Istihadhah adalah keluarnya darah terus-menerus pada seorang wanita tanpa henti sama sekali atau berhenti sebentar seperti sehari atau dua hari dalam sebulan.<br />Dalil kondisi pertama, yakni keluarnya darah terus- menerus tanpa henti sama sekali, hadits riwayat Al Bukhari dari Aisyah Radhiayallahu ‘anha bahwa Fathimah binti Abu Hubaisy berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:<br />(( يَا رَسُوْلَ الله إِنِّي أُسْتَحَاضُ. وفي رواية: أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُر ))<br />“Ya Rasulullah, sungguh aku istihadhah (tak pernah suci) Dalam riwayat lain: Aku mengalami istihadhah, maka tak pernah suci”.<br />Dalam kondisi kedua, yakni darah tidak berhenti kecuali sebentar, hadits dari Hamnah binti Jahsy ketika datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:<br />(( يَا رَسُوْلَ الله إِنِّي أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَبِيْرَةً شَدِيْدَةً )) رواه أحمد وأبو داود والترمذي وصحح، ونقل عن الإمام أحمد تصحيحه وعن البخاري تحسينه.<br /> “Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami Istihadhah yang deras sekali” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At Tirmidzi dengan menyatakan shahih, disebutkan pula bahwa hadits ini menurut Imam Ahmad shahih, sedang menurut Al Bukhari hasan.<br /><br />2. Kondisi wanita mustahadhah.<br />Ada tiga kondisi bagi wanita mustahadhah:<br />1. Sebelum mengalami istihadhah, ia mengalami haid yang jelas waktunya. Dalam kondisi ini, hendaknya ia berpedoman kepada jadwal haidnya yang telah diketahui sebelumnya. Maka pada masa itu dihitung sebagai haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Adapun selain masa tersebut merupakan istihadhah yang berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.<br />Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari pada setiap awal bulan, tiba-tiba mengalami istihadhah dan darahnya keluar terus-menerus. Maka masa haidnya dihitung enam hari pada setiap awal bulan, sedang selainnya merupakan istihadhah. Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Fathimah binti Abi hubaisy bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:<br />يَا رَسُوْلَ الله إِنِّي أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُر أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ؟ (( قَالَ: لاَ، إِنَّ ذَلَكَ عِرْقٌ، وَلَكِنْ دَعِي الصَّلاَةَ قَدْرَ الأَيَّامِ الَّتِيْ كُنْتَ تَحِيْضِيْنَ فِيْهَا ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَصَلِّيْ )) رواه البخاري.<br /> “Ya Rasulullah, sungguh aku mengalami istihadhah, maka tidak pernah suci, apakah aku meninggalkan shalat? Nabi menjawab: “tidak, itu adalah darah penyakit. Namun tinggalkan shalat sebanyak hari yang biasanya kamu haid sebelum itu, kemudian mandilah dan lakukan shalat” (HR.Al Bukhari).<br />Diriwayatkan dalam shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ummu Habibah binti jahsy:<br />(( امْكُثِيْ قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَصَلِّيْ ))<br /> “Diamlah (tinggalkan shalat) selama masa haid yang biasa menghalangimu, lalu mandilah dan lakukan shalat”.<br />Dengan demikian, wanita yang dalam istihadhah yang haidnya sudah jelas waktunya, maka ia menunggu selama masa haidnya itu. Setelah itu mandi dan shalat, meskipun darah pada saat itu masih keluar.<br />2 . Tidak mempunyai masa haid yang jelas sebelum mengalami istihadhah, karena darah istihadhah tersebut terus-menerus keluar pada dirinya, sejak pertama kali ia mendapati darah. Dalam kondisi ini, hendaklah ia melakukan tamyiz (pembedaan); seperti jika darahnya berwarna hitam, atau kental, atau berbau maka yang terjadi adalah darah haid, dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Dan jika tidak demikian, yang terjadi adalah istihadhah dan berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.<br />Misalnya; seorang wanita pada saat pertama kali mendapati darah, dan darah itu keluar terus-menerus, akan ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya berwarna hitam, kemudian setelah itu berwarna merah, atau ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya kental kemudian setelah itu encer, atau ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan berbau darah haid tetapi setelah itu tidak berbau. Maka haidnya yaitu: darah yang berwarna hitam (pada kasus pertama). Darah kental (pada kasus kedua) dan darah yang berbau (pada kasus ketiga) dianggap sebagai darah haidh.<br />Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah binti abu Hubaisy:<br />(( إِذَا كَانَ دَمُ الحَيْضَةِ فَإِنَّهُ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِيْ عَن الصَّلاَةِ، فَإِذَا كَانَ الآخَرُ فَتَوَضَّئِيْ وَصَلِّيْ فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ )) رواه أبو داود والنسائي وصححه ابن حبان والحاكم.<br />“Jika suatu darah itu darah haid, maka ia berwarna hitam diketahui, jika demikian maka tinggalkan shalat. Jika selain itu maka berwudhulah dan lakukan shalat karena itu darah penyakit. (HR. Abu dawud, An Nasai dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim).<br />Hadits ini, meskipun perlu ditinjau lagi dari segi sanad dan matannya, namun telah diamalkan oleh para ulama’. Dan hal ini lebih utama daripada dikembalikan kepada kebiasaan kaum wanita pada umumnya.<br />3. Tidak mempunyai haid yang jelas waktunya, dan darah yang keluar tidak bisa dibedakan secara tepat. Seperti jika istihadhah yang dialaminya terus- menerus mulai dari saat pertama kali melihat darah. Sementara darahnya hanya satu sifat saja, atau berubah-ubah dan tidak mungkin dianggap sebagai darah haid. Dalam kondisi ini, hendaklah ia mengambil kebiasaan kaum wanita pada umumnya. Maka masa haidnya adalah enam atau tujuh hari pada setiap bulan dihitung mulai dari saat pertama kali mendapati darah. Sedang selebihnya merupakan darah istihadah.<br />Misalnya, seorang wanita pada saat pertama kali melihat darah pada tanggal 5 dan darah itu keluar terus menerus tanpa dapat dibedakan secara tepat mana yang darah haid, baik melalui warna ataupun dengan cara lain. Maka haidnya pada setiap bulan dihitung selama enam atau tujuh hari mulai dari tanggal lima tersebut.<br />Hal ini berdasarkan hadits Hamnah binti Jahsy Radhiyallahu ‘anha bahwa ia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:<br />يَا رَسُوْلَ الله إِنِّي أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَبِيْرَةً شَدِيْدَةً فَمَا تَرَى فِيْهَا قَدْ مَنَعَتْنِي الصَّلاَةَ وَالصِّيَامَ، فَقَالَ: (( أَنْعَتُ لَكِ (أَصِفُ لَكِ اسْتِعْمَالَ) الكُرْسُفَ (وهو القطن) تَضَعِيْنَهُ عَلَى الفَرجِ فَإِنَّهُ يُذْهِبُ الدَّمَ )) قَالَتْ: هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ. وَفِيْهِ قَالَ: (( إِنَّمَا هَذَا رَكْضَةٌ مِنْ رَكَضَاتِ الشَّيْطَان، فَتَحِيْضِيْ سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةَ فِيْ عِلْمِ الله تَعَالَى، ثُمَّ اغْتَسِلِيْ حَتَّى إِذَا رَأَيْتِ أَنَّكِ قَدْ طَهُرْتِ وَاسْتَنْقَيْتِ فَصَلِّي أَرْبَعًا وَعِشْرِيْنَ أَوْ ثَلاَثًا وَعِشْرِيْنَ لَيْلَةً وَأَيَّامَهَا وَصُوْمِيْ )) رواه أحمد وأبو داود والترمذي وصححه، ونقل عن أحمد أنه صححه وعن البخاري أنه حسنه.<br />“Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami istihadhah yang deras sekali, lalu bagaimana pendapatmu tentang itu karena telah menghalangiku shalat dan berpuasa? Beliau bersabda: “Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas dengan melekatnya pada farji (kemaluan) karena hal itu dapat menyerap darah”. Hamnah berkata: “Darahnya lebih banyak dari pada itu”. Nabipun bersabda: “ini hanyalah salah satu usikan syaitan. Maka hitunglah haidmu 6 atau tujuh hari menurut ilmu Allah subhanahu wa ta'ala, lalu mandilah sampai kamu merasa lebih bersih dan suci, kemudian shalatlah selama 24 atau 23 hari, dan puasalah" (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At Tirmidzi. Menurut Ahmad dan At Tirmidzi hadits ini shahih, sedang menurut Al Bukhari Adalah hasan.<br />Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “ 6 atau 7 hari “ tersebut bukan untuk memberikan pilihan, tapi agar si wanita berijtihad dengan cara memperhatikan mana yang lebih mendekati kondisinya dari wanita lain yang lebih mirip kondisi fisiknya, lebih dekat usia dan hubungan kekeluargaannya serta memperhatikan mana yang lebih mendekati haid dari keadaan darahnya dan pertimbangan-pertimbangan yang lainnya. Jika kondisinya lebih mendekati yang selama enam hari, maka dia hitung masa haidnya 6 hari, tetapi jika kondisinya lebih mendekati yang 7 hari, maka dia hitung masa haidnya 7 hari.<br /><br />3. Hal wanita yang mirip istihadhah.<br />Kadang kala seorang wanita, karena suatu sebab, mengalami pendarahan pada farjinya, seperti karena operasi pada rahim atau sekitarnya, hal ini ada dua macam:<br />1- Diketahui bahwa si wanita tak mungkin haid lagi setelah operasi, seperti operasi pengangkatan atau penutupan rahim yang mengakibatkan darah tidak bisa keluar lagi darinya, maka tidak berlaku baginya hukum-hukum mustahadhah. Namun hukumnya adalah hukum wanita yang mendapati cairan kuning, atau keruh, atau basah setelah masa suci. Karena itu tidak boleh meninggalkan shalat atau puasa dan boleh digauli. Tidak wajib baginya mandi karena keluarnya darah, tapi ia harus membersihkan darah tersebut ketika hendak shalat dan supaya melekatkan kain atau semisalnya (pembalut wanita) pada farjinya untuk menahan keluarnya darah, kemudian berwudhu seperti berwudhu untuk shalat. Tidak boleh ia berwudhu untuk shalat kecuali telah masuk waktunya. Jika shalat itu telah tertentu waktunya seperti shalat lima waktu; jika tidak tertentu waktunya maka ia berwudhu ketika hendak mengerjakannya, seperti shalat sunnah yang mutlak.<br />2- Tidak diketahui bahwa si wanita tidak bisa haid lagi setelah operasi, tetapi diperkirakan bisa haid lagi, maka berlaku baginya hukum mustahadhah. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Abi Hubaisy:<br />(( إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ، وَلَيْسَ بِالحَيْضَةِ، فَإِذَا أَقْبَلَت الحَيْضَةُ فَاتْرُك الصَّلاَةَ ))<br />“Itu hanyalah darah penyakit, bukan haid, jika datang haid maka tinggalkan shalat”<br />Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “ jika datang haid ..” menunjukkan bahwa mustahadhah berlaku bagi wanita yang berkemungkinan haid, yang bisa datang atau berhenti. Adapun wanita yang tidak berkemungkinan haid maka darah yang keluar, pada prinsipnya dihukumi sebagai darah penyakit.<br /><br />4. Hukum – hukum Istihadhah.<br />Dari penjelasan terdahulu, dapat kita mengerti kapan darah itu sebagai darah haid dan kapan sebagai darah istihadhah. Jika yang terjadi adalah darah haid maka berlaku baginya hukum-hukum haid, sedang jika yang terjadi darah istihadhah maka yang berlaku pun hukum-hukum istihadhah.<br />Hukum-hukum haid yang penting telah dijelaskan dimuka. Adapun hukum-hukum istihadhah seperti halnya hukum-hukum tuhr (keadaan suci). tidak ada perbedaan antara wanita mustahadhah dan wanita suci, kecuali dalam hal berikut ini:<br />a- Wanita mustahadhah wajib berwudhu setiap kali hendak shalat, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Abi Hubaisy: <br />(( ثُمَّ تَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صَلاَةٍ )) رواه البخاري في باب غسل الدم.<br />“Kemudian berwudhulah setiap kali hendak shalat (HR. Al Bukhari, Bab: membersihkan darah).<br />Hal itu memberikan pemahaman bahwa wanita mustahadhah tidak berwudhu untuk shalat yang telah tertentu waktunya kecuali jika telah masuk waktunya. Sedangkan shalat yang tidak tertentu waktunya, maka ia berwudhu pada saat hendak melakukannya.<br />b- Ketika hendak berwudhu, membersihkan sisa-sia darah dan melekatkan kapas (pembalut) pada farjinya untuk mencegah keluarnya darah, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hamnah:<br />(( أَنْعَتُ لَكِ الكُرْسُف فَإِنَّه يُذْهِبُ الدَّمَ )) قَالَتْ: هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ، قَالَ: (( فَاتَّخِذِيْ ثَوْبًا )) قَالَتْ: هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ، قَالَ: فَتَلَجَّمِيْ ))<br />“Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas, karena hal itu dapat menyerap darah”. Hamnah berkata: “darahnya lebih banyak dari pada itu, beliau Bersabda: “Gunakan kain!” Kata Hamnah: Darahnya masih banyak pula” Nabipun bersabda: “Maka pakailah penahan!”<br />Kalaupun masih ada darah yang keluar setelah tindakan tersebut, maka tidak apa-apa hukumnya, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:<br />(( اجْتَنِبِيْ الصَّلاَةَ أَيَّامَ تَحِيْضُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَتَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صَلاَةٍ، ثُمَّ صَلِّيْ، وَإِنْ قَطَرَ الدَّمُ عَلَى الحَصِيْرِ )) رواه أحمد وابن ماجه.<br />“Tinggalkan shalat selama hari-hari haidmu, kemudian mandilah dan berwudhulah untuk setiap kali shalat, lalu shalatlah meskipun darah menetes di atas alas” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).<br />c- Jima’ (senggama). Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya pada kondisi di mana bila ditinggalkan tidak dikhawatirkan menyebabkan zina. Yang benar adalah boleh secara mutlak. Karena ada banyak wanita, mencapai sepuluh atau lebih, mengalami istihadhah pada zaman nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara Allah dan Rasul-Nya tidak melarang jima’ dengan mereka. Firman Allah:<br /> <br /> “... Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid …” (QS. Al Baqarah: 222).<br />Ayat ini menunjukkan bahwa di luar keadaan haid, suami tidak wajib menjauhkan diri dari istri. Kalaupun shalat saja boleh dilakukan wanita mustahadhah, maka jima’pun lebih boleh. Dan tidak benar jima’ wanita mustahadhah dikiaskan dengan jima’ wanita haid, karena keduanya tidak sama, bahkan menurut pendapat para ulama menyatakan haram (mengkiaskannya). Sebab mengkiaskan sesuatu dengan hal yang berbeda adalah tidak sah.<br /> <br /><br />PASAL VI<br />NIFAS DAN HUKUM-HUKUMNYA<br /><br />1. Makna Nifas<br />Nifas adalah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya (2 atau 3 hari) yang disertai rasa sakit.<br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Darah yang dilihat seorang wanita ketika mulai merasa sakit adalah darah nifas”. Beliau tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnya yaitu rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas.<br />Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya "tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh pembawa syariat" hal. 37: “Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada seorang wanita mendapati darah lebih dari 40, 60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah darah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu adalah darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits.<br />Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, pada hal menurut kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika berhenti selama masa (40) hari, maka hendaklah hal tersebut dijadikan patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa mendatang. Namun jika darahnya terus-menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini, hendaklah ia kembali kepada hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa, dan boleh digauli oleh suaminya. Terkecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari satu hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalm kitab Al Mughni.<br />Nifas tidak dapat ditetapkan, kecuali jika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia, seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk manusia maka darah yang keluar itu bukan darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku baginya adalah hukum wanita mustahadhah.<br />Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari dihitung dari mulai hamil, dan pada umumnya 90 hari.<br />Menurut Al Majd Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam kitab syarhul Iqna’: “Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas). Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa. Kemudian, apabila sesudah kelahiran ternyata tidak sesuai dengan kenyataan maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak ternyata demikian, tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan kewajiban”.<br /> <br /> 2- Hukum –hukum nifas<br /> Hukum-hukum nifas pada prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal berikut ini:<br />a. Iddah. Dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas. Sebab jika talak jatuh sebelum istri melahirkan, iddahnya akan habis karena melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talak jatuh setelah melahirkan, maka ia menunggu setelah haid lagi, sebagaimana telah dijelaskan.<br />b. Masa ila’. Masa haid termasuk masa ila’, sedangkan masa nifas tidak.<br /> Ila’ yaitu: jika seorang suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya selama-lamanya, atau selama lebih dari empat bulan. Apabila ia bersumpah demikian dan si istri menuntut suami menggaulinya, maka suami diberi masa empat bulan dari saat bersumpah. Setelah sempurna masa tersebut suami diharuskan menggauli istrinya, atau menceraikan atas permintaan istri. Dalam masa ila’ selama empat bulan bila si wanita mengalami nifas, tidak dihitung terhadap suami, dan ditambahkan atas empat bulan tadi selama masa nifas. Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap dihitung terhadap sang suami.<br />c. Baligh. Masa baligh terjadi dengan haid, bukan dengan nifas. Karena seorang wanita tidak mungkin bisa hamil sebelum haid, maka masa baligh seorang wanita terjadi dengan datangnya haid yang mendahului kehamilan.<br />d. Darah haid jika berhenti lalu kembali keluar tetapi masih dalam waktu biasanya, maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya seorang wanita yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari haidnya berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan kedelapan, maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu adalah darah haid.<br />Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum empat puluh hari kemudian keluar lagi pada hari keempat puluh, maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si wanita shalat dan puasa fardhu yang tertentu waktunya pada waktunya, dan terlarang baginya apa yang terlarang bagi wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci, ia harus mengqadha’ apa yang diperbuatnya selama keluarnya darah yang diragukan, yaitu hal-hal yang wajib diqadha wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menurut para fuqaha’ dari madzhab Hanbali.<br />Pendapat yang benar, jika darah itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan masih sebagai nifas maka termasuk darah nifas. Jika tidak, maka ia darah haid; kecuali jika darah itu keluar terus-menerus maka merupakan darah istihadhah. Pendapat ini mendekati keterangan yang disebutkan dalam kitab Al Mughni juz I, hal. 349, bahwa Imam Malik mengatakan: “Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari; yakni sejak berhentinya, maka itu termasuk nifas. Jika tidak, berarti ia darah haid”. Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.<br />Menurut kenyataan, tidak ada sesuatu yang diragukan dalam masalah darah. Namun, keragu-raguan adalah hal yang relatif, masing-masing orang berbeda dalam hal ini sesuai dengan ilmu dan pemahamannya. Padahal Al Qur’an dan sunnah berisi penjelasan atas segala sesuatu. Allah tidak pernah mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf dua kali, kecuali jika ada kesalahan dalam tindakan pertama yang tidak dapat diatasi dengan mengqadha’. Adapun jika seseorang dapat mengerjakan kewajiban sesuai dengan kemampuannya, maka ia telah terbebas dari tanggungannya, sebagaimana firman Allah:<br /> <br /> “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah: 286).<br /> <br /> “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu..”(QS. At- taghabun: 16).<br />e. Dalam haid, jika si wanita suci sebelum masa kebiasaannya, maka suami boleh dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam nifas, jika ia suci sebelum empat puluh hari maka suami tidak boleh menggaulinya, menurut yang masyhur dalam madzhab Hanbali.<br />Tapi pendapat yang benar, menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dilarang menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan oleh Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al 'Ash bahwa istrinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia berkata: “Jangan kau dekati aku!”.<br />Ucapan utsman tersebut tidak berarti suami dilarang menggauli istrinya karena hal itu mungkin saja merupakan sikap hati-hati Utsman, yakni khawatir kalau istrinya belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau sebab lainnya. Wallahu a’lam.<br /> <br /><br />PASAL VII<br />PENGGUNAAN ALAT PENCEGAH<br />ATAU PERANGSANG HAID, PENCEGAH<br />KEHAMILAN DAN PENGGUGUR KANDUNGAN<br /><br />1. Pencegah Haid<br />Diperbolehkan bagi wanita menggunakan alat pencegah haid, dengan dua syarat:<br />a. Tidak dikhawatirkan membahayakan dirinya, bila dikhawatirkan membahayakan dirinya karena menggunakan alat tersebut, maka hukumnya tidak boleh. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:<br /> <br /> “…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.." (QS. Al Baqarah: 195).<br /> <br /> “…Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An Nisaa': 29).<br />b. Dengan seizin suami, apabila penggunaan alat tersebut mempunyai kaitan dengannya. Contohnya; si istri dalam keadaan beriddah dari suami yang masih berkewajiban memberi nafkah kepadanya, menggunakan alat pencegah haid supaya lebih lama iddahnya dan bertambah nafkah yang diberikannya. Hukumnya tidak boleh bagi si istri menggunakan alat pencegah haid saat itu kecuali dengan seizin suami. Demikian juga jika terbukti bahwa pencegahan haid dapat mencegah kehamilan, maka harus dengan seizin suami.<br />Meski secara hukum boleh, namun lebih utama tidak menggunakan alat pencegah haid kecuali jika dianggap perlu. Karena membiarkan sesuatu secara alami akan lebih menjamin terpeliharanya kesehatan dan keselamatan.<br /><br /> 2. Perangsang haid<br />Diperbolehkan juga menggunakan alat perangsang haid, dengan dua syarat:<br />a. Tidak menggunakan alat tersebut dengan tujuan menghindarkan diri dari suatu kewajiban. Misalnya; seorang wanita menggunakan alat perangsang haid pada saat manjelang Ramadhan dengan tujuan agar tidak berpuasa, atau tidak shalat, dan tujuan negatif lainnya.<br />b. Dengan seizin suami, karena terjadinya haid akan mengurangi kenikmatan hubungan suami-istri. Maka tidak boleh bagi si wanita menggunakan alat yang dapat menghalangi hak suami kecuali dengan restunya. Dan jika istri dalam keadaan talak, maka tindakan tersebut akan mempercepat gugurnya hak rujuk bagi suami jika ia masih boleh rujuk.<br /><br />3. pencegah kehamilan<br />Ada dua macam penggunaan alat pencegah kehamilan:<br />a. Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan untuk selamanya. Ini tidak boleh hukumnya, sebab dapat menghentikan kehamilan yang mengakibatkan berkurangnya jumlah keturunan. Dan hal ini bertentangan dengan anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memperbanyak jumlah umat Islam, selain itu bisa saja anak-anaknya yang ada semuanya meninggal dunia sehingga ia pun hidup menjanda seorang diri tanpa anak.<br />b. Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan sementara, seorang wanita yang sering hamil dan hal itu terasa berat baginya, sehingga ia ingin mengatur jarak kehamilannya menjadi dua tahun sekali, maka penggunaan alat ini diperbolehkan dengan syarat: seizin suami, dan alat tersebut tidak membahayakan dirinya. Dalilnya, bahwa para sahabat pernah melakukan azl terhadap istri mereka pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghindari kehamilan dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya. Azl yaitu tindakan - pada saat bersenggama - dengan menumpahkan sperma di luar farji (vagina) istri.<br /><br />4. Penggugur kandungan <br />Adapun penggunaan alat penggugur kandungan ada dua macam:<br />a. Penggunaan alat penggugur kandungan yang bertujuan membinasakan janin, jika janin sudah mendapatkan ruh, maka tindakan ini tak diragukan lagi adalah haram, karena termasuk membunuh jiwa yang dihormati tanpa dasar yang benar. Membunuh jiwa yang dihormati haram hukumnya menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’ kaum muslimin. Namun jika janin belum mendapatkan ruh, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lagi melarang. Ada pula yang mengatakan boleh sebelum berbentuk segumpal darah, artinya sebelum berumur 40 hari. Ada pula yang membolehkan jika janin belum berbentuk manusia.<br />Pendapat yang lebih hati-hati adalah tidak boleh melakukan tindakan menggugurkan kandungan, kecuali jika ada kepentingan. Misalnya, seorang ibu dalam keadaan sakit dan tidak mampu lagi mempertahankan kehamilannya, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini ia boleh menggugurkan kandungannya, kecuali jika janin tersebut diperkirakan telah berbentuk manusia maka hal ini tidak diperbolehkan. Wallahu A’lam.<br />c. Penggunaan alat penggugur kandungan yang tidak bertujuan membinasakan janin. Misalnya, sebagai upaya mempercepat proses kelahiran pada wanita hamil yang sudah habis masa kehamilannya dan sudah waktunya melahirkan. Maka hal ini boleh hukumnya, dengan syarat: tidak membahayakan bagi si ibu maupun anaknya yang tidak memerlukan operasi. Kalaupun memerlukan operasi, maka dalam masalah ini ada empat hal:<br />c.i Jika ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi kecuali dalam keadaan darurat, seperti sulit bagi si ibu untuk melahirkan sehingga perlu dioperasi. Demikian, karena tubuh adalah amanat Allah subhanahu wa ta'ala yang dititipkan kepada manusia, maka dia tidak boleh memperlakukannya dengan cara yang mengkhawatirkan kecuali untuk maslahat yang amat besar. Selain itu, dikiranya bahwa mungkin tidak berbahaya operasi ini, tetapi ternyata membawa bahaya.<br />c.ii. Jika ibu dan bayi yang di kandungnya dalam keadaan meninggal, maka tidak boleh dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya. Sebab, hal ini tindakan sia-sia.<br />c.iii. Jika si ibu hidup, sedangkan bayi yang dikandungnya meninggal. Maka boleh dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya, kecuali jika dikhawatirkan dapat membahayakan si ibu. Sebab menurut pengalaman wallahu a’lam bayi yang meninggal dalam kandungan hampir tidak dapat dikeluarkan kecuali dengan operasi. Kalaupun dibiarkan terus dalam kandungan, dapat mencegah kehamilan ibu pada masa mendatang dan merepotkannya pula, selain itu si ibu akan tetap hidup tak bersuami jika ia dalam keadaan menunggu iddah dari suami sebelumnya.<br />c.iv. Jika si ibu meninggal dunia, sedangkan bayi yang dikandungnya hidup. Dalam kondisi ini, jika bayi yang dikandung diperkirakan tak ada harapan untuk hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi. Namun jika ada harapan untuk hidup, seperti sebagian tubuhnya sudah keluar, maka boleh dilakukan pembedahan terhadap perut ibunya untuk mengeluarkan bayi tersebut. Tetapi jika sebagian tubuh bayi belum ada yang keluar maka ada yang berpendapat bahwa tidak boleh melakukan pembedahan terhadap perut ibu untuk mengeluarkan bayi yang dikandungnya, karena hal itu merupakan tindakan penyiksaan.<br />Pendapat yang benar, boleh dilakukan pembedahan terhadap perut si ibu untuk mengeluarkan bayinya jika tidak ada cara lain. Dan pendapat inilah yang menjadi pilihan Ibnu Hubairah. Dikatakan dalam kitab Al Inshaf :" pendapat ini yang lebih utama”.<br />Apalagi pada zaman sekarang ini, operasi bukanlah merupakan tindakan penyiksaan. Karena setelah perut dibedah, ia dijahit kembali. Dan kehormatan orang yang masih hidup lebih besar dari pada orang yang sudah meninggal. Juga menyelamatkan jiwa orang yang terpelihara dari kehancuran adalah wajib hukumnya dan bayi yang dikandung adalah manusia yang terpelihara, maka wajib menyelamatkannya. Wallahu a’lam.<br />Perhatian: <br />Dalam hal diperbolehkannya menggunakan alat penggugur kandungan sebagaimana di atas (untuk mempercepat proses kelahiran) harus ada izin dari pemilik kandungan yaitu suami.<br /> <br /><br />PENUTUP<br /><br />Sampai di sinilah apa yang ingin kami tulis dalam judul yang penting ini. Sengaja kami batasi pembahasan pada pokok masalah dan kaidah umum. Jika tidak, maka segala cabang dan bagian masalah serta apa yang terjadi pada wanita dalam permasalahan ini bagai samudra tak bertepi. Namun, orang yang mengerti tentu dapat mengembalikan cabang dan bagian permasalahan kepada pokok dan kaidah umumnya serta dapat mengkiaskan segala sesuatu dengan yang semisalnya.<br />Perlu diketahui oleh seorang mufti (pemberi fatwa) bahwa dirinya adalah penghubung antara Allah dan para hamba-Nya dalam menyampaikan ajaran yang dibawa Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjelaskan kepada mereka. Dia akan ditanya tentang kandungan Al- Qur’an dan sunnah, yang keduanya merupakan sumber hukum yang diperintahkan untuk dipahami dan diamalkan. Setiap yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah adalah salah, dan wajib ditolak, siapapun orang yang mengucapkannya serta tidak boleh diamalkan, sekalipun orang yang mengatakannya mungkin dimaafkan karena berijtihad, tetapi orang lain yang mengetahui kesalahannya tidak boleh menerima ucapannya.<br />Seorang mufti wajib memurnikan niatnya, semata-mata karena Allah subhanahu wa ta'ala, selalu memohon maunah-Nya dalam segala kondisi yang dihadapi, meminta kehadirat-Nya ketetapan hati dan petunjuk kepada kebenaran.<br />Al-Qur’an dan Sunnah wajib menjadi pusat perhatiannya. Dia mengamati dan meneliti keduanya atau menggunakan pendapat para ulama untuk memahami keduanya.<br />Sering terjadi suatu permasalahan, ketika jawabannya dicari pada pendapat para ulama tak didapati ketenangan atau kepuasan dalam keputusan hukumnya, bahkan mungkin tidak ditemukan jawabannya sama sekali. Akan tetapi setelah kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah tampak baginya hukum permasalahan itu dengan mudah dan gamblang. Hal itu sesuai dengan keikhlasan, keilmuan dan pemahamannya.<br />Wajib bagi mufti bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam memutuskan hukum manakala mendapatkan sesuatu yang rumit. Betapa banyak hukum yang diputuskan secara tergesa-gesa, kemudian setelah diteliti ternyata salah. Akhirnya hanya bisa menyesali dan fatwa yang terlanjur disampaikan tidak bisa diluruskan.<br />Seorang mufti jika diketahui bersikap hati-hati dan teliti, ucapannya akan dipercaya dan diperhatikan, tetapi jika dikenal ceroboh yang sering kali membuat kekeliruan, niscaya fatwanya tidak akan dipercaya orang. Maka dengan kecerobohan dan kekeliruannya dia telah menjauhkan dirinya dan orang lain dari ilmu dan kebenaran yang diperolehnya.<br />Semoga Allah subhanahu wa ta'ala menunjukkan kita dan kaum muslimin kepada jalan-Nya yang lurus, melimpahkan inayah-Nya dan menjaga kita dengan bimbingan-Nya dari kesalahan. Sungguh, Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.<br />Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Puji bagi Allah, dengan nikmat-Nya tercapailah segala kebaikan. <br /><br />Penulis:<br />Muhammad Shaleh Al Utsaimin<br />Jum’at, 14 Sya’ban 1392 H<br /><br /></span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7423988372211451162.post-63177103828030263922009-09-08T01:16:00.002+07:002009-09-08T01:18:14.554+07:00Kisah Nabi Muhammad saw<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://makah2008.files.wordpress.com/2009/02/pedang-baginda-rosul-correction.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 668px; height: 410px;" src="http://makah2008.files.wordpress.com/2009/02/pedang-baginda-rosul-correction.jpg" border="0" alt="" /></a><br /><br /><span style="font-weight:bold;">25. Kisah Nabi Muhammad saw.</span><br /><br />Semasa umat manusia dalam kegelapan dan suasana jahiliyyah, lahirlah seorang bayi pada 12 Rabiul Awal tahun Gajah di Makkah. Bayi yang dilahirkan bakal membawa perubahan besar bagi sejarah peradaban manusia. Bapa bayi tersebut bernama Abdullah bin Abdul Mutallib yang telah wafat sebelum baginda dilahirkan iaitu sewaktu baginda 7 bulan dalam kandungan ibu. Ibunya bernama Aminah binti Wahab. Kehadiran bayi itu disambut dengan penuh kasih sayang dan dibawa ke ka'abah, kemudian diberikan nama Muhammad, nama yang belum pernah wujud sebelumnya.<br /><br /><span class="fullpost"><br />Selepas itu Muhammad disusukan selama beberapa hari oleh Thuwaiba, budak suruhan Abu Lahab sementara menunggu kedatangan wanita dari Banu Sa'ad. Adat menyusukan bayi sudah menjadi kebiasaan bagi bangsawan-bangsawan Arab di Makkah. Akhir tiba juga wanita dari Banu Sa'ad yang bernama Halimah bin Abi-Dhuaib yang pada mulanya tidak mahu menerima baginda kerana Muhammad seorang anak yatim. Namun begitu, Halimah membawa pulang juga Muhammad ke pedalaman dengan harapan Tuhan akan memberkati keluarganya. Sejak diambilnya Muhammad sebagai anak susuan, kambing ternakan dan susu kambing-kambing tersebut semakin bertambah. Baginda telah tinggal selama 2 tahun di Sahara dan sesudah itu Halimah membawa baginda kembali kepada Aminah dan membawa pulang semula ke pedalaman.<br /><br /><br />Kisah Dua Malaikat dan Pembedahan Dada Muhammad<br /><br /><br />Pada usia dua tahun, baginda didatangi oleh dua orang malaikat yang muncul sebagai lelaki yang berpakaian putih. Mereka bertanggungjawab untuk membedah Muhammad. Pada ketika itu, Halimah dan suaminya tidak menyedari akan kejadian tersebut. Hanya anak mereka yang sebaya menyaksikan kedatangan kedua malaikat tersebut lalu mengkhabarkan kepada Halimah. Halimah lantas memeriksa keadaan Muhammad, namun tiada kesan yang aneh ditemui.<br /><br />Muhammad tinggal di pedalaman bersama keluarga Halimah selama lima tahun. Selama itu baginda mendapat kasih sayang, kebebasan jiwa dan penjagaan yang baik daripada Halimah dan keluarganya. Selepas itu baginda dibawa pulang kepada datuknya Abdul Mutallib di Makkah.<br /><br />Datuk baginda, Abdul Mutallib amat menyayangi baginda. Ketika Aminah membawa anaknya itu ke Madinah untuk bertemu dengan saudara-maranya, mereka ditemani oleh Umm Aiman, budak suruhan perempuan yang ditinggalkan oleh bapa baginda. Baginda ditunjukkan tempat wafatnya Abdullah serta tempat dia dikuburkan. <br /><br />Sesudah sebulan mereka berada di Madinah, Aminah pun bersiap sedia untuk pulang semula ke Makkah. Dia dan rombongannya kembali ke Makkah menaiki dua ekor unta yang memang dibawa dari Makkah semasa mereka datang dahulu. Namun begitu, ketika mereka sampai di Abwa, ibunya pula jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia lalu dikuburkan di situ juga.<br />Muhammad dibawa pulang ke Makkah oleh Umm Aiman dengan perasaan yang sangat sedih. Maka jadilah Muhammad sebagai seorang anak yatim piatu. Tinggallah baginda dengan datuk yang dicintainya dan bapa-bapa saudaranya.<br /><br />"Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung lalu Dia memberikan petunjuk" (Surah Ad-Dhuha, 93: 6-7)<br /><br /><br />Abdul Mutallib Wafat<br /><br /><br />Kegembiraannya bersama datuk baginda tidak bertahan lama. Ketika baginda berusia lapan tahun, datuk baginda pula meninggal dunia. Kematian Abdul Mutallib menjadi satu kehilangan besar buat Bani Hashim. Dia mempunyai keteguhan hati, berwibawa, pandangan yang bernas, terhormat dan berpengaruh dikalangan orang Arab. Dia selalu menyediakan makanan dan minuman kepada para tetamu yang berziarah dan membantu penduduk Makkah yang dalam kesusahan.<br /><br /><br />Muhammad diasuh oleh Abu Talib<br /><br />Selepas kewafatan datuk baginda, Abu Talib mengambil alih tugas bapanya untuk menjaga anak saudaranya Muhammad. Walaupun Abu Talib kurang mampu berbanding saudaranya yang lain, namun dia mempunyai perasaan yang paling halus dan terhormat di kalangan orang-orang Quraisy.Abu Talib menyayangi Muhammad seperti dia menyayangi anak-anaknya sendiri. Dia juga tertarik dengan budi pekerti Muhammad yang mulia. <br /><br />Pada suatu hari, ketika mereka berkunjung ke Syam untuk berdagang sewaktu Muhammad berusia 12 tahun, mereka bertemu dengan seorang rahib Kristian yang telah dapat melihat tanda-tanda kenabian pada baginda. Lalu rahib tersebut menasihati Abu Talib supaya tidak pergi jauh ke daerah Syam kerana dikhuatiri orang-orang Yahudi akan menyakiti baginda sekiranya diketahui tanda-tanda tersebut. Abu Talib mengikut nasihat rahib tersebut dan dia tidaak banyak membawa harta dari perjalanan tersebut. Dia pulang segera ke Makkah dan mengasuh anak-anaknya yang ramai. Muhammad juga telah menjadi sebahagian dari keluarganya. Baginda mengikut mereka ke pekan-pekan yang berdekatan dan mendengar sajak-sajak oleh penyair-penyair terkenal dan pidato-pidato oleh penduduk Yahudi yang anti Arab.<br /><br />Baginda juga diberi tugas sebagai pengembala kambing. Baginda mengembala kambing keluarganya dan kambing penduduk Makkah. Baginda selalu berfikir dan merenung tentang kejadian alam semasa menjalankan tugasnya. Oleh sebab itu baginda jauh dari segala pemikiran manusia nafsu manusia duniawi. Baginda terhindar daripada perbuatan yang sia-sia, sesuai dengan gelaran yang diberikan iaitu "Al-Amin".<br /><br />Selepas baginda mula meningkat dewasa, baginda disuruh oleh bapa saudaranya untuk membawa barang dagangan Khadijah binti Khuwailid, seorang peniaga yang kaya dan dihormati. Baginda melaksanakan tugasnya dengan penuh ikhlas dan jujur. Khadijah amat tertarik dengan perwatakan mulia baginda dan keupayaan baginda sebagai seorang pedagang. Lalu dia meluahkan rasa hatinya untuk berkahwin dengan Muhammad yang berusia 25 tahun ketika itu. Wanita bangsawan yang berusia 40 tahun itu sangat gembira apabila Muhammad menerima lamarannya lalu berlangsunglah perkahwinan mereka berdua. Bermulalah lembaran baru dalam hidup Muhammad dan Khadijah sebagai suami isteri.<br /><br />Penurunan Wahyu Pertama<br /><br />Pada usia 40 tahun, Muhammad telah menerima wahyu yang pertama dan diangkat sebagai nabi sekelian alam. Ketika itu, baginda berada di Gua Hira' dan sentiasa merenung dalam kesunyian, memikirkan nasib umat manusia pada zaman itu. Maka datanglah Malaikat Jibril menyapa dan menyuruhnya membaca ayat quran yang pertama diturunkan kepada Muhammad.<br /><br />"Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan" (Al-'Alaq, 96: 1)<br /><br />Rasulullah pulang dengan penuh rasa gementar lalu diselimuti oleh Khadijah yang cuba menenangkan baginda. Apabila semangat baginda mulai pulih, diceritakan kepada Khadijah tentang kejadian yang telah berlaku.<br /><br />Kemudian baginda mula berdakwah secara sembunyi-sembunyi bermula dengan kaum kerabatnya untuk mengelakkan kecaman yang hebat daripada penduduk Makkah yang menyembah berhala. Khadijah isterinya adalah wanita pertama yang mempercayai kenabian baginda. Manakala Ali bin Abi Talib adalah lelaki pertama yang beriman dengan ajaran baginda.Dakwah yang sedemikian berlangsung selama tiga tahun di kalangan keluarganya sahaja.<br /><br />Dakwah Secara Terang-terangan<br /><br />Setelah turunnya wahyu memerintahkan baginda untuk berdakwah secara terang-terangan, maka Rasulullah pun mula menyebarkan ajaran Islam secara lebih meluas.<br /><br />"Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik." (Al-Hijr, 15:94)<br /><br />Namun begitu, penduduk Quraisy menentang keras ajaran yang dibawa oleh baginda. Mereka memusuhi baginda dan para pengikut baginda termasuk Abu Lahab, bapa saudara baginda sendiri. Tidak pula bagi Abu Talib, dia selalu melindungi anak saudaranya itu namun dia sangat risau akan keselamatan Rasulullah memandangkan tentangan yang hebat dari kaum Quraisy itu. Lalu dia bertanya tentang rancangan Rasulullah seterusnya. Lantas jawab Rasulullah yang bermaksud:<br /><br />"Wahai bapa saudaraku, andai matahari diletakkan diletakkan di tangan kiriku dan bulan di tangan kananku, agar aku menghentikan seruan ini, aku tidak akan menghentikannya sehingga agama Allah ini meluas ke segala penjuru atau aku binasa kerananya" <br /><br />Baginda menghadapi pelbagai tekanan, dugaan, penderitaan, cemuhan dan ejekan daripada penduduk-penduduk Makkah yang jahil dan keras hati untuk beriman dengan Allah. Bukan Rasulullah sahaja yang menerima tentangan yang sedemikian, malah para sahabatnya juga turut merasai penderitaan tersebut seperti Amar dan Bilal bin Rabah yang menerima siksaan yang berat.<br /><br />Kewafatan Khadijah dan Abu Talib<br /><br />Rasulullah amat sedih melihat tingkahlaku manusia ketika itu terutama kaum Quraisy kerana baginda tahu akan akibat yang akan diterima oleh mereka nanti. Kesedihan itu makin bertambah apabila isteri kesayangannya wafat pada tahun sepuluh kenabiaannya. Isteri bagindalah yang tidak pernah jemu membantu menyebarkan Islam dan mengorbankan jiwa serta hartanya untuk Islam. Dia juga tidak jemu menghiburkan Rasulullah di saat baginda dirundung kesedihan.<br /><br />Pada tahun itu juga bapa saudara baginda Abu Talib yang mengasuhnya sejak kecil juga meninggal dunia. Maka bertambahlah kesedihan yang dirasai oleh Rasulullah kerana kehilangan orang-orang yang amat disayangi oleh baginda. <br /><br />Penghijrahan Ke Madinah<br /><br />Tekanan daripada orang-orang kafir terhadap perjuangan Rasulullah semakin hebat selepas pemergian isteri dan bapa saudara baginda. Maka Rasulullah mengambil keputusan untuk berhijrah ke Madinah berikutan ancaman daripada kafir Quraisy untuk membunuh baginda.<br /><br />Rasulullah disambut dengan meriahnya oleh para penduduk Madinah. Mereka digelar kaum Muhajirin manakala penduduk-penduduk Madinah dipanggil golongan Ansar. Seruan baginda diterima baik oleh kebanyakan para penduduk Madinah dan sebuah negara Islam didirikan di bawah pimpinan Rasulullas s.a.w sendiri. <br /><br />Negara Islam Madinah<br /><br />Negara Islam yang baru dibina di Madinah mendapat tentangan daripada kaum Quraisy di Makkah dan gangguan dari penduduk Yahudi serta kaum bukan Islam yang lain. Namun begitu, Nabi Muhammad s.a.w berjaya juga menubuhkan sebuah negara Islam yang mengamalkan sepenuhnya pentadbiran dan perundangan yang berlandaskan syariat Islam. Baginda dilantik sebagai ketua agama, tentera dan negara. Semua rakyat mendapat hak yang saksama. Piagam Madinah yang merupakan sebuah kanun atau perjanjian bertulis telah dibentuk. Piagam ini mengandungi beberapa fasal yang melibatkan hubungan antara semua rakyat termasuk kaum bukan Islam dan merangkumi aspek politik, sosial, agama, ekonomi dan ketenteraan. Kandungan piagam adalah berdasarkan wahyu dan dijadikan dasar undang-undang Madinah.<br /><br />Islam adalah agama yang mementingkan kedamaian. Namun begitu, aspek pertahanan amat penting bagi melindungi agama, masyarakat dan negara. Rasulullah telah menyertai 27 kali ekspedisi tentera untuk mempertahan dan menegakkan keadilan Islam. Peperangan yang ditempuhi baginda ialah Perang Badar (623 M/2 H), Perang Uhud (624 M/3 H), Perang Khandak (626 M/5 H) dan Perang Tabuk (630 M/9 H). Namun tidak semua peperangan diakhiri dengan kemenangan.<br /><br />Pada tahun 625 M/ 4 Hijrah, Perjanjian Hudaibiyah telah dimeterai antara penduduk Islam Madinah dan kaum Musyrikin Makkah. Maka dengan itu, negara Islam Madinah telah diiktiraf. Nabi Muhammad s.a.w. juga telah berjaya membuka semula kota Makkah pada 630 M/9 H bersama dengan 10 000 orang para pengikutnya.<br /><br />Perang terakhir yang disertai oleh Rasulullah ialah Perang Tabuk dan baginda dan pengikutnya berjaya mendapat kemenangan. Pada tahun berikutnya, baginda telah menunaikan haji bersama-sama dengan 100 000 orang pengikutnya. Baginda juga telah menyampaikan amanat baginda yang terakhir pada tahun itu juga. Sabda baginda yang bermaksud:<br /><br />"Wahai sekalian manusia, ketahuilah bahawa Tuhan kamu Maha Esa dan kamu semua adalah daripada satu keturunan iaitu keturunan Nabi Adam a.s. Semulia-mulia manusia di antara kamu di sisi Allah s.w.t. ialah orang yang paling bertakwa. Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara dan kamu tidak akan sesat selama-lamanya selagi kamu berpegang teguh dengan dua perkara itu, iaitu kitab al-Quran dan Sunnah Rasulullah."<br /><br />Kewafatan Nabi Muhammad s.a.w<br /><br />Baginda telah wafat pada bulan Jun tahun 632 M/12 Rabiul Awal tahun 11 Hijrah. Baginda wafat setelah selesai melaksanakan tugasnya sebagai rasul dan pemimpin negara. Baginda berjaya membawa manusia ke jalan yang benar dan menjadi seorang pemimpin yang bertanggungjawab, berilmu dan berkebolehan. Rasulullah adalah contoh terbaik bagi semua manusia sepanjang zaman.<br /><br /></span>Pendidikanhttp://www.blogger.com/profile/15323932566515916039noreply@blogger.com0